Aktivis yang juga Peneliti Kepemiluan dan Demokrasi Indonesia, Titi Angraini, mengatakan, jika kita bicara tentang keadilan pemilu, dari sisi konsep electoral justice atau keadilan pemilu artinya adalah menjaga kemurnian suara pemiliu. Kemurnian suara pemiliu itu direfleksikan oleh hak pilih yang dilindungi secara optimal. Hak pilih itu bukan hanya hak warga negara untuk memilih, tetapi juga hak untuk dipilih. Termasuk memilih orang yang konstitusional. Termasuk juga memilih pemimpin yang menang melalui proses pemilu yang Luber dan Jurdil.
Titi Anggraini mengatakan hal itu saat tampil sebagai salah satu pembicara dalam Diskusi Publik bertema “Akankah Putusan MK Memenuhi Rasa Keadilan?” di Jakarta Selatan, Jumat (19/4/2024). Acara yang berlangsung pukul 19.10 sampai 21.40 WIB itu dihadiri para mahasiswa dan Ketua-Ketua BEM seluruh Indonesia yang terwakili.
“Kalau kita lihat perjalanan bagaimana keputusan MK di dalam menegakkan keadilan pemilu, berarti kan kita ingin menjaga purifikasi suara pemiliu. Kemurnian suara pemiliu. Suara pemilih itu bisa dimanipulasi. Cara memanipulasinya bagaimana? Ini teori lagi. Ada tiga,” ujar Dosen tamu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.
Titi lalu mengurainya. Pertama, dengan memanipulasi aturan. Jadi, aturan itu sengaja didesain sedemikian rupa untuk mendukung skenario pemenangan salah satu pihak.
“Kalau saya membaca, itu sudah sejak ketika Undang-Undang Pemilu tidak diubah. Undang-Undang Pemilu tidak diubah, karena dianggap Undang-Undang Pemilu-nya sudah bagus. Kita tinggal terapkan, kita tinggal laksanakan, kita sudah punya praktik di 2019. Kata siapa? Kata Pak Profesor Pratikno (Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia). Tetapi, tidak berapa lama kemudian, keluar Perppu yang bukan hanya bicara soal daerah otonom baru, tetapi juga misalnya soal tidak ada nomor urut bagi partai-partai parlemen, lalu masa kampanye yang diperpendek, dan seterusnya. Kalau saya sebagai peneliti kepemiluan sudah membaca itu. Dan bicara manipulasi aturan, bukan hanya dikontribusikan oleh rule makers, tetapi juga bisa oleh pengadilan,” katanya.
Baca juga: Titi Anggraini (Peneliti Kepemiluan dan Demokrasi Indonesia): “Sejak Awal, Pemilu 2024 Sudah Menghadapi Tantangan”
Menurut Titi, sulit untuk tidak mengakui bahwa putusan MK adalah produk yudisialisasi politik. Yudisialisasi politik adalah terlibatnya pengadilan yang semakin dominan dalam urusan-urusan politik, termasuk pengaturan pemilu. Sebab, pengadilan – dalam hal ini Mahkamah Konstitusi – punya kewenangan judicial review. Tetapi putusannya menjadi refleksi dari politization of judicial. Politisasi yudisial.
“Karena apa? Bayangkan, dalam sebuah kompetisi ketika KPU sudah mengumumkan pendaftaran calon, tiba-tiba dengan persyaratan yang sederet, tiga hari sebelum pendaftaran calon, aturannya berubah. Dari sana saja, itu membuat yang namanya kepastian hukum dan keadilan pemilu itu menjadi tidak terukur. Kalau kita bicara keadilan pemilu, kemurnian suara pemilih bisa dicederai oleh manipulasi aturan. Dan manipulasi aturan bukan hanya oleh pembentuk undang-undang tetapi juga bisa oleh pengadilan,” katanya.
Kedua, kata Titi, adalah memanipulasi pemilih. Manipulasi pemilih bisa dilakukan dengan cara-cara membelokkan referensi murni atau asli atau otentik dari pemilih. Karena ada disinformasi, jual-beli suara, politisasi bansos, intimidasi, maka suaranya berubah. Tetapi itu tidak mencerminkan pilihan rakyat yang otentik. Dan itu sangat bertentangan dengan asas jujur yang dikendaki oleh konstitusi. Juga sangat bertentangan dengan asas adil, karena membuat kompetisi menjadi tidak setara.
“Dan yang paling parah, dia membuat suara pemilih menjadi tidak murni, dan membelokkan suara pemilih dengan cara-cara illegal,” tegasnya.
Ketiga, menurut Titi, adalah manipulation of force. Mengubah hasil dengan menambah atau mengurang. Istilahnya adalah pengelembungan.
“Nah, sekarang kalau kita bertanya keadilan pemilu, keadilan pemilu akan tercederai kalau kemurnian suara pemilih terganggu akibat manipulasi aturan, manipulasi pemilih, dan manipulasi suara,” ucapnya.
Baca juga: MK Tak Perlu Khawatir Keputusan yang Diambil Akan Mendiskualifikasi Gibran
Bagaimana dengan keputusan MK? Menurut Titi, keputusan MK pasti tak bergeser dari tiga hal. Pertama, opsinya tidak dapat diterima. Kedua, opsinya ditolak. Ketiga, opsinya dikabulkan.
“Nah, kalau dikabulkan, dikabulkannya apakah sebagian atau seluruhnya? Tetapi sebelum kita melompat sampai kepada amar putusan MK, yang sebenarnya harus kita betul-betul perhatikan adalah rasio desideni di balik Keputusan. Alasan, rasionalitas, logika, pertimbangan, dan penalaran hukum apa yang akan digunakan MK ketika dia sampai pada konklusi, baik tidak menerima, menolak, ataupun mengabulkan,” jelasnya.
Titi mengatakan, kita harus membedakan antara keinginan kita dengan kondisi obyektif dan dinamika hukum yang ada pada MK dengan yang ada pada masyarakat kita Serta proses persidangan yang bisa kita Simak. Pertama, para hakim MK yang akan memutus perkara ini adalah MK yang menjadi bagian dari problematika hukum pemilu atau masalah hukum pemilu itu sendiri. Menurut dia, setengah dari permohonan Pasangan Calon nomor urut 1 dan nomor urut 3, salah satu sumber persoalannya adalah Mahkamah Konstitusi itu sendiri.
“Jadi memang kita berhadapan dengan dilemma. Lalu semaksimal apa sih keadilan pemilu yang akan kita harapkan dari institusi penyelesai masalah hukum pemilu yang ternyata menjadi bagian dari masalah hukum pemilu itu sendiri? Sejauh mana kita mau percaya diri, menebak atau menganalisis keputusan ketika kita berhadapan dengan institusi yang menjadi bagian dari masalah hukum pemilu itu sendiri? Saya tidak bisa terlalu optimis, gitu ya,” ujarnya.
Titi juga meragukan, Mahkamah Konstitusi akan sampai pada keberanian mendiskualifikasi paslon atau calon atau produk yang dia ikut berkontribusi dalam melahirkannya. Itulah sebenarnya dilema terbesar keadilan pemilu kita sekarang ini.
Baca juga: GPKR Gelar Aksi Damai tentang Pemilu/Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi
“Kalau saja dia tidak jadi bagian dari itu dan kita belum pernah punya pengalaman di pilpres atau pileg atau bahkan pilkada sebelumnya. Oleh karena itu, saya kira, saya lebih tertarik menunggu apa sih rasio desideni, alasan, logika, rasionalitas, pertimbangan, dan penalaran hukum yang akan digunakan oleh MK di dalam membuat amar putusan di antara 3 pilihan kita. Tetapi saya membatasi akhirnya ekspektasi optimisme saya, karena kita berhadapan dengan institusi yang melahirkan masalah hukum kita. Saya kira, Mahkamah Konstitusi tidak akan berani mendiskualifikasi orang yang dilahirkan dari (operasi) cesar yang mungkin malapraktik. Ya, ini malapraktik, nih. Karena itu diakui lho malapraktiknya oleh putusan MK-MK dan putusan MK sendiri, tetapi mungkin nggak banyak yang tahu bahwa MK itu mengkoreksi putusan 90 dengan putusan 141 Tahun 2023. MK mengatakan, usia itu open legal policy. Kewenangannya pembuat undang-undang. Yang kalau pun ada pengecualian, yang paling dekat pengecualiannya adalah sedang atau pernah menjadi gubernur. How come? Itu putusannya tuh November, tetapi mahkamah gak berani keluar dari zona pragmatisnya, dengan mengatakan, ‘tetapi kalau ada perubahan itu nanti buat 2029’. (Pemilu tahun) 2024 tetap berlaku tuh putusan 90. Jadi mahkamah konstitusi sudah membuktikan pragmatismenya,” urainya.
Titi menegaskan, MK menyadari ada bayi putusan yang lahir dengan operasi cesar lewat cara malapraktik, tetapi MK tak mau pragmatis mengakui malapraktik itu. Dengan situasi itu, ia mencoba untuk menetralisir optimisme dia terhadap putusan MK.
“Putusan paling berani sekali pun, MK Bukan mediskualifikasi tetapi punya kemungkinan – karena mungkin ada upaya penebusan dosa juga yang ingin dia lakukan – di tengah zona pragmatis yang ada di MK, ya paling maksimal sekali adalah Mahkamah Konstitusi akan memutus pengurutan suara ulang, tetapi di sejumlah wilayah di daerah-daerah terdampak peristiwa terjadinya manipulation of voters dimana orang berubah pendiriannya, tidak mencerminkan pilihan yang otentik, karena pengaruh mobilisasi, intimidasi, politisasi bansos, kemudian politisasi perangkat desa yang punya pengaruh. Nah, dan kalau di persidangan teman-teman mengikuti, mungkin teman-teman akan mencermati korelasi beberapa peristiwa tadi, ya, melalui kehadiran ahli, saksi, ataupun pihak lain yang dipanggil oleh Mahkamah Konstitusi,” katanya.
Titi menyebut, jika ditanya, ia sebenarnya ingin lebih dari itu. Tetapi, menurut dia, kita berhadapan dengan realitas. Realitasnya, institusi yang harus menyelesaikan dan dianggap sebagai last resort (pelabuhan terakhir) dari kehadiran pemilu ini juga menjadi bagian dari problematika dan masalah hukum pemilu kita.
“Jadi, saya mencoba menetralisir ekspektasi dan harapan saya, dengan mengatakan, mentok-mentok adalah PSU (Pengurutan Suara Ulang) di sejumlah daerah,” tegasnya.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!