PKS: Koalisi atau Oposisi

Hiruk pikuk pilpres usai sudah pasca keluarnya keputusan MK yang menolak untuk seluruhnya gugatan Paslon 01 dan 03, meski diwarnai dissenting opinion tiga hakim MK, yaitu Saldi Isra, Arif Hidayat, dan Eny Nurbaningsih. Seiring dengan itu, Timnas AMIN resmi dibubarkan. Momen pembubarannya tanpa kehadiran sang dalang, Surya Paloh. Tidak aneh, karena jauh sebelum keputusan MK dibacakan, sinyal penerimaan Bang Brewok sudah tampak saat ia bertemu Jokowi di istana, empat hari usai pencoblosan. Episode berlanjut dengan ucapan selamat SP dan kedatangan Prabowo ke Nasdem Tower yang disambut dengan karpet merah.

PKB pun setali tiga uang. Meski awalnya terkesan malu-malu, partai besutan Cak Imin itu juga segera merapat ke kubu Prabowo-Gibran. Maklum, partai kaum nahdhiyyin itu selama dua dekade tidak punya pengalaman menjadi oposisi. Apalagi, sebelum digaet SP untuk gabung ke koalisi AMIN, Cak Imin sudah "tunangan" dengan Prabowo hampir setahun lamanya. Loncat akrobat ala PKB ini disambut Prabowo dengan tangan terbuka dan wajah sumringah.

Sekarang tinggal PKS, anggota koalisi AMIN, yang masih maju-mundur. Sebenarnya, fenomena pindah perahu dan kutu loncat politisi dan parpol bukan hal yang baru, jika tidak bisa dikatakan sebagai watak asli. Bagi para politisi, pemilu sekadar perhelatan politik semata, untuk memperebutkan kedudukan dan kekuasaan. Ideologi, apalagi spirit keimanan, cukup disimpan di lemari. Tidak ada musuh abadi, tidak ada teman sejati, yang ada adalah kepentingan. Pemilu usai, permainan pun kelar. Tinggal menghitung-hitung untung dan rugi. Berapa banyak modal yang dihabiskan dan berapa besar potensi keuntungan yang bakal diraup. Relawan, pendukung, rakyat, narasi, dan jargon yang digaungkan, sekadar pemanis permainan. (Lihat Sekitar Kita Sabili sebelumnya: “Catatan Pemilu 2024 (bagian2): Hak Angket versus Rekonsiliasi” dan “Catatan Pemilu 2024 (bagian 3): Jangan Jadikan Umat Islam Pendorong Mobil Mogok”).

Maka tinggallah para relawan dan pendukung yang gigit jari sembari memendam kedongkolan tak terkira. Mereka telah mengerahkan seluruh jiwa dan raganya karena menganggap ini adalah perjuangan suci. Bahkan, karena itu mereka bisa berbenturan dan beradu fisik dengan kelompok lain. Persis seperti supporter sepak bola yang mati-matian membela klubnya. Tak jarang, mereka berkelahi dengan supporter lain karena membela klub kesayangannya. Padahal, pada saat yang sama, para pemain yang tadi bertanding keras boleh jadi sedang santai bareng sambil ngopi, makan, atau sekadar ngobrol ringan.

Maka, mari lepaskan segala kedongkolan dan kemarahan yang membebani hati dan pikiran. Ketimbang terus menggerutu, lebih baik segera lakukan instrospeksi dan evaluasi diri, sembari mengambil pelajaran dan ibrah atas semua yang terjadi, untuk membangun masa depan umat yang lebih baik.

Salah satunya, mencari jalan agar suksesi kepemimpinan tidak dimonopoli oleh parpol. Suksesi kepemimpinan sebagai manifestasi kedaulatan rakyat harus dikembalikan kepada rakyat. Parpol hanyalah salah satu pintu. Pintu-pintu lainnya – seperti perwakilan – harus dibuka selebar-lebarnya, sesuai spirit para founding fathers yang termaktub dalam UUD 1945 yang asli.

Baca juga: Catatan Pemilu 2024 (Bagian 3): Jangan Jadikan Umat Islam Pendorong Mobil Mogok

Tentu saja, upaya ini akan melalui jalan teramat terjal, karena oligarki – sebagai pengendali terselubung parpol – tidak akan rela kehilangan cengkeramannya. Ketentuan Parliamentary Threshold 4 % dan Presidential Threshold 20 % yang ditetapkan DPR adalah cara oligarki untuk menyegel kekuasaan. Dengan ketentuan tersebut, maka suksesi kepemimpinan nasional tak lagi berada dalam gengaman rakyat, tetapi cengkeraman oligarki. Dengan penguasaan ekonomi nasional lebih dari 70 % dan tumpukan pundi-pundi uang berlimpah, tentu lebih mudah dan murah bagi oligarki menguasai negara ketimbang harus berhubungan dengan ratusan kelompok sosial.

Namun, upaya mengembalikan konstitusi kepada UUD 1945 yang asli bukan saja amat sulit, tetapi juga memerlukan waktu yang panjang. Belum tentu terwujud dalam 10 tahun ke depan. Sementara pileg dan pilpres 2029, sebagai konsensus politik yang kini berlaku, sudah menunggu di depan mata, sebagai wujud demokrasi sirkular lima tahunan.

Konsekuensi dipilihnya jalan ini adalah kepemimpinan eksekutif dan legislatif ditentukan oleh dua hal mendasar. Pertama, otoritas mencalonkan caleg dan pemimpin eksekutif di seluruh tingkatan dimonopoli oleh parpol. Betapa pun hebatnya seseorang dan sebesar apa pun organisasi masyarakat dengan anggota sebanyak apa pun, tidak bisa mengusung siapa pun sebagai caleg atau pemimpin eksekutif tanpa melalui pintu parpol. Kedua, keterpilihan seseorang mutlak ditentukan oleh seberapa besar suara yang diperoleh. Tidak penting siapa yang memilih, karena setiap orang yang terdaftar sebagai pemiih punya hak yang sama. One man one vote.

Jika demikian, sudah selayaknya umat Islam berpikir ke depan, supaya pada pileg dan pilpres mendatang, caleg dan capres/cawapres yang dimajukan benar-benar muncul dari kalangan umat sendiri. Calon yang lahir, besar, hidup, dan berjuang bersama umat. Bukan calon yang disodorkan oleh pihak-pihak di luar sana. Sebagaimana Allah Ta'ala mengirim para rasul-Nya, untuk memimpin manusia ke jalan yang lurus.

“Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kalanganmu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang yang beriman” – QS. At Taubah:128

Seperti kita ketahui bersama, sepanjang perhelatan pemilu di era reformasi, khususnya dalam tiga pemilu terakhir, capres/cawapres yang muncul bukanlah calon pemimpin yang disiapkan, tetapi calon yang “disodorkan”. Celakanya, King Maker para capres/cawapres itu tidak punya track record membela Islam atau membumikan nilai-nilai Islam. Paslon 01 didalangi Bang Brewok, sementara paslon 02 dan 03 diotaki Pak Lurah dan Bu Mega. Ketiganya tidak punya catatan membela Islam dan umat Islam. Bahkan, bagi sebagian kalangan, dinilai anti Islam.

Baca juga: Catatan Pemilu 2024 (Bagian 2): Hak Angket VS Rekonsiliasi

Berangkat dari sini, menarik untuk menguliti posisi PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Apakah beroposisi atau masuk dalam koalisi besar Prabowo-Gibran? Raihan 25 % suara Paslon 01 yang didukung PKS, sejatinya adalah potensi besar untuk dikapitalisasi. Dari 25 % itu, sepertiga adalah suara pendukung PKS, sepertiga berasal dari pendukung PKB dan Nasdem, dan sepertiga sisanya datang dari yang lain.

Jika PKS konsisten berada di jalur perubahan dan menjadi oposisi cerdas, bukan mustahil sepertiga suara yang terakhir itu bisa direnggut. Ditambah suara pemilih baru di tahun 2029 dan para pendukung rezim yang kecewa, potensi PKS meraih dua digit suara pemilih akan terbuka lebar. Bahkan, bukan mustahil meraih kenaikan suara 100 % atau bahkan lebih. Jika itu terjadi, PKS bisa jadi juara. Setidaknya meraih medali perak atau perunggu. Pada gilirannya, PKS punya bargaining power yang kuat untuk mencalonkan presiden/wapres.

Di titik ini, parpol berbasis Islam atau umat Islam semisal PKB,PAN, PPP, Partai Umat, dan lainnya, punya alasan untuk ikut bergabung. Betapa pun, partai-partai itu sejatinya masih memendam cita-cita yang sama jika berkaitan dengan maslahat umat dan bangsa. Namun, realitas politik yang serba pragmatis dan jebakan korupsi yang membelit, membuat mereka harus menyelamatkan diri masing-masing. Pada saatnya, secercah cahaya dan spirit yang masih terpendam akan muncul juga. Selain itu, dukungan juga bisa datang dari parpol non parlemen. Tinggal bagaimana kemampuan PKS berkomunikasi, beradaptasi, bernegosiasi, dan membangun sinergi.

Pada saat yang sama, PKS harus mau membuka diri terhadap seluruh komponen umat. Tidak ada salahnya belajar dari Masyumi di masa lalu. Meski hanya menjadi runner up dengan perolehan 20,92 % suara dalam Pemilu 1955, Masyumi adalah satu-satunya parpol yang menusantara dan menasional, karena menang di 10 dari 15 daerah pemilihan. Sisanya dimenangi PNI (3 dapil) dan NU (2 dapil).

Mengapa Masyumi bisa menguasai dua per tiga dapil? Sebab, calon legislatif dari Masyumi adalah tokoh lokal setempat atau tokoh Ormas Islam. Boleh dikata, selain NU, Perti dan PSII, hampir semua komponen umat lain berada di belakang Masyumi.

Bandingkan dengan suara PKS yang selama lima kali pemilu (2004-2024) hanya berputar di angka tujuh koma dan delapan koma. Situasi ini menandakan PKS adalah partai yang jalan di tempat. Bandingkan dengan Gerindra (baru ikut pemilu di tahun 2009) dan Nasdem (mulai tahun 2014) yang sudah mencapai dua digit, dengan perolehan kursi di DPR lebih dari 10 %. Padahal, effort yang dikeluarkan PKS untuk sekadar menjadi partai medioker semakin lama semakin besar. Di sisi lain, kaderisasi politik PKS terlihat stagnan, dimana jagoan tua terus saja duduk di kursi DPR/ DPRD, sehingga tidak lagi punya magnitude kepada kaum muda. Jangan abaikan pula basis PKS di kampus-kampus yang semakin melemah, digusur oleh kelompok lain.

Baca juga: Catatan Pemilu 2024: Pejah Gesang Nderek Kiai (Bagian 1)

Situasi ini, jika tidak segera diatasi, akan berbahaya bagi eksistensi PKS dan bisa membuat mereka tersingkir dari percaturan politik. Apa yang terjadi saat ini pada PPP cukuplah menjadi pelajaran. Partai Islam tertua itu harus berjibaku di sidang MK untuk mempertahankan kursinya di DPR yang tinggal belasan kursi lantaran belum mencapai 4 % suara. Padahal, di masa Orba, PPP adalah penantang terkuat Golkar dengan pernah meraih 29 % kursi di DPR RI. Bahkan, PPP pernah memang di Ibukota Jakarta saat pemilu 1982.

Situasi yang sama sebenarnya juga terjadi pada PAN. Suaranya yang menurun di basis Islam tertolong oleh kehadiran para artis dan figur publik. Begitu pun, PAN hanya meraih 7,4 % suara dan berada di posisi dua terbawah dari delapan partai yang lolos PT 4 %.

Tanpa PKS dan (kemungkinan) PDIP, suara partai koalisi Prabowo-Gibran sudah lebih dari 71 %. Lebih dari cukup untuk membangun pemerintahan yang kuat. Apalagi, di dalamnya ada kekuatan Islam semisal PAN, Gelora, PBB, dan besar kemungkinan PKB dan PPP. Biarlah agenda-agenda keumatan di pemerintahan ditangani oleh mereka, sementara PKS dan kekuatan umat yang lain berada di luar pemerintah, untuk mengontrol dan mengawasi dari luar. Sembari pada saat yang sama membangun kembali basis-basis kekuatan umat. Yang diperlukan adalah kemauan semua kekuatan umat, baik di dalam maupun di luar pemerintahan, untuk saling berkomunikasi, beradaptasi, bernegosiasi, dan bersinergi.

Mungkin begitulah cara terbaik kita mengejawantahkan pesan Allah, “Bertolong-tolonganlah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah bekerja sama dalam dosa dan permusuhan” – QS. Al Maidah:2

Wallahu a'lam bish shawab.