Peralihan Kekuasaan dan Deflasi Lima Bulan Beruntun

Peralihan Kekuasaan dan Deflasi Lima Bulan Beruntun
Peralihan Kekuasaan dan Deflasi Lima Bulan Beruntun / Foto Istimewa

Di dalam konferensi pers pada Selasa (1/10/2024) Pelaksana Tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti,  menyatakan, “Indonesia deflasi 0,12% pada Setember 2024”. Ini sesuatu yang sesungguhnya telah diduga oleh banyak pengamat ekonomi nasional. Pengumuman oleh BPS itu hanya memastikannya saja.

Deflasi adalah kondisi di mana terjadi penurunan tingkat harga barang dan jasa secara umum dan terus-menerus dalam suatu periode waktu. Kondisi ini berkebalikan dengan inflasi, yang menunjukkan kenaikan harga-harga.

Mungkin dalam pemaknaan spontan konsumen, deflasi dianggap menguntungkan. Faktanya, deflasi bukan hanya terkait dengan turunnya harga, tetapi juga berhubungan erat dengan penurunan aktivitas ekonomi, penurunan daya beli masyarakat, dan sering kali mencerminkan stagnasi ekonomi. Deflasi yang telah terjadi selama lima bulan berturut-turut adalah alarm yang mengingatkan bahwa situasi ekonomi nasional tidak sedang baik-baik saja.

Hal utama yang harus kita pahami dari rentetetan deflasi tersebut adalah penurunan konsumsi dari kelas menengah. Mereka lebih selektif dalam memenuhi kebutuhan karena menurunnya pendapatan akibat melemahnya aktivitas ekonomi.

Bisa dipastikan, melemahnya daya beli masyarakat adalah penyebab utama terjadinya deflasi ini. Masyarakat lebih memrioritaskan membeli makanan dan kebutuhan bahan pokok ketimbang kebutuhan sekunder, apalagi yang tersier. Kelesuan ekonomi akan terjadi secara sistematis.

Memori tentang 30 September
Hari ini, 30 September 2024, terasa sepi bagiku. Mungkinkah ada kesalahan yang masih tersimpan sebagai kebenaran dan ada kebenaran yang tersimpan sebagai kesalahan?

Beberapa Dampak dari Deflasi

Pertama, meningkatnya nilai utang riil. Di dalam situasi deflasi, nilai uang bertambah kuat, sehingga nilai riil utang (baik utang rumah tangga maupun perusahaan) menjadi lebih besar. Ini bisa menyebabkan banyak perusahaan dan individu kesulitan membayar utang mereka, yang pada gilirannya dapat memicu kebangkrutan atau krisis keuangan.

Kedua, penurunan pendapatan perusahaan. Ketika harga-harga menurun, margin keuntungan perusahaan menyusut karena pendapatan yang diterima dari penjualan barang dan jasa berkurang. Hal ini dapat menyebabkan pengurangan investasi, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan pada akhirnya meningkatkan pengangguran.

Ketiga, meningkatnya angka pengangguran. Deflasi yang berkepanjangan dapat memaksa perusahaan untuk memangkas biaya produksi, termasuk dengan cara mengurangi jumlah tenaga kerja. Tingkat pengangguran yang tinggi ini pada akhirnya akan memperparah penurunan daya beli masyarakat, sehingga menciptakan lingkaran deflasi yang sulit dipulihkan.

Keempat, menurunnya investasi. Di dalam kondisi deflasi, investor cenderung menahan diri untuk berinvestasi karena keuntungan yang diharapkan menjadi lebih rendah. Penurunan investasi ini memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghambat inovasi serta ekspansi bisnis.

Kelima, stagnasi ekonomi. Deflasi yang tidak terkendali bisa menyebabkan ekonomi mengalami stagnasi atau bahkan depresi. Stagnasi ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat lambat, peningkatan pengangguran, dan penurunan konsumsi secara terus-menerus.

Pembubaran Diskusi FTA, Order dari Siapa?
Jika tidak diselesaikan dengan baik, maka polisi sekali lagi memberi ruang munculnya tindakan balasan dari kelompok masyarakat yang tidak rela para tokohnya dihina dan dipermalukan.

Warisan Peralihan Kekuasaan

Situasi ekonomi yang mendung, deflasi, dan hutang yang menggunung, tampaknya tak mungkin lagi diselesaikan oleh Presiden Joko Widodo. Kekuasaannya tinggal menghitung hari. Di dalam beberapa minggu ke depan, proses alih kekuasaan itu akan terjadi.

Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober mendatang. Tak lama lagi.

Publik pernah mendengar janji Presiden Joko Widodo untuk “meroketkan” perekonomian nasional. Faktanya, ekonomi kita belum membaik. Target pertumbuhan ekonomi 5,6 persen juga tidak tercapai.

Meski sering gembar-gembor peningkatan lapangan kerja dan mengurangi angka pengangguran, senyatanya pemerintahan Presiden Joko Widodo malah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di ASEAN. Hal itu diungkapkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan bertajuk World Economic Outlook, pada April 2024 lalu.

Ini semua menjadi warisan penting Presiden Joko Widodo kepada pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Modal awal yang tidak cukup menggembirakan bagi presiden terpilih. Bahkan mungkin menjadi beban di awal pemerintahan Prabowo-Gibran.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.