Bencana alam yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera tahun 2025 kembali menyadarkan kita bahwa kebijakan publik harus responsif terhadap situasi darurat. Di tengah kondisi ini, muncul desakan kuat dari berbagai elemen masyarakat agar moratorium MBG (Makan Bergizi Gratis) segera dijalankan. Khususnya saat anak-anak berada dalam masa libur sekolah.
Program MBG pada dasarnya dirancang untuk mendukung pemenuhan gizi anak usia sekolah. Namun, ketika sekolah diliburkan akibat bencana alam atau kebijakan darurat, pelaksanaan program ini perlu dievaluasi secara serius. Tanpa mekanisme pengawasan dan distribusi yang jelas, program tersebut justru berpotensi tidak tepat sasaran, dan menyerap anggaran yang seharusnya dapat dialihkan untuk penanganan bencana. Bayangkan, dana yang sekian besar itu jika dialihkan untuk penyelesaian bencana Sumatera 2025. Tentu manfaatnya amat dirasakan.
Anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) di tahun 2025 dimulai dengan 71 triliun Rupiah. Namun ada rencana untuk meningkatkan biaya harian menjadi 800 miliar Rupiah hingga 1,2 triliun Rupiah per hari. Terutama pada tahun 2026, yang mencakup sekitar 75% dari total anggaran Badan Gizi Nasional untuk menjangkau puluhan juta penerima manfaat di seluruh Indonesia. Jika rata-rata per hari 1 triliun Rupiah, maka dalam 2 minggu liburan anak-anak sekolah, dana yang bisa dialihkan sebanyak 14 triliun Rupiah. Dana sebesar ini saya rasa cukup fantastis jika hanya dihabiskan untuk MBG, sementara saudara kita yang membutuhkan tidak bisa lagi menonton diobralnya APBN sedangkan penderitaan mereka bukan hanya pada infrastruktur yang rusak, tetapi perut yang tersayat dingin dan lapar.
Banyak keluarga kehilangan tempat tinggal, akses pendidikan terganggu, dan kebutuhan dasar semisal pangan, air bersih, serta layanan kesehatan menjadi sangat mendesak. Di dalam kondisi seperti ini, prioritas anggaran negara dan daerah seharusnya difokuskan pada penanganan darurat dan pemulihan korban bencana. Moratorium MBG saat anak libur sekolah menjadi langkah rasional agar anggaran dapat dialihkan sementara untuk: penyediaan logistik bagi korban bencana, pemulihan fasilitas umum, serta perlindungan kelompok rentan, termasuk anak-anak dan lansia.

Pelaksanaan MBG ketika sekolah tidak aktif menimbulkan sejumlah persoalan. Pertama, tidak adanya mekanisme distribusi yang efektif karena siswa tidak berada di lingkungan sekolah. Kedua, minimnya pengawasan yang berpotensi membuka celah pemborosan atau penyalahgunaan anggaran, sebab sudah terbukti di beberapa wilayah MBG yang diberikan saat anak-anak menerima rapor sebelum liburan adalah MBG yang tidak layak sama sekali disebut makanan bergizi. Ketiga, program dapat kehilangan tujuan utamanya karena tidak terintegrasi dengan aktivitas pendidikan.
Moratorium sementara bukan berarti menolak program MBG secara keseluruhan. Sebaliknya, langkah ini justru bertujuan menjaga akuntabilitas kebijakan agar pelaksanaannya tepat waktu, tepat sasaran, dan sesuai kebutuhan nyata masyarakat.
Penting ditegaskan bahwa penghentian sementara MBG saat libur sekolah tidak boleh mengabaikan hak anak di medan bencana. Pemerintah tetap perlu memastikan anak-anak terdampak bencana memperoleh perlindungan dan pemenuhan kebutuhan dasar melalui skema lain yang lebih relevan, seperti bantuan keluarga, dapur umum, atau program tanggap darurat berbasis komunitas. Dengan pendekatan ini, anak-anak tetap terlindungi tanpa memaksakan program yang secara teknis sulit dijalankan dalam situasi darurat.
Jika pemerintah masih ingin disebut Peduli Bencana Sumatera 2025, maka yang harus dilakukan pertama adalah segera menetapkan bencana Sumatera sebagai bencana nasional. Kedua, menjalankan moratorium MBG saat anak libur sekolah, terutama di wilayah terdampak bencana. Ketiga, mengalihkan anggaran secara transparan untuk penanganan darurat dan pemulihan masyarakat. Keempat, menyusun kembali skema MBG yang adaptif terhadap kondisi krisis dan libur panjang. Kelima, melibatkan masyarakat sipil dalam pengawasan kebijakan agar lebih akuntabel.
Bencana seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola kebijakan publik. Keputusan yang cepat, tepat, dan berpihak pada kebutuhan nyata masyarakat akan menentukan seberapa kuat kita bangkit dari krisis.
Peduli Bencana Sumatera 2025 bukan sekadar slogan, melainkan panggilan moral untuk bertindak bijak dan bertanggung jawab. Moratorium MBG saat anak-anak libur sekolah adalah langkah strategis demi memastikan kebijakan negara benar-benar hadir untuk rakyat, terutama mereka yang paling terdampak oleh bencana.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!
