Di bulan Ramadhan, seluruh umat Islam berpuasa. Tetapi, terdapat perbedaan mencolok antara puasa versi kita (zaman now) dengan puasanya para leluhur kita (umat terdahulu yang saleh)!
Para leluhur kita menikmati dan selalu bersemangat menjalankan ibadah puasa guna men-charge hati dan jiwa. Setiap hari, siangnya mereka warnai dengan ragam aktivitas, pengkajian, dan aneka produktivitas, sedangkan malamnya dihiasi dengan silaturahmi, berdo’a, dan membaca Al Qur'an.
Selama satu bulan penuh, para leluhur kita (umat Islam zaman dulu) biasa mengisi bulan Ramadhan dengan belajar-mengajar, ibadah, dan berbuat baik. Mereka puasakan lisan, sehingga tidak membicarakan hal yang amoral atau bodoh. Telinga mereka juga berpuasa, sehingga tidak mendengarkan kepalsuan atau omong kosong. Mata ikut berpuasa, sehingga mereka tidak melihat apa yang terlarang atau tidak senonoh. Hati pun berpuasa, sehingga muncul tekad untuk tidak melakukan dosa atau kejahatan. Tak terkecuali, kedua tangan pun turut dipuasakan, sehingga tidak menggunakannya untuk melakukan kejahatan atau membahayakan orang lain.

Sebagaimana para pendahulu, banyak juga umat Islam zaman now yang menjadikan bulan Ramadhan sebagai ajang untuk taat kepada Allah Swt dan memerbanyak amal saleh. Mereka berpuasa di siang hari, shalat malam dengan baik, bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah, tidak melupakan saudara-saudaranya yang lemah dan tertindas, serta meneladani Rasulullah saw yang sangat dermawan di bulan Ramadhan karena kebaikan beliau lebih banyak daripada angin yang berhembus.
Namun, banyak pula orang yang durhaka. Yaitu mereka yang tidak memeroleh manfaat dari bulan Ramadhan serta tidak pula memanfaatkan puasa dan shalat yang ada di dalamnya. Padahal, Allah Swt menjadikan ibadah tersebut untuk meng-upgrade kualitas hati dan jiwa, tetapi mereka hanya memerhatikan perut dan lambung saja.
Allah menjadikan puasa dan qiyamu Ramadhan untuk melatih kesabaran dan ketabahan, tetapi mereka tidak berhenti marah dan serakah. Allah menjadikan Ramadhan untuk kedamaian dan kemuliaan, tetapi mereka menjadikannya bulan kutukan dan pertengkaran. Allah menjadikan bulan ini sebagai momentum untuk mengubah tabiat agar menjadi semakin baik, tetapi yang berubah dari mereka hanya waktu makannya saja. Allah menjadikan Ramadhan sebagai momen latihan empati bagi orang-orang kaya dan sebagai hiburan bagi orang-orang melarat atau miskin, tetapi bulan Ramadhan justru dijadikan ajang untuk pamer segala jenis makanan dan minuman, sehingga orang-orang kaya bertambah rakus dan orang-orang miskin bertambah sakit hati.
Seyogianya, umat Islam bisa memanfaatkan puasa untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah, sebagaimana diperintahkan di dalam Al Qur’an. Sehingga, ketika bulan Ramadhan berlalu, kita semua kembali suci dan dosa-dosa kita diampuni.
(Dilansir dari situs resmi Doktor Yusuf Al-Qardhawi)

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!