Novel Baswedan: Korupsi Adalah Pengkhianatan kepada Negara

Novel Baswedan: Korupsi Adalah Pengkhianatan kepada Negara
Novel Baswedan dan Bambang Widjojanto pada acara King Maker 30 November 2023, AQL Center, Jakarta / Kanzul R. (Sabili.id)

Diskusi yang juga menghadirkan Ustadz Bahtiar Nasir dan Mantan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, itu mulai pukul 19.00 WIB sampai dengan selesai. Di kesempatan itu, ia menegaskan, pada dasarnya korupsi adalah pengkhianatan kepada kepentingan negara. Sebab, ketika seseorang melakukan korupsi, mental orang yang berbuat korupsi itu biasanya telah rusak, dan ia pasti telah berkhianat kepada kepentingan negaranya.

“Ketika mentalitas seseorang rusak, maka dia menghalalkan segala cara. Bertindak brutal, tidak mengikuti kaidah-kaidah kemanusiaan, dan itu semua akan dilakukan dengan tidak mengikuti apa pun norma yang seharusnya dijadikan pedoman. Kalau kita lihat secara umum, tentunya kalau kita bicara tentang korupsi, kita bicara tentang negara. Jadi, negara punya tujuan dan tujuannya pasti menyejahterakan, mencerdaskan, di UU kita kan begitu,” katanya.

Menurut Novel, korupsi yang dilakukan aparatur negara seharusnya tidak dilakukan oleh pihak yang sebelmnya diberikan kewenangan untuk mengelola negara. Pemimpin pemerintahan punya aparatur yang ditunjuk dan diberikan amanah untuk melakukan tugas-tugas sesuai fungsinya untuk mewujudkan tujuan negara. Nah, ketika kewenangan itu diberikan kepada aparatur atau pemegang otoritas itu, maka dia bisa bertindak apa pun. Salah satunya, dia bisa menggunakan kewenangannya yang seharusnya memang tindakan yang sesuai dengan tujuan negara.

“Dalam kebiasaannya, pelaku-pelaku kejahatan korupsi ketika sudah ketahuan, maka Upaya-upaya yang dilakukan adalah bagaimana melakukan kamuflase, melakukan segala hal untuk menutupi praktik-praktik itu. Bisa jadi upaya-upaya yang dilakukan adalah membuat kerusuhan, membuat perang dan lain lain yang bisa jadi, itu menjadi jalan untuk menutupi praktik-praktik korupsinya. Dan tentunya kita melihat bahwa setiap praktik korupsi itu pasti akan menghancurkan kepentingan negara, akan merugikan kepentingan Masyarakat, dan tentunya dampaknya besar sekali,” ucapnya.

Di bagian lain, Novel menyebut, keberadaan KPK adalah proses yang panjang. Sebenarnya, memberantas korupsi bukan hanya tugas KPK, tetapi tugas negara. Maka idealnya, memberantas korupsi itu betul-betul dipimpin oleh pemimpin negara, yaitu presiden. Tidak mungkin KPK bisa bekerja sendiri. Di dalam konteks ini, sebetulnya dalam Undang-undang KPK itu, seharusnya setiap kementerian/lembaga itu wajib melakukan upaya pemberantasan korupsi di instansi masing-masing dan KPK ditunjuk untuk mengoordinasikan serta mengarahkan mereka untuk melakukan hal itu.

“KPK memang diarahkan untuk menangani perkara-perkara korupsi yang besar. Sebab, KPK adalah bagian dari penyelenggara negara dan penegak hukum, bersama lembaga penegak hukum yang lain. Nah, ini yang kemudian seharusnya dilakukan. Kalau kita lihat, tentunya untuk bisa memberantas korupsi, upayanya tidak hanya seperti sekarang. Sekarang kan lebih gembor-gembor ‘Udah, deh. Kita lakukan pencegahan saja. Kalau penanganan kasus meningkat, nanti justru membuat malu.’ atau ‘Jangan banyak-banyak OTT.’ Isu-isu itu yang yang padahal menurut saya mah menyesatkan. Mengapa? Karena kalau kita lihat dari praktiknya, memberantas korupsi itu memang meliputi 3 hal. Penindakan, pencegahan, dan pendidikan. Tetapi kalau kita lihat, jika indeks persepsi korupsi di atas 5 dari angka 10 tertinggi, maka upaya yang dikedepankan memang pencegahan. Tetapi kalau di bawah 5, upaya yang dikedepankan adalah penindakan. Saat ini, walau pun pencegahan dan pendidikan tetap dilakukan, indeks persepsi korupsi Indonesia nilainya hari ini 3,4 gitu,” jelasnya.

Baca Juga : Mengapa Koruptor tidak Merasa Bersalah ?

Novel lantas menyebut, ada upaya sistematis dan terencana untuk melemahkan KPK. “Dimulai dari membangun persepsi di Masyarakat bahwa seolah-olah KPK ini bermasalah, para personelnya radikal, dan lain-lain. Lalu, dibenturkan antara apparat, ‘Pilih berantas korupsi atau keutuhan negara?’ Padahal, nggak logis kalau orang memberantas korupsi tetapi tidak punya nasionalisme. Nggak mungkin. Justru orang yang memberantas korupsi pasti berjiwa patriotik karena dia berani berkorban untuk menghadapi risiko apa pun. Nah, ini yang seharusnya dilihat. Tetapi upaya perbaikan itu tetap dilakukan,” katanya.

Menurut Novel, saat ini praktik korupsi semakin banyak. Bahkan kalau kita ukur dengan ukuran yang saintifik, indeks persepsi korupsi saat ini (tahun 2023) ternyata sama dengan tahun 2014, yaitu 3,4. Ia khawatir, akhir Desember ini akan ada lagi pengumuman bahwa angka indeks persepsi korupsi Indonesia itu turun lagi. Sedangkan dampak hal itu luar biasa. Terutama untuk investasi dan lain-lain.

“Kewajiban negara dan pemerintah adalah menjaga dan menjalankan kedaulatan. Untuk menjaga kedaulatan, tentunya untuk apa? Untuk kepentingan masyarakat, untuk memproteksi industri, untuk mendorong konsumsi, dan lain lain. Belum lagi terkait dengan belanja negara. Di sini kita lihat, pada pengadaan barang dan jasa terjadi praktik korupsi yang besar. Lalu kita lihat, ada kebijakan untuk memberikan bantuan, yang apabila dilakukan dengan cara yang salah, justru bukan menyelesaikan permasalahan ini, tetapi malah seperti membagi rata korupsi di daerah. Di perbanyak lagi dengan praktik-praktik korupsi yang seharusnya dilakukan upaya-upaya untuk kepentingan memperbaiki, tetapi habis itu malah jadi masalah,” tuturnya.

Koruptor Adalah Orang Sakit

Menurut Novel, orang yang berbuat korupsi pasti adalah orang sakit. Artinya, mentalnya bermasalah. Sama seperti orang mencuri. Ada penyakit yang namanya Kleptomania. Orang yang biasa mencuri.

“Begitu juga orang berperilaku berbohong. Itu juga ada penyakit yang seperti itu. Juga, orang yang berani berbuat korupsi, pastilah dia orientasinya hanya diri sendiri. Tidak peduli kepada orang lain dan tidak pernah punya rasa memiliki negerinya. Bayangkan, seandainya orang untuk kepentingan pengadaan barang dan jasa, dia mengambil keuntungan, contohnya 10 miliar rupiah tetapi dia mengambil 10 miliar lagi, kerugian yang timbul. Bisa jadi proyek yang nilainya 200 miliar pun jadi gagal. Atau manfaat kepada masyarakat yang seharusnya bisa diperoleh jauh berkurang. Jadi kalau dihitung, apa yang dia ambil jauh lebih besar, sehingga kerugian yang ditimbulkan gara-gara itu juga jauh lebih besar, dan mestinya mereka mengetahui, tetapi mereka nggak peduli. Jadi, kerusakan mental ini luar biasa. Orang kemudian tergoda dengan sifat konsumtif. Mau senang dengan cara mudah. Kemudian ikut berbuat korupsi. Bahkan dibilang, ‘Cari yang haram saja susah apalagi yang halal’. Jadi, mentalitasnya rusak dan korupsi itu merusak keimanan. Mestinya orang sadar bahwa rezeki itu Allah yang mengatur, tetapi ketika orang berbuat korupsi itu dia nggak peduli,” katanya.

Calon Pemimpin

Novel lantas menekankan pentingnya pemimpin yang berintegritas dan berkomitmen kuat memberantas korupsi. Sebab, ketika kepada seorang pejabat dilekatkan kewenangan dan otoritas, ia bisa berlaku apa pun. Maka, jika ia orang baik, seharusnya ia bisa menjalankan amanat untuk berbuat kebaikan. Tetapi kalau ia justru orang yang berwatak jahat atau tidak punya integritas, maka ia bisa memanfaatkan kewenangan atau otoritas yang ia miliki untuk melakukan sesuatu dalam rangka mencari keuntungan sendiri atau menguntungkan kelompoknya sendiri.

“Nah, ini yang mesti harus dilihat. Karena, itulah praktik korupsi. Coba bayangkan, dampak korupsi sebesar apa? Saya bisa menggambarkan begini. Ada sisi terkait kebijakan, ada sisi terkait pengaturan dan pengelolaan uang negara. Di luar negara ini ada namanya pendapatan, ada namanya belanja, ada kaitan dengan bagaimana mengatur pengelolaan sumber daya alam, ada yang terkait dengan bagaimana mengatur kedaulatan – kedaulatan di sini tentunya bicara ekspor dan impor, sehingga bicara tentang wilayah Indonesia sendiri – dan ketika bicara tentang ekspor-impor, di sini ada hal terkait dengan keberpihakan. Kalau ada pejabat yang orientasinya mencari untung sendiri, dia nggak peduli bagaimana tumbuhnya produksi dalam negeri, bagaimana petani bisa berproduksi dengan baik, dan sebagainya. Yang dia pikirkan adalah bagaimana kalau impor dia dapat fee, sudah, cukup. Soal nanti di kemudian hari harga-harga barang menjadi ketergantungan dan menjadi sulit, itu urusan lain. Belum lagi kalau kita lihat terkait dengan sumber daya alam. Berapa banyak sumber daerah kita rusak gara-gara yang dipikirkan oleh pejabat yang terkait dengan investasi adalah dia mau mudah mendapatkan uang dan kemudian dia lupakan masalah kewajiban untuk mengawasi atau untuk membatasi. Yang terjadi kemudian adalah kerusakan dari sumber daya alam itu menimbulkan kerusakan lingkungan, misalnya menimbulkan banjir dan banyak lagi,” urainya.

Menurut Novel, ada value yang harus dikembangkan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Ketika kondisi lingkungan buruk, tentu kehidupan kita menjadi tidak nyaman. Kondisi lingkungan yang buruk itu seharusnya tidak boleh terjadi jika pengawasannya baik, terdapat keberpihakan aparatur negara atau pemerintah yang betul betul untuk Masyarakat.

“Biasanya pengusaha kalau mau membuka pertambangan atau perkebunan, dia mendapatkan izin lokasi untuk satu area di sini, dia boleh untuk lihat mana yang bisa dipakai. Maka, dia datangi lokasi-lokasi tersebut lalu dia bebaskan kalau ada masyarakat yang tinggal di situ. Kalau ada masyarakat yang nggak mau (menjual tanahnya), tetap harus berikan akses jalan, tentu harus menghormati, tetapi banyak praktik lain yang dia dilakukan. Jadi, dia hanya bebaskan 20% atau 30%, sisanya dia menyuap, dengan menyuap itu dia dapat izin, yang kemudian dengan izin itu dia menggunakan aparat untuk menggusur orang-orang (yang tidak mau menjual tanahnya) itu. Lalu terjadi masalah sosial. Itu terjadi di banyak tempat. Nah, bisa terjadi begitu karena praktik korupsi,” ulasnya.

Baca Juga : Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasehat KPK (Bagian 12): Koruptor dan Burung Nuri

Maka, dibutuhkan komitmen, konsistensi, dan integritas pemimpin. Apalagi, kata Novel, saat ini hampir semua komoditi pangan ada kartelnya. Di sana ada korupsinya, ada mafianya, dan itu semua berakibat harga pangan dikendalikan oleh orang-orang tertentu. Hal itu membuat peternak dan petani kita hidupnya susah.

“Berapa banyak kita lihat di berita, petani-petani yang membuang hasil panennya karena kesal, harga jual produk panennya tidak menutup biaya produksi. Peternak-peternak Juga begitu. Ini seharusnya tidak boleh terjadi, karena distribusi pangan harus betul-betul diatur negara. Tetapi ketika praktik korupsi terjadi, hal itu tidak diatur dengan baik. Bahkan, kita lihat Indonesia yang punya wilayah pantai dan teluk terpanjang, tetapi katanya kita masih impor garam. Atau kalau kita lihat, sekarang ini kedelai yang menjadi bahan baku untuk makanan-makanan utama orang Indonesia, misalnya tempe, tahu, kecap, dan banyak lagi yang lain, sebagian besar kita impor. Kenapa? Karena ada praktik-praktik sebelumnya yang itu membuat keberpihakan untuk mendorong agar produksi di dalam negeri nggak terjadi. Ini bukan sekadar masalah diproduksi di dalam negeri atau bukan, tetapi ini adalah ruang untuk tenaga kerja, ruang untuk membuat kita menjadi punya daya tahan yang kuat untuk ketahanan pangan yang kuat. Bayangkan kalau kita bergantung dengan impor, kemudian kita punya sentimen dengan negara lain sehingga ditutup pintu kasih barang masuk, apa yang terjadi? Kita kesusahan untuk barang-barang. Ini semua tidak boleh terjadi kalau pengaturannya dilakukan dengan benar dan kembali lagi pengaturan itu harus dilakukan dengan benar oleh pejabat-pejabat yang orang baik,” urainya.

Maka, Novel pun berpesan, di masa menjelang pemilu ini kita harus cerdas. Jangan sampai tergoda dengan orang-orang tertentu yang membuat seolah-olah dia tampak baik, terlihat dia punya rencana baik, lalu dia membagi-bagikan uang kepada Masyarakat agar memilih dia. Tetapi setelah terpilih, dia berbuat korupsi yang menimbulkan kesengsaraan rakyat, dan kerugian yang timbul bagi kita besar sekali dalam jangka yang panjang.

“Jadi di sini kita harus pahami dan tentu kita semua mesti memperluas pengaruh dengan cara membicarakan tentang rekam jejak orang-orang yang menjadi calon pemimpin, agar jangan sampai terjadi ada dampak berupa kerugian dan kerugian itu akan bisa membuat kesulitan bagi Masyarakat, bagi kita, untuk waktu yang panjang,” tutupnya.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.