Awalnya cuma cerita roman picisan. Agnes (15), seorang siswi SMA mengadu kepada pacarnya Mario (20), karena mantannya yang dianggap rada "reseh". Lazimnya cowok pasti tidak ingin dianggap cupu oleh sang pacar. Apalagi Mario kerap tampil macho dan tajir, dengan mengendarai Moge dan mobil Jeep Rubicon. Maka Mario segera bertindak, ia mengajak David (17) bertemu, sang mantan Agnes. Didorong keinginan unjuk gigi, lalu menghajar David yang usianya lebih muda dari Mario.
Sampai disitu, ceritanya biasa-biasa aja. Jamak kita dengar anak muda berkelahi karena rebutan cewek. Masalah jadi luar biasa, karena Mario menghajar David sampai koma, sembari sesumbar tak takut kalau musuhnya itu mati. Namun apes bagi Mario, ia salah pilih lawan.
David, remaja yang dianiaya secara brutal dan sadis itu ternyata anak Jonathan Latumahina, salah seorang pentolan Banser, ormas pemuda underbow Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat dekat dengan kekuasaan. Ketua Umumnya, Yaqut C Qaumas, menjabat Menteri Agama RI dan salah seorang anggota barunya adalah Erick Thohir, Menteri Negara BUMN yang baru saja merebut posisi Ketua Umum PSSI.
Lepas apa dan siapapun David, tindakan brutal Mario, itu tidak dibenarkan, apapun alasannya. Maka, pelakunya dihukum berat dan setimpal, agar punya efek jera.
Hebohnya lagi, ternyata Mario yang suka pamer moge dan mobil mewah itu putra Rafael Alun Sambodo, ASN eselon III Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan. Publik mulai bertanya-tanya, berapa gaji Rafael, pejabat Kabag Umum Kantor Pajak Jaksel?
Belum habis rasa penasaran publik, mencuat fakta Rafael rupanya tajir melintir. Berdasarkan pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tahun 2021, kekayaannya senilai 56,1 milyar rupiah. Terbanyak berupa tanah dan bangunan mewah di beberapa kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta dan Manado.
Sontak khalayak geger, bagaimana mungkin sekelas ASN eselon III memiliki kekayaan sedemikian fantastis. Satu demi satu aset dan keluarga Rafael pun mencuat ke publik. Mulai dari sederet rumah mewah, resto kelas atas, baju, tas, sepatu branded dan lain-lain. Itupun masih ada yang disembunyikan, mengingat Moge dan Rubicon yang suka dipamerkan Mario tak tercantum dalam LHKPN tersebut.
Tak berhenti sampai Rafael, publik juga disajikan foto Dirjen Pajak Suryo Utomo yang tengah nangkring diatas Mogenya, bersama serombongan anggota Belasting Rijder, klub motor pegawai Ditjen Pajak. Kontan Menkeu Sri Mulyani ngamuk. Ia membebastugaskan Rafael dan meminta klub motor tersebut dibubarkan.
Menurut Sri Mulyani, gaya hidup mewah pejabat pajak dan Kemenkeu, telah menurunkan kepercayaan rakyat. Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD meminta KPK menelusuri asal muasal kekayaan Rafael yang dalam 10 tahun kekayaannya bertambah 36 milyar. Sesuatu yang menurut Mahfud tidak sesuai dengan profilnya.
Tapi apakah langkah menghentikan perilaku korup dan hedon pegawai pajak dan para ASN lain akan efektif? Rasanya jauh panggang dari api. Jauh sebelum kasus Rafael, publik pernah dihebohkan oleh kasus Gayus Tambunan. Belum sepuluh tahun jadi ASN di Ditjen Pajak, sudah tajir dan kerap plesir ke luar negeri. Bahkan saat ia dikabarkan mendekam di hotel prodeo, tertangkap kamera wartawan tengah menonton pertandingan tenis di Bali. Gayus kemudian divonis hakim 29 tahun penjara.
Agak baru kasus Angin Prayitno, Direktur Pemeriksaan dan Penangguhan Ditjen Pajak. Angin yang sebelumnya menjabat Kepala kantor Wilayah Pajak Jawa Barat, divonis hakim 9 tahun atas dugaan penerimaan gratifikasi dan TPPU senilai 40 milyar.
Tiga kasus diatas membuka fakta perilaku korup ASN pajak sudah terjadi pada lapisan bawah (Gayus) hingga lapisan atas (Angin). Padahal pegawai Ditjen pajak adalah satu dari sedikit ASN yang mendapat tunjangan kinerja luar biasa besar, hingga bisa mencapai 50 juta rupiah perbulannya.
Dengan gaji dan tunjangan yang demikian 'waw' itu, diharapkan mereka akan bekerja jujur dan taat asas, sehingga pemasukan negara dari pajak bisa maksimal. Ini logis mengingat pajak merupakan sumber utama pembiayaan negara. Dengan kata lain, pendapatan negara ini bertumpu pada bagaimana negara "memalak" sekeras mungkin rakyatnya dan juga utang. Bukan pada bagaimana negara membuat warganya jadi pintar, kreatif dan produktif sehingga menghasilkan produk-produk unggulan layak ekspor untuk menghasilkan devisa.
Gambaran tersebut tercermin dari APBN tahun 2022 yang mencapai 2714 triliun. Dari kebutuhan belanja sebesar itu, 1846 triliun (sekitar 68 persen) bersumber dari pajak, cukai, hibah dan PNBP. Sisanya dari mana? Apalagi kalau bukan dari utang. Jadi jelas bagi kita, rezim penguasa ini bertumpu pada keahlian "memajaki" rakyat dan berutang. Padahal tujuan proklamasi kemerdekaan, seperti termaktub dalam pembukaan UUD 45, adalah membentuk negara yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur.
Pertanyaan selanjutnya apakah negara tidak boleh memungut pajak dan berutang? Dalam khazanah Fiqh Islam, pajak tidak boleh menjadi sumber utama pembiayaan negara. Itulah sebabnya di masa Nabi SAW dan para khulafaurrasyidin di Madinah, kaum muslimin tidak dikenakan pajak.
Pajak hanya diambil dari para kafir dzimmi (non muslim yang mendapat perlindungan sepenuhnya dari kaum muslimin). Artinya, kewajiban pajak mereka itu diimbangi hak mendapatkan perlindungan dan keamanan. Adapun umat Islam dikenakan Zakat, Infaq, Shodaqoh dan Waqaf.
Apakah negara boleh memungut pajak. Boleh, dengan persyaratan ketat, yaitu pertama bila negara tidak punya pendapatan lain atau pendapatan itu tidak mencukupi. Kedua pajak bukan instrumen utama, tapi alternatif. Ketiga hanya diambil dari orang kaya. Keempat digunakan untuk mashlahat umum, kelima petugas pengumpul harus amanah. Dan keenam bisa digunakan untuk membantu yang miskin.
Enam persyaratan ini logis, mengingat dalam Islam berlaku dua hal yang paralel, adanya hak dan kewajiban. Rakyat wajib loyal kepada negara, sementara negara wajib mencukupi dan menjamin kehidupan rakyatnya. Kewajiban muncul karena mendapatkan hak. Dan sebaliknya, tunaikan kewajiban baru sah menuntut hak. Yang terjadi saat ini pemerintah bersemangat menuntut haknya, tapi abai terhadap kewajibannya.
Rafael, Gayus dan Angin sedang "apes". Masih banyak yang sama di luar sana, tapi luput dari pemberitaan. Fakta-fakta berikut penting kita simak. Pertama, ada 13.000 pegawai Kemenkeu yang belum setor LHKPN. Jumlah itu sekitar 70 persen lebih dari total pegawai Kemenkeu. Ada ungkapan tidak ada prajurit yang tolol, tapi komandan yang bodoh. Jika dua pertiga lebih pegawai Kemenkeu belum lapor LHKPN, itu tanggung jawab komandannya, Menkeu Sri Mulyani.
Tidak bisa dimaafkan, sebagai bentuk pertanggungjawaban, merunut etik dan fatsun politik sudah semestinya dia mundur. Sudah saatnya Kemenkeu mengubah kampanyenya dari "Warganegara yang Baik Taat Bayar Pajak", diubah jadi "Amanah dan Bertanggungjawab Mengelola Pajak".
Kedua, berita korupsi pejabat negara yang berseliweran silih berganti dari mulai Menteri, Dirjen, DPR/DPRD, Gubernur, Bupati, Hakim Agung, Rektor, Pejabat BPK dan sederet yang lain. Ketiga, gaya hidup mewah para elite, menjadi pemandangan sehari-hari di kota besar maupun kecil. dan Keempat, tumbuh suburnya prostitusi online maupun offline, open BO, pijat plus-plus dan sejenisnya di berbagai pelosok negeri mengindikasikan banyaknya peminat dan pelanggannya.
Disaat yang sama mayoritas rakyat hidup megap-megap, berburu 1-2 kg Minyakita atau gas melon yang semakin langka, antri berdesak-desakan seharian menunggu pencairan bansos, para buruh tinggal berhimpitan di rumah sempit dan sumpek. Belum lagi peternak yang nelongso karena sapinya mati kena Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) tanpa dapat penggantian, petani yang melongo karena harga jual panennya nyungsep, hingga tak mampu menutup modal baik karena diserbu produk impor ataupun dikangkangi kartel. Dan masih banyak lagi.
Kalau begitu, pajak untuk (si)apa?
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!