Pertempuran melawan Tentara Salib bukan saja dipenuhi oleh para pejuang, tetapi juga oleh para penyair Islam. Mereka terjun ke setiap sudut wilayah dan pertempuran untuk menginformasikan segala peristiwa. Peran mereka adalah mengobarkan semangat umat Islam, menggambarkan kondisi bangsa, sifat invasi tentara salib yang menduduki negara-negara Islam dan serangan keji mereka. Semuanya disebarkan ke seluruh negeri-negri Islam.
Menurut Prof Dr Muhammad Shalabi, ada dua tokoh sentral yang memegang peran ini, yaitu Al-Qhadhi Al-Hawari dan Abu Muzhaffar Al-Abyuwardi. Mereka menyebarkan semua peristiwa perang salib dengan bait-bait puisi dan syair. Di era ini, banyak pula yang menulis kisah perjalanan Rasulullah saw dalam bentuk syair seperti Al-Barjanzi untuk memompa semangat perjuangan Muslimin melawan tentara salib.
Penderitaan kaum Muslimin atas kekejian tentara salib disampaikan oleh Al-Qhadi Al-Hawari dalam bentuk puisi:
Air mata bercampur dengan darah terus bercucuran
Tidak lagi tersisa kehormatan karena banyak celaan
Senjata terburuk seseorang, air mata yang berlinang
Berapa banyak darah tertumpah dibiarkan dan diizinkan
Pedang putih menjadi kemerah-merahan
Tangisan anak kecil dan darah bercucuran
Di antara tipu daya, tikaman dan serangan
Menjadikan anak-anak cepat didatangi uban
Dan peperangan itu membuat banyak orang hilang
Untuk memberikan ketukan setelah penyesalan
Menjadi tak berdaya orang musyrik dengan tangan-tangannya
Mereka akan menjadi tawanan dan tengkorak berserakan
Kelemahan dan keengganan Muslimin di Perang Salib dalam mengambil tanggungjawab berjihad jelaskan dalam bait syairnya:
Saya masih melihat bangsa saya tidak segera memanggul tombak
Padahal agama telah menjadi pilar dan mengajak
Mereka menghindari api karena takut binasa
Tidak menyangka kalau serangan justru akan lebih menghinakannya
Apakah engkau rela bencana menimpa orang-orang Arab
Sebagaimana kehinaan diderita orang-orang selain Arab
Sadarilah kesalahan ketika tidak melakukan perlindungan
Terhadap agama, dan keluarga yang butuh perhatian
Penyair Abu Muzhaffar Al-Abyuwardi membuat syair lainnya untuk memanggil kaum muslimin untuk berjihad dengan berkata, "Wahai putra putri Islam!" Hal ini lebih bisa membangkitkan semangat muslimin karena musuh mereka adalah orang-orang kafir. Kemudian dilanjutkan dengan, "Orang musyrik menjadi tak berdaya dengan tangan-tangannya." Bait syair ini untuk menggelorakan semangat menghadapi peperangan yang tengah berkecamuk, untuk melancarkan serangan sengit kepada pasukan penjajah dan memberikan pukulan keras kepada mereka.
Baca juga: Gunung Uhud dan Arti Sebuah Ketaatan
Al-Qadhi Al-Hawari pada 1099 M juga memberitakan kondisi Syam dan Al-Quds setelah dikuasai tentara salib dengan mendatangi majlis khalifah Abbasiyah.
Sejarawan Ibn al-Athir menuturkan: Tanpa mengenakan turban, kepalanya bercukur sebagai tanda duka, meledak teriakan Qadi Abu Sa’ad al-Harawi di ruang majelis agung Khalifah al-Mustazhir Billah, sementara para sahabatnya, tua dan muda, berombongan di belakangnya.
“Berani benar kau tidur lelap dinaungi bayang-bayang rasa aman,” ujar sang Qadi, “hidup bersenang-senang bagai dalam taman-taman bunga sementara saudara-saudaramu di Syam (Suriah) dan al-Quds (Jerusalem) tidak bertempat tinggal kecuali di bawah-bawah pelana unta mereka dan di dalam perut-perut burung Nasar? Darah sudah ditumpahkan! Gadis-gadis muda cantik dihinakan sehingga kini harus menyembunyikan wajah-wajah manis mereka di balik tangan-tangan mereka! Haruskah kaum Muslim pemberani ini menerima saja dihina dan direndahkan?” [The Crusades through Arab Eyes, Amin Maalouf]
Al-Qadhi Al-Harawi tidak saja mendatangi majelis khalifah, juga mendatangi, menampung dan memberi bantuan pada para pengungsi yang lari dari Syam dan Al-Quds. Lalu bagaimana membangkitkan semangat jihad mereka? Caranya, dia membatalkan puasa Ramadhan di hadapan para pengungsi. Para pengungsi protes keras, mengapa seorang qadhi berani melakukan hal itu? Dia berdiri dengan tenang dan menjelaskan.
"Mengapa tersinggung jika ada orang membatalkan puasa di siang bolong, tetapi diam saja ketika tanah suci Jerusalem dijajah, dan muslimin dibiarkan dibantai dengan keji oleh kaum kafir?" Pertanyaan sangat menohok. Pengungsi pun menceritakan tragedi yang terjadi di Jerusalem, lalu menangis dan berdoa saja. Padahal yang diharapkan, mereka berjihad merebut kembali Jerusalem dan membela darah kaum muslim. Melihat kenyataan ini Al Harawi berseru, “Aku melihat para pendukung iman yang ternyata lemah.”
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!