Seorang laki-laki yang dikagumi karena karir politik yang moncer, integritas, dan kecerdasannya, tiba-tiba runtuh hanya oleh satu cerita yang sebenarnya klasik; hubungan terlarang dengan perempuan lain. Media ramai, warganet gaduh, dan karir yang dibangun bertahun-tahun pun seketika runtuh dalam hitungan hari.
Balada kejatuhan pria dengan karir politik cemerlang di sudut kerling wanita (meminjam Istilah Ismail Marzuki) adalah pengulangan yang nyaris sama di setiap milenium sejarah umat manusia. Hampir selalu begitu polanya.
Kisah-kisah epik dari berbagai imperium besar di dunia selalu saja diwarnai oleh roman-roman tragis semacam itu. Karir, kedigdayaan, dan jabatan pria-pria hebat harus lenyap, saat pesona wanita yang gemulai menyihir kewarasannya.
Di dalam perspektif moral Islam, peristiwa semacam ini bukan hal baru. Telah diwanti-wanti sejak lama. Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku tidak meninggalkan satu fitnah pun yang lebih membahayakan para lelaki selain fitnah wanita.” (HR Muslim)
Hadits itu justru kerap dipahami secara dangkal. Alih-alih memaknai substansinya secara jernih, justru banyak kalangan menilai bahwa Islam menuding perempuan sebagai sumber masalah. Padahal, pesan utamanya justru menohok ke pusat tanggung jawab laki-laki; pengendalian diri sebagai pemimpin, kedewasaan moral, dan keteguhan iman.

Kata fitnah dalam konsep Islam tidak selalu berarti tuduhan palsu. Ia juga bermakna ujian, cobaan, atau sesuatu yang menguji kualitas batin seseorang. Di dalam konteks ini, perempuan bukan “penyebab” kehancuran, melainkan media ujian. Yang dipertaruhkan bukan kecantikan atau rayuan, melainkan sejauh mana seorang laki-laki mampu menjaga pandangan, niat, dan batas.
Keindahan, kelembutan, dan bujuk rayu adalah paket lengkap dari makhluk Allah yang bernama perempuan. Menjadi daya tarik tetapi sekaligus kekuatan yang menakjubkan. Lekat sebagai fitrah kejadiannya untuk melengkapi keping lain dari dimensi jiwa kaum Adam, bahkan memberikan makna eksistensial yang dalam bagi kaum pria.
Kehadirannya menggoda, namun juga memotivasi lahirnya pahlawan-pahlawan besar. Kepergiannya menghadirkan gelisah rindu, tetapi mengalirkan inspirasi. Jerat-jerat rindu itu maujud dalam karya seni, sastra, dan lahirnya para pujangga. Tak ada yang salah pada fitrah kejadian perempuan, ia memang memesona, ia memang menggoda!
Maka syariat hadir. Agar pesonanya tak menyesatkan, diwajibkanlah kaum perempuan berhijab. Agar derai tawa dan manis senyumnya tak memabukkan kaum pria, maka diajarkanlah akhlak mulia. Pun demikian halnya kaum pria. Syariat menuntut kaum Adam untuk menundukkan pandangan, serta hanya memandang dan menyentuh apa-apa yang telah dihalalkan baginya.
Persekutuan Syahwat dan Kuasa
Tetapi potensi masalah memang selalu muncul. Kaum perempuan yang kerap disalahkan, padahal kaum Adam-lah yang selalu menciptakan situasi dengan kekuasaannya. Makin besar kekuasaan kaum pria, umumnya semakin banyak peluang yang bisa ia ciptakan untuk mereguk semua keindahan dan pesona kaum hawa.
Ya, godaan menjadi lebih berbahaya ketika kekuasaan bertemu dengan syahwat. Jabatan melahirkan rasa “aman”, popularitas menumbuhkan perasaan memiliki imunitas hukum. Kombinasi dua perasaan itu efektif menumpulkan kewarasan.

Di titik inilah fitnah perempuan menunjukkan kedigdayaannya. Bukan dengan paksaan, melainkan dengan pembenaran! Mulanya sekadar DM (Direct Message, red) singkat, pertemuan singkat, minta bantu isi acara, lalu dalih-dalih yang terdengar masuk akal, hingga akhirnya moral sang pejabat rungkat!
Islam tidak menutup mata terhadap realitas psikologis ini. Karena itu, ajaran-ajarannya tegas soal ghadhul bashar (menundukkan pandangan), menjaga jarak, dan memelihara kehormatan diri. Semua itu bukan bentuk ketakutan berlebihan, melainkan payung sebelum hujan.
Penting ditegaskan, Islam tidak memusuhi perempuan. Justru Islam memuliakannya. Yang diperingatkan adalah nafsu yang tak dijaga. Ketika seorang laki-laki, apalagi berstatus pejabat, gagal menata nafsunya, ia bukan hanya merusak dirinya sendiri, tetapi juga melukai banyak pihak, keluarga, institusi, bahkan kepercayaan publik.
Di dalam kasus tokoh publik, kerusakan itu berlipat ganda. Skandal personal berubah menjadi krisis moral kolektif. Publik kehilangan teladan, dan sinisme tumbuh subur: “Kelakuan pejabat, di mana-mana pada bae”. Inilah dampak sosial dari satu kegagalan mengendalikan diri.
Ironisnya, peristiwa seperti ini terus berulang seolah tak pernah cukup menjadi pelajaran. Mungkin karena kita terlalu sibuk mengutuk sosoknya, tetapi enggan bercermin pada pesan moralnya. Hadits Nabi Muhammad ﷺ di atas bukan untuk dibaca sebagai stigma terhadap perempuan, melainkan sebagai alarm keras bagi laki-laki; jangan pernah meremehkan ujian ini!

Kesalehan bukan hanya soal retorika, prestasi, atau citra publik. Ia diuji justru ketika pintu tertutup, kamera mati, dan kesempatan berbuat curang terbuka lebar. Di situlah kualitas iman diuji.
Sekali lagi, berita tentang karir yang hancur oleh skandal menjadi pengingat pahit. Fitnah perempuan dalam makna ujian moral memang nyata dan berbahaya bagi laki-laki yang lengah. Namun, bahaya itu bukan alasan untuk menyalahkan perempuan semata, melainkan panggilan untuk memperkuat akhlak, menata nafsu, dan meneguhkan tanggung jawab diri.
Pada akhirnya harus diinsyafi, yang menjatuhkan seorang laki-laki bukan rayuan di luar sana, melainkan syahwat yang ia biarkan tumbuh di dalam dirinya sendiri.
Terakhir, imbauan bagi para penggunjing di lini massa. Cukup. Jangan ikut berdosa dengan ghibah. Saat kau jadi pejabat, belum tentu engkau pun kebal dari fitnah (baca: ujian) perempuan. Mari kita ambil hikmahnya, sembari muhasabah diri, jika pun engkau tidak terjebak dalam fitnah itu, bukanlah karena daya tahanmu, tetapi karena Allah masih melindungimu.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!


