Tahukah kalian, siapa orang yang pailit itu?" tanya Rasulullah kepada para sahabat suatu hari.
"Orang pailit menurut kami adalah orang yang jatuh bangkrut hingga habis semua kekayaannya," jawab mereka.
Rupanya, bukan jawaban seperti itu yang dimaksud Rasulullah. Memang, seringkali Rasulullah mendidik para sahabatnya dengan model dialog dan pertanyaan. Bukan karena Rasulullah tidak tahu, tetapi ia ingin agar nilai-nilai itu meresap lama di hati mereka. Sebuah wujud kasih sayang seorang pendidik kepada anak didiknya.
"Sesungguhnya orang yang pailit dari umatku ialah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa ibadah shalat, puasa, dan zakat. Tetapi disamping itu, ia telah mencaci-maki si fulan, menuduh si fulan, makan harta si fulan, mencemarkan kehormatan si fulan... Maka Allah memerintahkan agar (pahala) amal ibadahnya itu diberikan kepada orang-orang yang telah disakiti itu. Apabila kebaikan amalnya telah habis, sedangkan tuntutan dari orang-orang yang pernah dirugikannya belum terbayar semua, maka dosa-dosa orang yang dizalimi-nya itu ditimpakan kepadanya. Kemudian, orang itu dilemparkan kedalam neraka," jelas Rasulullah. (HR Muslim).

Pailit, sepotong kata yang dibenci banyak orang, lebih-lebih yang mengalaminya. Tapi, dialog Rasulullah diatas menegaskan betapa konstruksi kepailitan di akhirat jauh lebih rumit dan lebih berat dibanding kepailitan di dunia. Hal itu bisa dilihat dari dua sudut.
Pertama, seluruh ibadah dalam Islam tidak cukup hanya dimaknai sebatas alur hubungan vertikal seorang muslim dengan Rabb-nya, tapi harus berimplikasi pada interaksi horizontal, antara seorang muslim dengan muslim lainnya Dari sudut inilah, nilai ibadah harus kita transformasikan ke dalam etika sosial. Shalat misalnya, harus membawa perubahan, mencegah yang keji dan mungkar. (QS Al-Ankabut: 45). Sedang puasa dan zakat, secara sosial harus melahirkan kesetiakawanan dan rasa sepenanggungan.
Kedua, kekeroposan dimensi sosial dalam ibadah akan melahirkan kepailitan, utamanya di akhirat. Orang-orang seperti itu sebagaimana dijelaskan Rasulullah-adalah golongan manusia yang sebenarnya telah banyak beramal. Sayang, semua itu hangus lantaran habis untuk membayar kezalimannya pada orang lain. Lebih berat lagi, apabila korban kezaliman itu bukan satu atau dua orang, tetapi ratusan ribu bahkan jutaan orang, sebagaimana tradisi para penguasa zalim sepanjang sejarah. Cukupkah pahala amal-amal mereka untuk membayar semua utang dosa-nya kepada setiap jiwa yang pernah dizaliminya? Di pengadilan akhirat kelak, semua tanda tanya itu akan terjawab.

Semoga kita diselamatkan dari bencana kepailitan di akhirat, sebagaimana dijelaskan Allah, "Katakan: 'Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatan nya dalam kehidupan dunia ini. Sedangkan mereka menyangka telah berbuat sebaik-baiknya. Robb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan Mereka itu orang yang kufur terhadap ayat-ayat dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka dan Kami tidak memberikan satu penilaian pun bagi (amalan) mereka pada Hari Kiamat." (QS di Al-Kahfi: 103-105). Wallahu a'lam bishawab.
Darmadi NA, SE
Disadur dari majalah Sabili No.16 TH. VI S4 SEPTEMBER 1999/ 8 DZULQA'DAH 1419

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!