Pengungsi Rohingya: Antara Prasangka Buruk, Disinformasi, dan Kabar Bohong

Pengungsi Rohingya: Antara Prasangka Buruk, Disinformasi, dan Kabar Bohong
Seorang wanita Rohingya beristirahat di pantai setelah kedatangannya di Pidie, Aceh / (Reuters)

Masalah yang melingkupi pengungsi Rohingya yang kini berada di Aceh masih terus berlangsung hingga sekarang. Banyak pihak berharap pemerintah pusat segera menyelesaikan masalah pengungsi Rohingya dan tidak sekadar menyerahkan penanganan masalah pengungsi itu ke masyarakat. Apalagi, di pekan terakhir Desember 2023, ada sebagian masyarakat Aceh yang melakukan aksi penolakan terhadap kedatangan ribuan pengungsi Rohingya yang mendarat di sejumlah pantai di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam sejak pertengahan November 2023.

Pada 27 Desember 2023, segerombolan mahasiswa bahkan melakukan tindakan-tindakan intimidasi terhadap para pengungsi Rohingya di Kota Banda Aceh. Aksi pengusiran dan intimidasi itu diyakini sejumlah kalangan – baik dari masyarakat maupun akedemisi – dipicu oleh provokasi dari “narasi kebencian, disinformasi, dan berita bohong” yang meluas di media sosial. Sebuah penelitian yang dilansir bbcindonesia.com menyoroti narasi penyebaran prasangka buruk terhadap etnis Rohingya di media sosial serta mengungkap cara kerja penyebar disinformasi yang diduga terorganisasi.

Menurut penelitian tersebut, para komentator di media sosial kerap menyuarakan penolakan atas kedatangan warga etnis Rohingya itu karena menganggap mereka sebagai ancaman. Sejumlah alasan yang dikemukakan antara lain adalah kecemasan bahwa Rohingya akan merebut tanah Aceh seperti kasus Israel di Palestina, khawatir pengungsi Rohingya menjadi beban negara, menggerus anggaran negara, memicu kriminalitas, membuat negara sendiri di Indonesia, dan memicu kesenjangan sosial. Juga ada komentar bahwa Rohingya menuntut lokasi pengungsian yang layak serta Imigran gelap masuk secara ilegal tanpa visa dan identitas yang jelas. Ditambah lagi dengan komentar-komentar bahwa para pengungsi Rohingya itu punya perilaku buruk, semisal membuang makanan yang diberikan warga Aceh, jorok, dan kotor.

Menanggapi masih berlarutnya masalah pengungsi Rohingya di Aceh, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Aceh, Tgk H Faisal Ali, dikutip nu.or.id, mengharapkan pemerintah pusat segera turun menyelesaikan masalah Rohingya. Pria yang akrab disapa Abu Sibreh itu meminta pemerintah Pusat tidak memberikan tanggung jawab penanganan Rohingya ini kepada pemerintah daerah atau masyarakat Aceh. Ia juga mendorong Presiden Jokowi untuk dapat menyelesaikan permasalahan pengungsi Rohingya di Aceh.

“Kepada pemerintah pusat saya berharap penyelesaian pengungsi Rohingya secepatnya. Ini harapan saya,” kata Abu Sibreh yang juga pimpinan Dayah Mahyal Ulum Al-Aziziyah Sibreh itu.

Akhir tahun 2023 lalu, Presiden Joko Widodo dikabarkan telah menginstruksikan Menko Polhukam, Mahfud MD, untuk mengatasi masalah pengungsi Rohingya. Mahfud diminta Presiden untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat dan Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR). Terkait hal itu, Mahfud MD mengatakan, pemerintah masih mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah pengungsi Rohingya itu.

Baca juga: Menohok! Begini Kata Tokoh Aceh Atas Aksi Mahasiswa Usir Pengungsi Rohingya

Menurut Mahfud, saat ini jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia mencapai 1.478 orang. Mahfud lantas menjelaskan, sebenarnya Indonesia tidak terikat dengan konvensi internasional soal pengungsi di bawah UNHCR. Ia mengatakan, keterbukaan Indonesia terhadap para pengungsi Rohingya dilakukan atas dasar kemanusiaan. Bukan karena keterikatan dengan konvensi internasional. Ia pun mengatakan, sikap Indonesia senyatanya tidak dibarengi keterbukaan beberapa negara yang terikat perjanjian UNHCR, misalnya Malaysia, Australia, dan Singapura. Mahfud menyebut, Malaysia menutup, Australia menutup, Singapura pun tidak mau menerima. Makanya, para pengungsi Rohingya menuju Indonesia. Awalnya, kata Mahfud, mereka bermaksud transit, tetapi lama-lama jadi tempat tujuan pengungsian.

Di bagian lain, Mahfud MD mengklarifikasi isu di media sosial yang khawatir pengungsi Rohingya jadi beban anggaran negara. Ia menegaskan, pengungsi Rohingya tidak membebani anggaran negara. Sebab, pemerintah tidak punya anggaran untuk pengungsi Rohingya. Pemerintah hanya menyediakan lokasi penampungan sementara sebagai langkah yang dilakukan “demi kemanusiaan”.

“Ini kan nggak ada (alokasi anggarannya) di APBN, nggak ada di pemda (APBD). Dia masuk ke daerah-daerah, pemda nggak punya anggaran,“ katanya.

Menurut Mahfud, kebutuhan hidup sehari-hari pengungsi atau pencari suaka di Indonesia – bukan hanya Rohingya – ditanggung oleh UNHCR sebagai badan PBB yang mengurusi pengungsian. Mahfud MD juga memastikan, pemerintah tak akan menampung secara permanen para pengungsi Rohingya. Sebab, Indonesia tidak ikut konvensi tahun 1951 tentang pengungsi. Sehingga, Mahfud menyerahkan masalah Rohingya ini kepada UNHCR.

Tentang hal ini, Perwakilan UNHCR untuk Indonesia, Mitra Salima Suryono, dikutip bbcindonesia.com, mengatakan, “Setiap biaya, kebutuhan pengungsi yang ada itu akan di-cover atau ditanggung oleh UNCHR dan mitra-mitra kerja. Sama sekali tidak menggunakan pendanaan dari negara atau APBN maupun APBD.”

Meski demikian, pemerintah memutuskan, untuk sementara ini para pengungsi Rohingya diterima dulu, sampai ada tindakan berikutnya. Hingga kini, pemerintah Republik Indonesia belum menetapkan rencana pemindahan pengungsi Rohingya.

Lalu bagaimana dengan narasi kebencian yang mencuat di media sosial yang menyoroti kecurigaan bahwa pengungsi Rohingya kemungkinan melakukan tindak kriminalitas di negara sebelumnya? Bisa jadi, beberapa pengungsi etnis Rohingya yang datang ke Indonesia itu memang pernah terlibat kasus kriminal, semisal perdagangan manusia atau penyelundupan orang, kabur dari penampungan, dan dugaan pelecehan seksual. Namun, itu adalah oknum. Mirisnya, kejahatan sejumlah orang itu lalu dipukul rata menjadi seolah-olah kesalahan seluruh etnis Rohingya. Sedangkan seluruh kasus yang melibatkan oknum warga etnis Rohingya itu telah ditangani polisi. Artinya, mereka yang terlibat kasus-kasus ini telah diproses secara hukum. Hal itu dikatakan Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna.

“Kalau-lah satu orang melakukan kejahatan, tampaknya tidak adil kalau kita timpakan kesalahan itu terhadap semua orang,” katanya seperti dikutip bbcindonesia.com.

Baca juga: Rohingya, Saudara yang Terbuang

Tentang kemungkinan para pengungsi Rohingya minta tanah di Aceh seperti kasus Israel di Palestina, rasanya pun merupakan kecemasan yang berlebihan. Sebab, sesuai aturan di Indonesia, mereka tidak berhak memiliki properti di sini. Apalagi, karena tidak memiliki kelengkapan administratif, pengungsi Rohingya tidak punya hak untuk bekerja. Ruang gerak mereka saja dibatasi.

Melihat status dan kondisi yang melingkupi mereka itu, hampir mustahil pengungsi Rohingya punya KTP Indonesia, sekalipun mereka menikah dengan WNI. Sebab, syaratnya ketat, termasuk harus punya pekerjaan dan penghasilan tetap. Sedangkan sekarang ini pengungsi Rohingya tidak punya hak untuk bekerja karena tidak memiliki kelengkapan administratif.

Tentang keluhan warganet, “Indonesia masih banyak yang hidup di garis kemiskinan, kok imigran gelap dikasihani”, maka seperti dikatakan Menko Polhukam Mahfud MD di atas, pemerintah Indonesia tidak mengeluarkan biaya untuk pengungsi Rohingya. Jadi, imigran tersebut tidak membebani anggaran negara. Di sisi lain, para pengungsi tak boleh bekerja di Indonesia dan ruang gerak mereka terbatas, sehingga tak punya penghasilan. Lantas, bagaimana mereka hidup? Jadi, adalah wajar jika bantuan dari lembaga swadaya masyarakat pun mengalir kepada mereka. Lagi-lagi, dasarnya adalah kemanusiaan.

Ditambah lagi, selama ini buktinya tak satu pun dari para pengungsi dan pencari suaka yang ditampung di Indonesia hingga lebih dari satu dekade yang punya rumah apalagi pulau pribadi di Indonesia. Sebab, status mereka adalah refugee. Dan refugee hanya diizinkan tinggal sementara, sebelum dipindahkan ke negara ketiga, serta tidak diperkenankan untuk melakukan suatu kegiatan tertentu.

Pengungsi atau refugee diidentifikasi sebagai orang yang mengungsi dari negara asalnya dikarenakan ancaman nyata berupa diskriminasi, persekusi, dan kekerasan karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotan di dalam kelompok tertentu, dan pendapat politiknya. Para pengungsi Rohingya itu bisa dianggap memenuhi kriteria menurut UNCHR tersebut.

Para pengungsi umumnya mencari perlindungan dari negara-negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Indonesia tidak meratifikasi konvensi tersebut. Artinya, Indonesia sebenarnya bisa saja menolak memberikan perlindungan terhadap pengungsi. Namun, dengan berbagai pertimbangan, pemerintah Indonesia telah mengatakan bersedia menampung sementara pengungsi Rohingya atas dasar kemanusiaan.

Tentang narasi dalam komentar di media sosial bahwa etnis Rohingya di Aceh itu berkelakuan buruk, antara lain membuang makanan, jorok, dan kerap buang air sembarangan, mungkin saja memang benar. Tetapi sekali lagi, itu adalah beberapa kasus yang tidak bisa dipukul rata kepada semuanya. Jangan-jangan, hal itu terjadi karena sejumlah lokasi penampungan pengungsi di Indonesia tidak cukup memberikan pendidikan tentang kebersihan lingkungan, menyediakan fasilitas MCK, dan sarana kesehatan. Atau mungkin juga hal itu terjadi karena adanya perbedaan budaya, adat, dan kebiasaan.

Nah, jika isu yang berseliweran di media sosial terkait pengungsi Rohingya itu sebagian besar berisi kabar bohong, apa kepentingan di baliknya? Apakah benar keyakinan beberapa kalangan bahwa ada isu terkait Pilpres 2024 di balik polemik pengungsi Rohingya? Apakah benar dugaan tentang adanya isu pesanan pihak tertentu di balik aksi pengusiran Rohinya oleh mahasiswa Aceh? Wallahu a’lam.

Yang jelas, kesamaan agama serta pengalaman baik di masa sebelumnya menjadi alasan banyak pengungsi etnis Rohingya menjadikan Indonesia sebagai tujuan. Mereka merasa lebih aman dan nyaman tinggal sementara di Aceh karena warganya sama-sama muslim. Apalagi, mayoritas pengungsi Rohingya merupakan perempuan dan anak-anak, yang secara naluriah selalu ingin dilindungi.

Maka, wajar jika kita mengulurkan tangan. Bukankah Islam mengajarkan kita untuk menolong orang-orang yang terzalimi, siapa pun mereka? Apalagi mereka itu seiman dan seagama. Terlebih, mayoritas mereka adalah kaum yang lemah, yaitu wanita dan anak-anak. Seperti kata Menkopolhukam, Mahfud MD, Indonesia sebenarnya memang tak terikat dengan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang pengungsi. Namun, negara ini – termasuk masyarakatnya – harus punya keterikatan dengan kemanusiaan.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.