Terdapat beberapa versi tentang jumlah korban yang jatuh dalam Peristiwa Tanjung Priok, Jakarta Utara, 12 September 1984. Versi pemerintah Indonesia, jumlah korban yang tewas adalah 33 orang, yaitu 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan dan 24 orang tewas oleh tindakan apparat, serta 55 orang luka-luka. Sedangkan lembaga-lembaga kemanusiaan asing menyebut, korban yang tewas terbunuh dalam peristiwa itu mencapai ratusan orang.
Di malam itu, ribuan massa umat Islam bergerak, sebagian mengarah ke Polres Jakarta Utara, sebagian lagi menuju Markas Kodim. Salah satu tokoh Masyarakat Tanjung Priok, H.M. Amir Biki, termasuk dalam rombongan massa yang menuju Kodim. Sesampai di sana, ternyata personel ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) sudah siap menyambut dengan senapan berpeluru tajam yang kemudian ditembakkan secara membabi-buta ke massa umat Islam.
Akibatnya, malam itu ratusan umat Islam diperkirakan tewas diberondong peluru dan ditabrak serta dilindas truk-truk tentara yang sudah siap sedia menyambut kedatangan massa anarkis tersebut. Salah satu yang tewas adalah Amir Biki. Salah satu korban tewas dalam peristiwa itu adalah H.M. Amir Biki.
Putri kedua Almarhum H.M. Amir Biki, Nur Dahlia Biki, mengungkapkan perasaannya atas peristiwa itu lewat tulisan yang ia kirim ke sabili.id. Menurut dia, dirinya memang tak terlalu paham latar belakang kejadian itu. Sebab, saat peristiwa berdarah di Tanjung Priok itu terjadi tahun 1984, usianya baru 6 tahun. Ia lahir pada 15 April 1978. Apalagi tentang politik. Tidak ada hal terkait politik yang ia tahu saat itu.
“Yang saya tahu hanya Papa saya meninggal ditembak ABRI. Itu yang saya dengar, dan itu yang menancap di hati dan pikiran saya,” tulisnya.
Lia, panggilan Nur Dahlia Biki, menyebut, 39 tahun yang lalu siapa tak kenal H.M. Amir Biki? Kata Lia, saat itu papanya dikenal bukan hanya oleh orang yang berdomisili di Tanjung Priok saja. Masyarakat se-Jakarta bahkan se-Indonesia banyak yang tahu kiprah papanya di dunia politik, sosial dan keagamaan. Sebab, papanya adalah orang yang terkenal pemberani, vocal, dan memiliki kekuatan finansial yang membuat ia disegani.
“Papa adalah tokoh yang akan didatangi manakala ada keributan antar suku di Jakarta Utara. Papa adalah pendiri Mudzakarotul Ulama, sebuah wadah yang dibangun untuk menyatukan para ulama se-Indonesia. Papa adalah Ketua HMI, yang bisa memberikan solusi manakala para aktivis dari luar daerah datang ke Jakarta untuk melakukan Munas namun kapal laut yang mereka tumpangi dilarang merapat di pelabuhan oleh pemerintah. Papa adalah tokoh yang mensponsori kemenangan Partai Persatuan Pembangunan di Jakarta saat pemilu 1977, menjadikan rumah pribadinya sebagai posko kemenangan Partai Ka’bah, tempat membuat bendera Partai PPP berukuran terbesar dan memasangnya sendiri di atas tiang,” kenangnya dalam tulisan itu.
Baca Juga : Tragedi Tanjung Priok: Hak Korban yang Terabaikan
Menurut Lia, papanya juga adalah manajer salah satu klub renang di Jakarta. Papanya pun pemilik salah satu grup volk song yang terkenal di zamannya. Intinya, H.M. Amir Biki adalah tokoh yang sangat dikenal publik saat itu.
“Dengan segala kejayaan dan nama besar papa ketika hidup, nyatanya tidak menjadikan kami ‘istimewa’ saat papa sudah meninggal. Saya pada akhirnya banyak memahami tentang cerita dan pengalaman hidup yang kami alami, dimulai pada saat saya mendamping mama saya ketika proses pengungkapan Kasus Priok yang akhirnya dilakukan juga oleh pemerintah di tahun 1998,” katanya.
Lia melanjutkan, ia kemudian mengetahui para personel ABRI yang tinggal di asrama Arhanudse yang lokasinya dekat dengan rumah mereka yang ia kenal sangat baik kepada mereka saat ia masih kecil, ternyata adalah anggota regu tembak yang bertugas pada saat tragedi itu terjadi. “Mereka ikut menembaki papa saya beserta masyarakat lain saat itu. Hal itu terungkap dari salah satu anggota regu tembak yang menghampiri saya di Kantor KOMNAS HAM saat kesatuan mereka diperiksa oleh Komisi Investigasi dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM Tanjung Priok. Kaget, sedih, marah, semua rasa itu bercampur jadi satu, ketika saya sadar ternyata mereka berbuat baik kepada saya untuk menutupi rasa bersalah mereka karena telah membunuh Papa saya,” urainya.
Lia juga menuturkan, kehidupan ia dan keluarga berubah drastis sejak peristiwa berdarah itu terjadi. Biasanya, setiap hari sejak pagi sudah banyak orang yang datang ke rumah dan mereka harus antri untuk bertemu papanya. Kakak, adik, tante, dan om dia dari keluarga besar Manado pun kerap datang ikut membantu menyiapkan hidangan layaknya pesta. Setiap hari bakar ikan. Untuk melayani tamu-tamu papanya, tukang mie ayam dan sate yang menjajakan dagangannya dengan gerobak tak akan pulang sampai habis dagangan mereka. Sebab, tamu-tamu papanya setiap hari memang banyak.
“Tetapi setelah Papa meninggal, rumah jadi seperti kuburan. Jangankan teman, saudara pun ikut menjauh karena takut diciduk aparat. Hanya Mama yang membesarkan kami dengan kerja keras, kekuatan dan kebesaran jiwa, yang membuat kami tetap ‘hidup’. Setiap hari yang kami lihat hanya Mama yang tetap semangat melayani pasien-pasiennya, terjaga setiap malam menunggu kelahiran, buka pintu 24 jam, berjuang tanpa lelah untuk kami anak-anaknya,” tulisnya.
Tak urung pukulan itu datang tatkala mamanya Lia mendapat informasi bahwa malam itu memang ada perintah yang berbunyi, “Habisi Amir Biki sampai ke akar-akarnya”. Hal itulah menurut Lia, yang membuat mamanya memutuskan untuk menyekolahkan dia dan saudara-saudaranya di pesantren secara terpisah. Kakaknya di Bandung, ia di Bekasi, adiknya di Bogor.
“Mama tidak pernah mengajak kami jalan-jalan dalam satu mobil bersama-sama. Yang terpikir oleh mama saat itu, kalaulah ada upaya untuk mencelakakan kami, minimal masih ada anak lain yang tersisa,” katanya.
Di bagian lain, Lia menyebut ada sejumlah teror yang datang ke keluarganya pasca peristiwa itu. Misalnya, ada laki-laki dengan perawakan tinggi besar yang datang ke rumah meminta untuk diperiksa mamanya. Permintaan itu diberikan dengan menodongkan senjata. Selain itu, ada bangkai binatang yang rutin dilempar orang tak dikenal di depan rumah. Atau orang-orang yang datang bergantian menanyakan keluarganya yang hilang dan menyalahkan Papa atas hal itu.
“Mama dengan segala ketegarannya tetap menjaga dan menjauhkan kami dari teror-teror yang datang. Mama selalu membuat kami happy dan tidak melibatkan kami untuk segala kesedihan yang dirasanya,” katanya.
Baca Juga : Surat Terbuka dari Keluarga Korban Tanjung Priok untuk Presiden Jokowi
Lia mengatakan, ada beberapa hal lain yang juga ia alami sebagai dampak dari Kasus Tanjung Priok. Antara lain, ada stigma dari masyarakat yang menganggap papanya adalah pemberontak terhadap pemerintah, ia gagal mendapatkan beasiswa pada saat kuliah, gagal mengikuti tes CPNS dan berkas lamaran serta data dirinya dipisahkan dari pelamar lain di depan matanya. Selain itu, ia pun merasa ditinggalkan saudara, kerabat, dan teman.
“Tanpa mengurangi rasa syukur kepada Allah atas segala kemurahan-Nya, kami harus menjalani hidup dalam kondisi papa tidak meninggalkan uang untuk kami. Rekening di Bank of America nihil, trailer diambil orang, kapal tongkang ditenggelamkan, partner kerja papa meninggalkan kami, pun tanpa ada ucapan belasungkawa. Bersyukur, mama adalah seorang bidan dan Allah mengirimkan banyak pasien melahirkan di klinik bersalin mama,” tuturnya.
Atas semua hal yang mereka alami, Lia berharap pemerintah dapat melakukan penyelesaian terhadap kasus Tanjung Priok.
“Saya berharap, pemerintah dapat melakukan penyelesaian terhadap kasus kami, memberikan pemenuhan atas hak kami sebagai korban Pelanggaran HAM Berat dengan cara Merehabilitasi nama baik Papa kami, Almarhum H.M. Amir Biki; Memberikan kompensasi atas semua kerugian yang kami alami, material dan immaterial; Memberikan bantuan beasiswa untuk anak-anak kami sampai perguruan tinggi; Memberikan bantuan kesehatan dan pemulihan untuk menghilangkan trauma kami; Memberikan jaminan kesejahteraan hidup kami dalam bentuk usaha mandiri,” tutupnya.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!