Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar konferensi bertajuk "International Conference for the Peaceful Settlement of the Question of Palestine and the Implementation of the Two-State Solution" (Penyelesaian Damai atas Konflik Palestina dan Implementasi Solusi Dua Negara) pada 28 – 29 Juli 2025 di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat.
Diinisiasi oleh Arab Saudi dan Prancis, konferensi itu berfokus utama pada realisasi solusi dua negara, penegasan perbatasan Palestina berdasarkan garis tahun 1967, serta pengakuan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. Pertemuan tersebut dibagi dalam delapan komite serta melibatkan sejumlah negara dan organisasi, di antaranya: Spanyol, Yordania, Indonesia, Italia, Jepang, Mesir, Inggris, Turki, Meksiko, Brasil, Senegal, serta negara-negara Liga Arab dan Uni Eropa.
Isu Problematik: Two-State Solution
Isu solusi dua negara telah lama menjadi sorotan dalam penjajahan atas tanah Palestina. Pada tahun 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengusulkan pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara: 55% untuk Yahudi dan 45% untuk warga Arab Palestina. Namun, usulan tersebut ditolak oleh pihak Palestina dan negara-negara Arab lainnya, karena alokasi wilayah yang lebih besar justru diberikan kepada komunitas Yahudi yang saat itu merupakan minoritas.

Kritik terhadap gagasan ini terus bergulir hingga hari ini. Rabea Eghbariah, seorang pengacara hak asasi manusia sekaligus kandidat doktoral di Harvard Law School, menyampaikan kritik tajam terhadap pendekatan solusi dua negara. Ia menyebut gagasan itu sebagai hasil dari salah diagnosa terhadap akar konflik.
“Ilusi dua negara terus dipertahankan. Gagasan ini menopang anggapan bahwa penjajahan Israel hampir berakhir — bahwa jika lebih banyak negara mengakui negara Palestina, dan jika Palestina dan Israel bersedia duduk berdialog, maka perdamaian akan tercapai,” tulis Eghbariah dalam The Guardian.
“Namun, selama tiga dekade proses negosiasi perdamaian, yang terjadi justru semakin mengakarnya penjajahan, pencaplokan tanah secara sistematis, dan penindasan brutal terhadap rakyat Palestina,” lanjutnya.
“Meski demikian, sebagian besar negara — termasuk Otoritas Palestina yang tidak dipilih secara demokratis — masih menggenggam ilusi dua negara, seolah-olah pendekatan tersebut dapat segera tercapai dan membawa keadilan serta perdamaian. Padahal, kenyataannya tidak demikian,” tegasnya.
Inisiasi Bersama Arab Saudi dan Prancis
Di dalam pidatonya, Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan Al-Saud, menyampaikan, “Kami menyerukan kepada Anda untuk mendukung dokumen ini sebelum berakhirnya Sidang Umum PBB ke-79 pada September 2025. Silakan hubungi perwakilan Arab Saudi dan Prancis di New York.”
Sebagai inisiator, Arab Saudi dan Prancis mengajukan visi bersama yang mencakup empat poin utama:
- Pengakuan segera atas Negara Palestina.
- Normalisasi hubungan dengan Israel disertai jaminan atas hak-hak Palestina.
- Penyatuan Tepi Barat dan Gaza di bawah kendali Otoritas Palestina.
- Persiapan masa depan politik berbasis kemitraan sipil yang inklusif.

Sejumlah negara Arab & muslim, termasuk Qatar, Mesir, Yordania hingga Turki menandatangani pernyataan penutup konferensi tersebut. Di dalam pernyataan itu, mereka mengecam Operasi Thufan Al-Aqsa, serta mendesak Hamas untuk menyerahkan senjata dan mengalihkan kekuasaan di Gaza kepada Otoritas Palestina (PA).
(Diolah dari berbagai sumber)
Ketahui kisah epik perjuangan wanita Palestina dalam menjaga dan memperjuangkan tanah yang diberkahi Al Quds dalam ebook eksklusif Sabili.id berjudul “Kepahlawanan Perempuan Palestina untuk Perubahan Dunia”.
Dapatkan ebook di link berikut :
https://lynk.id/mediasabili/l5qd6dp9x94z

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!