Tanggal 29 – 30 Agustus 2025. Jalanan ibu kota dan kota-kota lain di Indonesia dipenuhi asap, api, berbaur dengan gas air mata dan pekik kemarahan. Batu, pentungan, bersahutan dengan peluru karet. Keringat dan darah menetes di atas aspal yang panas.
Inilah drama ironis di negeri yang katanya merdeka: Rakyat dan aparat berhadap-hadapan, saling dorong, saling luka, padahal mereka sesungguhnya bukan musuh.
Situasi yang sungguh paradoksal: Senasib sepenanggungan tetapi berhadap-hadapan layaknya akan berperang. Perhatikanlah, mereka yang berdemonstrasi dan aparat yang berjaga sesungguhnya memiliki masalah yang sama.
Sama-sama merasakan beratnya impitan ekonomi, sama-sama masih pecicilan sana-sini untuk bayar cicilan, kontrakan, dan biaya pendidikan, sama-sama pengap menanggung beratnya kehidupan. Yang terpenting: Sama-sama sebagai korban!

Korban dari siapa? Dari segelintir pejabat yang duduk di kursi kekuasaan tetapi lupa mengapa mereka duduk di sana. Mereka bukan hanya lalai. Mereka berkhianat. Bukan sekadar menutup mata terhadap penderitaan rakyat, tetapi juga memutar kunci kebijakan untuk mengunci rapat pintu keadilan.
Dari gedung megah berpendingin udara, para pejabat itu mengatur nasib jutaan rakyat seperti menggeser bidak di atas papan catur. Rakyat dan aparat dijadikan pion yang mudah dikorbankan. Aparat dijadikan tameng hidup, dipasang di garis depan untuk menahan gelombang protes dan hujan batu. Untuk apa? Untuk melindungi singgasana kekuasaan para politisi mabuk yang lupa daratan.
Mereka tahu persis, kemarahan itu ditujukan kepada mereka sebagai wakil rakyat. Tetapi mereka tetap jemawa dan tak ingin ikut menghirup gas air mata, tidak tersentuh pentungan, dan tidak harus berlari menghindari lemparan. Mereka menonton dari kejauhan, di balik dinding tebal, sambil meneguk kopi mahal. Biarlah para serdadu yang bertaruh nyawa menghadapi kemarahan rakyat. Biarlah rakyat dan aparat sekarat!
Demonstrasi “Bubarkan DPR” yang mengguncang negeri ini bukanlah sekadar letupan emosi. Ini adalah ledakan dari bara yang dipendam terlalu lama. Bara itu dikumpulkan dari kebijakan-kebijakan yang memukul rakyat, dari janji politik yang dikubur dalam-dalam, dari pengkhianatan yang tak lagi bisa ditutupi.

Dan mari kita jujur: Rakyat tidak ingin berhadap-hadapan dengan aparat. Aparat pun, di lubuk hati mereka, tidak ingin mengarahkan tameng dan pentungan kepada rakyat. Tetapi perintah adalah perintah. Dan di negeri yang penguasanya lebih setia kepada kekuasaan daripada kebenaran, perintah itu sering kali berarti mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
Sayang sekali, badai amarah yang telah lama berurat dan berakar dalam sanubari rakyat tak berkarat dan melemah hanya dengan hadangan aparat. Rakyat semakin “membinatang jalang” (meminjam istilah Chairil Anwar). Maju menerjang memburu para pengkhianat.
Wakil rakyat berjiwa hedonis jauh dari jiwa nasionalis hanya bisa ngacir terbirit. Tak ada yang berani menghadapi rakyat yang marah. Di balik hotel-hotel persembunyiannya di luar negeri, mereka mengigau: “Jangan marah, jangan merusak, mari kita bicarakan baik-baik, hadapi kami jika benci dengan kami, jangan rusak rumah kami”.
Bukankah itu menjadi igauan yang paling absurd! Ingat, lebih dari dua jam demontrasi damai di depan gedung DPR berharap pintu gerbang DPR dibuka, lalu wakil mereka diterima. Senyatanya, gerbang DPR dikunci rapat dan dijaga aparat. Tidak ada satu pun wakil rakyat yang datang dan menerima demonstran. Lalu amarah itu meledak, membuat semuanya sekarat.

Yang sekarat hari ini bukan hanya tubuh-tubuh rakyat dan aparat di jalanan, tetapi juga kepercayaan. Kepercayaan rakyat kepada para wakilnya, kepada institusi negara, bahkan kepada janji kemerdekaan itu sendiri. Dan ketika kepercayaan sudah mati, negeri ini tinggal menunggu waktu untuk runtuh dari dalam.
Pejabat yang berkhianat harus tahu: Rakyat mungkin sabar, tetapi tidak selamanya bisa dibohongi. Rakyat bisa diam, tetapi diam itu bukan setuju. Dan ketika suara mereka pecah di jalanan, itu artinya batas kesabaran sudah dilampaui.
Kekuasaan bukan milik pribadi. Ia hanyalah titipan Allah dan amanat rakyat yang harus dipertanggungjawabkan. Menggunakannya untuk memerkaya diri, memerkokoh kelompok, atau menginjak rakyat, adalah pengkhianatan yang pasti akan dibayar mahal dengan kehinaan. Sebab, sejarah punya ingatan yang panjang, dan rakyat punya cara sendiri untuk mengembalikan amanat yang telah dibelokkan oleh para pengkhianat. Ingatlah Sabda Kanjeng Nabi berikut ini:
“Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah. Kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.”

Untuk rakyat Indonesia, cukup sudah amarah itu. Cukup. Wakil kita sudah kembali ingat bahwa mereka mengemis suara kepada rakyat. Biarlah ini menjadi tamparan bagi para politisi hedon dan pengkhianat. Bahwa rakyat tetap pemegang daulat.
Kepada para pemimpin sejati, lekas nyalakan api nyalimu. Redam amarah rakyat dengan menyingkirkan para benalu, oligarki hitam, dan bromocorah politik. Bertindaklah layaknya patriot: Pembela bangsa yang sejati!

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!