Penandatanganan Petisi 100, Buka Jalan Pemakzulan Segera

Penandatanganan Petisi 100, Buka Jalan Pemakzulan Segera
Petisi 100 oleh Kanzul Rakib / sabili.id

Pernyataan Sikap Petisi 100 tersebut dimulai pukul 14.00 selesai pukul 17.00 WIB. Hadir sebagai pembicara antara lain Letjen Mar (Purn) Suharto (Mantan Irjen Dephankam), Taufik Bahauddin (Dosen Senior UI), Habib Muchsin Al-Attas (Muballigh), Mirah Sumirat (Aktivis Ketenagakerjaan). Sedangkan Dr. Rizal Ramli (Mantan Menko Maritim) dan Dr. Abdullah Hehamahua hadir secara online.

Di kesempatan itu, Taufik Bahauddin mengingatkan agar selalu waspada terhadap bahaya laten komunis. Sebab, ia menyebut, di tahun 2015 bermunculan PKI gaya baru atau yang disebut neo komunis. Bukan sebagai organisasi “Partai Komunis Indonesia” tetapi dalam wujud lain.

“Munculnya Islam Nusantara adalah bagian dari Komunis gaya baru. Upaya penghasutan mereka lakukan agar umat Islam tidak terlibat politik. Tujuannya adalah, umat Islam fokus ibadah saja, urusan politik atau kekuasaan adalah urusan kami. Itu doktrin PKI gaya baru. Bisa dilihat, masjid-masjid hanya membicarakan soal ibadah, fiqih, muamalah, atau bacaan ayat Qur’an dan hadits, pada shalat Jumat. Jarang sekali, bahkan tidak ada, yang membicarakan politik. Umat Islam disuruh fokus ibadah, tidak usah kaya,” kata Taufik.

Taufik menuturkan, pada 2015 ia sudah mulai bicara tentang PKI gaya baru. Ia ingatkan, jangan terjebak dan terhanyut dalam strategi mereka yaitu membuat kita jadi lupa, habis energi, dan kita kehilangan waktu. Menurut dia, PKI gaya baru bermain dengan waktu, karena tak mau kejadiannya sama seperti G30S/PKI yang mereka belum siap seratus persen.

“Yang kedua, tanpa sadar kita digiring untuk mencari alternatif solusi. Coba lihat, berapa banyak yang membahas Keppres (Keputusan Presiden) 17/2022 bahwa PKI tidak salah dan PKI adalah korban. Itu sasaran mereka. Ribut-nggak kita, waktu film ‘Penghianatan G30S/PKI’ dilarang diputar? Ribut-nggak kita, waktu tidak ada upacara tanggal 1 Oktober atau 30 September di Lubang Buaya? PKI gaya baru itu strateginya adalah dia ngumpet di dalam dan pakai tangan orang lain. Bukan dia yang ngomong. Jika perlu, ulama yang dipakai. Muncullah Islam Nusantara dan segala macam,” katanya.

Taufik menyebut, PKI gaya baru sebenarnya sumber masalah dari bangsa dan negara saat ini. Mereka bisa begitu karena kita membiarkan mereka melakukan itu. Padahal, persiapan mereka sudah sejak jauh hari.

“Minimal mereka mempersiapkan 25 tahun yang lalu, sejak 98 minimal,” ucapnya.

Mekanisme Impeachment

Sementara itu, Abdullah Hehamahua lewat zoom mengatakan, ada banyak hal yang harus diperhatikan tentang mungkin atau tidaknya memakzulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Yang pertama, berdasarkan perubahan keempat UUD 1945, maka mekanisme impeachment telah diatur dalam Pasal 7A dan 7B. Di pasal 7b ayat 1 disebutkan, untuk melakukan pemakzulan kepada presiden, harus ada putusan DPR yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika MK setuju, putusan itu dibawa ke MPR untuk disidangkan.

“Yang kedua, dalam sejarah 78 tahun Republik Indonesia ini, Soekarno adalah ‘Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertingi ABRI, Presiden Seumur Hidup’, tetapi bisa dilengserkan pada tahun 1967. Soeharto, Bapak Pembangun yang berkuasa 32 tahun, tetapi juga bisa dilengserkan pada peristiwa gerakan mahasiswa ‘98. Oleh karena itu, sekalipun untuk melengserkan Jokowi itu berdasarkan UUD hasil amandemen keempat tahun 2002 harus melalui MK – sedangkan MK itu sekarang dipimpin oleh adik iparnya – dan kemudian DPR mayoritas – paling tidak 7 partai itu adalah partai dia – maka itu berat sekali, tetapi pengalaman tahun 1966 dan 1998 ketika MPR/DPR diduduki oleh ribuan mahasiswa, pelajar, dan pemuda, maka beberapa anggota Pimpinan MPR dan DPR setuju Soeharto dilengserkan. Seiring dengan itu, beberapa orang Menteri menyatakan mengundurkan diri,” tuturnya.

Abdullah menegaskan, poin yang ingin ia sampaikan adalah bagaimana agar gerakan ini bisa sampai kepada tingkat betul-betul memaksa DPR dan MPR untuk mengajukan ke MK.

“Jika tidak, maka harus dipahami, jangan sampai situasi itu dimanfaatkan oleh Jokowi untuk kemudian melakukan apa yang sudah dilakukan oleh beberapa anggota DPR beberapa waktu yang lalu, yaitu menyatakan negara dalam keadaan darurat kemudian pemilu bisa ditunda. Kalau pemilu ditunda, maka kemudian beliau akan membuat Perppu dan macam-macam, yang bisa mengakibatkan kondisi lebih parah lagi. Jangan sampai Jokowi bisa melanjutkan lagi kepimimpinan dengan cara men-draft Perppu keadaan darurat, lalu menunda pemilu, dan seterusnya,” tegasnya.
Baca Juga : Pengadilan Perintahkan KPU Undur Pemilu

Pelanggaran Janji Jokowi

Sementara itu, Aktivis Ketenagakerjaan, Mirah Sumirat, menyampaikan sejumlah hal yang ia sebut pelanggaran Jokowi. Antara lain, menurut dia, pada 2014 Jokowi saat kampanye telah berjanji di hadapan buruh akan menyediakan “Tri Layak”, yaitu upah layak, pekerjaan layak, hidup layak. Tetapi ternyata janji tinggal janji.

“Tahun 2015 lalu pertama kali setelah dilantik, beliau justru malah mengeluarkan PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. PP 78 Tahun 2015 ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan. PP ini sungguh berdampak luar biasa buruk terhadap kondisi upah para pekerja Indonesia saat itu. Karena PP 78 menghilangkan survei komponen hidup layak yang dilakukan oleh tiga komponen yaitu Serikat Pekerja, Pengusaha, dan Pemerintah. Ini dihilangkan karena PP 78 tadi bertentangan dengan Undang-undang yang saat itu masih berlaku. Ini ditabrak oleh Pak Jokowi,” katanya.

Mirah melanjutkan, masih di tahun 2015, ada hal luar biasa. Yaitu dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penghapusan Kewajiban Berbahasa Indonesia bagi Tenaga Kerja Asing. Menteri Tenaga Kerja pada saat itu, Hanif Dakhiri, mengeluarkan Permenaker, yang lagi-lagi bertentangan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan dan Undang-undang 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sebab, seharusnya bahasa adalah pintu masuk dan syarat utama tenaga kerja asing.

“Keliru sekali jika pemerintah mengeluarkan peraturan yang bertentangan dengan peraturan atau regulasi di atasnya,” katanya.

Apalagi, lanjut dia, di tahun 2017 pemerintah mengeluarkan sebuah keputusan untuk melakukan Gerakan Nasional Non Tunai atau GNTB. GNTB adalah gerakan nasional yang menggunakan teknologi tanpa uang tunai atau cashless pada semua sektor. Mirah menyebut, menurut data BPS, tahun 2017 ada kurang lebih 7 juta pengangguran di Indonesia gara-gara penerapan gerakan non tunai ini. Menurut dia, ada sekitar penambahan lebih kurang 2 juta pengangguran di Indonesia saat itu. Serta ada 20.000 orang pekerja jalan tol yang menganggur karena di-PHK dan sampai sekarang belum bekerja.

“Saya waktu itu sempat menyampaikan langsung ke Pak Jokowi, berhadap-hadapan saat saya sebagai Wakil Ketua Lembaga Kerja Tripartit Nasional saat itu diundang dalam peresmian rumah buruh tetapi kenyataannya rumah buruhnya tidak pernah ada, saya menyampaikan langsung, ‘Pak Jokowi ini kenapa ada gerakan non tunai dan itu ada lebih 20.000 teman saya di-PHK?’ Lalu beliau bilang, ‘Ya nanti kalau kamu di-PHK, ngadu ke saya’. Lalu ada menteri saat itu di sampingnya yang menyampaikan, ‘Kalau kamu masih terus dengan manual, ini berarti Indonesia balik lagi ke zaman batu’. Saya sudah menyampaikan bahwa Indonesia belum siap untuk menerapkan teknologi ini. Saya bilang, di Amerika sekalipun dalam tahun itu masih menyiapkan uang cash atau tunai. Jepang dan Korea itu tidak semua 100%, termasuk gedung-gedung bertingkat masih menyiapkan tangga darurat dan nggak semua lift,” urainya.

Ia pun menyebut, ada pembela dan para pemuja teknologi yang menyampaikan kepada dia bahwa dengan penerapan teknologi maka akan ada jenis pekerjaan baru yang muncul. Dan memang ada jenis pekerjaan baru yang muncul, tetapi jenis pekerjaan tersebut masih kurir dan driver online. Semua itu diterapkan dengan mengatasnamakan sistem kemitraan, padahal menurut dia, sesungguhnya itu adalah kemitraan palsu, karena di sana tidak ada upah. Transaksi tarif langsung diberikan begitu saja, tanpa ada negosiasi. Sedangkan kalau ada kesalahan, kurir atau driver itu langsung di-suspend atau dinonaktifkan.

“Kerjanya luar biasa, dari pagi sampai pagi lagi. Dan itu upahnya – kalau nggak salah – satu paket hanya Rp 100, tidak ada jaminan kesehatan, tidak ada jaminan hari tua, dan lain sebagainya. Saya sudah protes kepada Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, Ibu Ida Fauziah, dan meminta untuk menghilangkan sistem kemitraan yang palsu ini. Ini bukan kemitraan yang sesungguhnya. Ini bohong,” ucapnya.

Tenaga Kerja Asing

Menurut Mirah, di tahun 2018 Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 20 tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang mempermudah Tenaga Kerja Asing masuk ke Indonesia. Ini lagi-lagi bertabrakan dengan undang-undang. Selain menghilangkan kewajiban berbahasa Indonesia, memberikan juga karpet merah untuk tenaga kerja asing, karena bisa terus dan mudah bekerja di Indonesia. Padahal, seharusnya mereka hanya bisa bekerja dalam waktu 6 bulan. Dengan peraturan ini, bisa diperbaharui terus menerus, dan sampai selamanya.

“Bahwa ternyata yang masuk di sini, saya punya data, adalah tenaga kerja kasar. Nggak usah jauh-jauh sampai ke Morowali. Di Cipulir, yaitu pembuatan kereta cepat itu, banyak tenaga kerja asing yang tidak bisa berbahasa Indonesia, yang upahnya itu rata-rata di atas upah minimum provinsi rakyat Indonesia. Kalau mereka rata-rata 40 juta Rupiah, itu rakyat kita cuma dua setengah juta Rupiah. Luar biasa, dan sayang gajinya itu tidak langsung ditarik ke luar negeri oleh China, karena kebanyakan Tenaga Kerja Asing asal China. Kita bisa lihat ke salah satu sektor telekomunikasi, Itu terkenal dengan IPBC (India, Pakistan, Bangladesh, dan Cina). Rata-rata mereka – mohon maaf – keahlian dan kompetensinya masih jauh di bawah Tenaga Kerja Indonesia, tetapi gajinya luar biasa,” urainya.

Mirah menegaskan, Keppres itu bertentangan dengan Undang-undang Dasar ‘45 pasal 27 ayat 2, bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". Dan sesudah melakukan dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, ia menyadari DPR RI saat itu memang tak setuju tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, karena mungkin sudah tersandera.

“Lalu, tahun 2019 Pak Jokowi mencalonkan diri kembali. Luar biasanya di dalam pidato pelantikan di depan DPR/DPD/MPR, beliau menyampaikan akan membuat sebuah rangkuman undang-undang. Undang-undang akan dijadikan satu, yaitu namanya Undang-undang Cipta Lapangan Kerja omnibus law. Dampak luar biasa dari hal itu sudah merusak. Tahun 2019 para pengusaha hitam kompak bener langsung membuat keputusan PHK secara sepihak terhadap pekerja dan buruh kita, tanpa proses SP1, SP2, SP3, langsung di-PHK dengan alasan rugi, karena dalam Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja hal itu boleh,” katanya.
Baca Juga : Sudah 78 Tahun Merdeka, Dunia Pendidikan Kita Hanya Bisa Ciptakan Pencari Kerja

Satu lagi yang luar biasanya, menurut dia, kita dihantam dengan Covid-19 di tahun 2020-2021. Buruh langsung dirumahkan oleh pengusaha tanpa diupah, tanpa dibayar, langsung di-PHK, tanpa ada pesangon. Kalau pun mau berselisih, langsung ke pengadilan, tetapi buruh tak punya uang.

“Kita sudah sampaikan ke pemerintah, tetapi pemerintah kemudian tetap membuat undang-undang tahun 2021. Ini proses pembuatan undang-undang luar biasa cepat. Kenapa saya bilang cepat? Pada Februari 2020 naskah itu diberikan ke DPR RI, Oktober 2020 menjelang tengah malam buta disahkan oleh DPR RI. Ini luar biasa. Padahal kita demo besar-besaran dengan banyak korban, dari adik-adik mahasiswa dan juga buruh saat itu, tetapi tetap berlaku,” tuturnya.
Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.