Catatan Pemilu 2024 (Bagian 2): Hak Angket VS Rekonsiliasi

Catatan Pemilu 2024 (Bagian 2): Hak Angket VS Rekonsiliasi
Ilustrasi dua kubu saling bertarung di Mahkamah Konstitusi (MK) / Sabili.id

Hawa panas pemilu 2024 masih terasa. Kubu Paslon 01 dan 03 meradang atas hasil quick count berbagai lembaga survey maupun real count KPU yang ditayangkan Sirekap. Intinya, mereka menuding terjadi  kecurangan dan manipulasi suara secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), baik sebelum, saat pencoblosan, maupun setelahnya, dengan target meloloskan paslon 02 menang satu putaran.

Berdasarkan data internal yang dimiliki, Timnas AMIN meyakini peluang pemilu berlangsung dua putaran masih terbuka lebar. Sembari menunggu hasil resmi KPU yang akan diumumkan tanggal 20 Maret nanti, mereka mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran dan kecurangan. Baik untuk dilaporkan ke Bawaslu maupun guna mengajukan gugatan ke MK.

Namun, yang kini sedang hot adalah isu menggulirkan hak angket di DPR yang awalnya dilontarkan Capres 03 Ganjar Pranowo. Lontaran itu segera ditangkap partai koalisi 01. Pertemuan petinggi Nasdem, PKS, dan PKB, sepakat mendukung gagasan tersebut dan menunggu langkah konkret PDIP. Namun, sampai tulisan ini dibuat, Rabu, 28 Februari 2024 malam, belum ada perintah resmi dari bos PDIP Megawati untuk menggulirkan usulan tersebut. Boleh jadi lantaran saat ini DPR sedang reses, atau mungkin pentolan partai moncong putih sedang menimbang untung ruginya.

Suara penolakan tentu saja digaungkan kubu paslon 02. Menurut Fahri Bachmid, usulan hak angket itu tidak perlu dan akan memperkeruh suasana, lantaran bisa berlarut-larut.  Sementara hasil pemilu sudah akan diketahui tiga pekan lagi. Namun, pandangan itu ditepis Mahfud MD, cawapres 03 yang juga guru besar ilmu hukum. Menurut mantan Ketua MK itu, Hak Angket bisa dan pantas untuk dilakukan. Namun, tidak untuk membatalkan hasil pemilu, karena gugatan soal hasil pemilu menjadi ranahnya MK. Hak angket bertujuan untuk menyelidiki adakah pelanggaran yang dilakukan pejabat negara terhadap UU, anggaran, maupun kebijakan yang ditempuh.

Justru inilah yang menarik. Jika jadi bergulir, hak angket memang tidak bisa membatalkan hasil pemilu, tetapi justru bisa mengakibatkan hal yang lebih dahsyat. Yakni pemakzulan Presiden Jokowi. Maka, mari kita tunggu saat masa persidangan DPR dimulai 5 Maret nanti, apakah Hak Angket itu jadi menggelinding ataukah – seperti kata Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie – sekadar gertak sambal belaka.

Secara teoritis, langkah awal menggulirkan Hak Angket tidaklah sulit. Usulan cukup ditanda tangani sekurangnya 25 Anggota DPR yang berasal lebih dari satu partai. Usulan itu lalu dibawa ke Rapat Paripurna (RP) DPR yang dihadiri sekurangnya 50 % + 1 anggota, dan akan berlanjut jika usulan itu disetujui lebih dari  setengah anggota yang hadir di RP. Jika parpol pengusung paslon 02 dan 03 yang punya kursi di DPR kompak, usulan itu kelihatannya pasti bergulir. PKS, PKB, Nasdem (01) plus PDIP dan PPP (03) menguasai 314 kursi (54,6 %) dari total keseluruhan 575 kursi anggota DPR.

Baca juga: Catatan Pemilu 2024: Pejah Gesang Nderek Kiai (Bagian 1)

Namun, pakar hukum Denny Indrayana skeptis Hak Angket akan bergulir. Bukan saja lantaran prosedurnya yang panjang dan berjenjang, tetapi juga melihat karakter parpol yang cepat masuk angin. Belum lagi banyak politikus yang bergaya kutu loncat. Denny boleh jadi benar. Belum lagi bergulir, elite PPP sudah mengeluarkan statement yang berbeda. Ketua Bappilu PPP, Sandiaga Uno, menyebut sangat terhormat jika diajak ikut bergabung di pemerintahan yang akan datang. Namun, segera dibantah Romahurmuzy, mantan Ketum yang kini menjabat Ketua Majelis Pertimbangan PPP. Ia menegaskan partainya solid bersama koalisi.

Di sisi lain, koalisi perubahan juga diterpa gelombang besar. Pertemuan Surya Paloh (SP) dengan Jokowi di istana hanya 4 hari setelah pencoblosan mengundang spekulasi. Meski ia berusaha meyakinkan publik bahwa Koalisi Perubahan tetap solid, tetapi siapa percaya pada omongan politikus? Apalagi Sekjen Nasdem, Hermawi Taslim, mengatakan, obrolan SP dan Jokowi berkisar semangat untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sedangkan Jokowi sendiri menyatakannya sebagai upaya menjembatani. Bahasa bersayap yang ujungnya adalah bareng satu perahu. Hal ini wajar, mengingat Nasdem tidak punya pengalaman menjadi oposisi.

Di luar itu, santer terdengar PKB juga akan segera berpindah rombongan, setelah kemudi perahu berpindah ke nakhoda lain. Tanda-tandanya sudah nampak jelas dari saling sindir antara Cak Imin dengan Sekjen PBNU Saifullah Yusuf (Cak Ipul). Awalnya Cak Ipul mengajak PKB kembali ke jalan yang benar. Hal ini tentu berkaitan dengan kecilnya suara AMIN di Jatim yang hanya 15,45 %, sementara perolehan PKB sendiri menyentuh 20 %. Suara AMIN itu bahkan lebih kecil dari Ganjar-Mahfudz yang merebut dukungan 17 % lebih. Sisanya diborong paslon Prabowo-Gibran. Bahkan, kemenangan paslon 02 di Jatim adalah yang tertinggi di Pulau Jawa. Padahal, sebelumnya Cak Imin sesumbar AMIN bakal meraih suara lebih dari 50 % di Jatim.

Tohokan Cak Ipul dibalas Cak Imin dengan mengajak warga PKB dan NU jangan percaya sama makelar.  Imin percaya diri akan terus menakhodai PKB. Suara AMIN memang jeblok, tetapi suara PKB secara nasional naik lumayan besar. Bahkan, wakilnya di DPR diprediksi bakal bertambah 10-20 kursi. Sementara di Jatim sendiri, PKB menjadi jawara. Ini tentu akan diklaim Cak Imin sebagai prestasi kepemimpinannya. Apalagi, selama dinakhodainya sejak lebih dari dua windu lalu, PKB selalu berada di urutan 5 besar Pemilu legislatif. Siapa yang kelak akan memenangkan perebutan kemudi PKB akan segera terlihat seiring dinamika politik yang ada. Satu hal yang pasti, dinamika politik yang terjadi beberapa waktu ke depan akan menentukan bergulir atau tidaknya Hak Angket di DPR.

Dinamika dan hawa panas itu tidak cuma bergulir di elite Timses Paslon dan DPR, tetapi juga di tengah masyarakat. Bahkan, di lapisan ini hawanya jauh lebih membara.  Sejumlah paguyuban, tokoh, dan ormas, menyatakan penolakannya atas hasil pemilu yang ditengarai penuh kecurangan. Salah satunya, seratus tokoh yang dipimpin Mantan Ketua PP Muhamadiyah, Din Syamsuddin. Mereka dengan tegas menolak pemilu yang diwarnai kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Sementara di lapangan, berbagai kelompok masyarakat mendemo KPU dan Bawaslu yang dituding melakukan pembiaran dan tutup mata atas berbagai kecurangan dan pelanggaran pemilu. Bahkan, mereka juga menuntut pemakzulan Jokowi yang dianggap dalang atas segala kekisruhan dan kegaduhan.  Aksi itu lantas dibalas aksi lain yang kontra, sehingga nyaris menimbulkan konflik horizontal. Situasi ini teramat berbahaya jika dibiarkan berlarut-larut. Apalagi bulan Ramadhan tinggal menghitung hari. Seyogianya seluruh pihak bahu-membahu menciptakan iklim yang kondusif, sehingga umat Islam dapat melaksanakan Ramadhan dengan khusyu.

Baca juga: Kecele Bareng-Bareng

KPU dan Bawaslu harus menjadi garda terdepan dalam menciptakan situasi yang kondusif itu dengan bekerja secara jujur dan adil. Sesuai tugasnya KPU harus jadi penyelenggara pemilu yang LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia) serta JURDIL (jujur dan adil). Tidak boleh ada pelanggaran, penyimpangan, apalagi kebohongan. Pengumuman hasil pemilu yang sudah masuk bulan Ramadhan, semoga mendorong komisioner KPU dari pusat sampai daerah untuk bertindak jujur dan adil. Begitu juga halnya dengan Bawaslu. Lembaga yang diamanahi undang-undang untuk mengawasi pelaksanaan pemilu sekaligus mengadili pelanggaran adminstrasi yang terjadi harus berkualitas setengah malaikat. Setiap pelanggaran – apalagi kecurangan – harus disikapi dengan semestinya.

Jika tidak, kepercayaan masyarakat terhadap KPU dan Bawaslu yang sudah merosot akan semakin tergerus. Pada gilirannya, ini akan memunculkan distrust (ketidak percayaan) yang menyeluruh, sehingga mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal yang sama juga berlaku pada MK, jika terjadi sengketa dan gugatan atas hasil pemilu yang diumumkan KPU. Para hakim MK menanggung beban berat untuk mengembalikan marwah MK yang tercoreng akibat keputusan sebelumnya.

Harapan Ketua MK, Suhartoyo, agar koleganya benar-benar berpandu pada hati nurani jika suatu saat harus mengadili sengketa hasil pemilu, semoga menjadi energi dan spirit. Hakim memang semestinya orang yang sudah selesai dengan segala bentuk ketakutan, godaan, rayuan, bahkan ancaman nyawa sekalipun. Ia semata-mata berpegang pada kebenaran dan keadilan. Apalagi keputusan MK bersifat final dan mengikat.

Kisruh pemilu memang seyogianya diselesaikan di Bawaslu, MK, dan Hak Angket DPR. Hal ini, seperti dikatakan pengamat politik Eep Saefullah Fatah, sebagai bentuk perlawanan elegan dan berkelas atas tindakan sewenang-wenang penguasa yang melanggar, bahkan mengangkangi aturan dan hukum. Termasuk jika Hak Angket DPR berujung pada pemakzulan Jokowi kalau ia dianggap bersalah. Sehingga, di masa mendatang tak ada lagi penguasa yang berani berbuat sak karepe dhewe, menabrak dan mengacak-acak konstitusi dan hukum.

Jangan sekali-kali melibatkan massa rakyat untuk mengatasi kisruh pemilu ini. Karena itu, ajakan sejumlah tokoh yang mendorong terjadinya aksi people power lantaran kisruh pemilu ini harus dicegah. Sejarah mencatat banyak gerakan massa yang melibatkan rakyat kebanyakan pada ujungnya hanya untuk kepentingan segelintir pihak.

Coba tengok Arab Spring yang meluluh-lantakkan negara-negara Arab dan Timur Tengah. Utamanya yang berbentuk Republik. Gelombang peristiwa yang berawal dari aksi bakar diri seorang pedagang kaki lima Tarek El-Tayeb Mohamed Bouazizi di Tunisia, kemudian berimbas ke mana-mana. Moammar Ghadafi di Libya pun tumbang, bahkan menjadi bulan-bulanan rakyatnya sendiri. Ujung-ujungnya, Libya yang semula negara kaya dan berwibawa, kini miskin dan terpecah-pecah.  Hal yang sama terjadi di Irak, Sudan, dan lain-lain.  Negara-negara Arab yang relatif tak tergoncang oleh gelombang Arab Spring justru yang berbentuk kerajaan/kesultanan, semisal Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Kuwait, Qatar, dan Oman.

Baca juga: Akal Sehat VS Syahwat

Di dalam skala nasional, people power yang melengserkan Soeharto tahun 1998 ternyata tidak membawa perubahan pada nasib rakyat. Bahkan bisa dibilang semakin sulit. Soeharto memang otoriter, represif, dan anti kritik. Setidaknya pasca pemilu pertama Orde Baru tahun 1971. Terlebih lagi terhadap umat Islam. Pelarangan jilbab, pemaksaan asas tunggal Pancasila, tragedi Tanjung Priok, Haur Koneng di Tasikmalaya, Way Kambas di Lampung, adalah beberapa contoh yang masih segar dalam ingatan kita. Mulai tahun 80-an saat putra-putrinya mulai dewasa dan berbisnis, praktik nepotisme dan KKN pun luar biasa menggurita.

Namun, setidaknya di masa Orde Baru rakyat tidak pernah mengalami harga sembako yang melangit seperti sekarang. Harga beras dan berbagai bahan pokok lain relatif murah dan terjangkau. Petani tidak pernah mengalami kesulitan bibit padi maupun pupuk. Belum lagi prestasinya mencapai swasembada beras, membangun SD Inpres, Puskesmas, jalan, jembatan, dan lain-lain.

Begitu juga biaya pendidikan relatif murah. Mahasiswa universitas negeri ternama tidak dibebani biaya kuliah yang tinggi, sehingga tidak terjerat pinjol. Di tahun 80-an itu, biaya kuliah jurusan sosial di Universitas Indonesia (UI) hanya 45.000 rupiah per semester dan 60.000 rupiah untuk jurusan eksakta. Padahal, honor menulis artikel di surat kabar nasional ketika itu berkisar 30.000 sampai 75.000 rupiah per artikel. Artinya, honor satu-dua artikel cukup untuk biaya kuliah satu semester.

Namun, sejarah mencatat Soeharto akhirnya lengser keprabon. Sekadar flashback, pelengseran Soeharto dilatar belakangi oleh dua hal penting. Pertama, mulai mendekatnya Soeharto kepada Islam dan umat Islam. Keluarga Soeharto mulai mengaji dengan Ustadz Kosim Nurseha (Bintal AD) kemudian pergi Haji ke tanah suci. Disusul diizinkannya pendirian ICMI serta Bank Muamalat Indonesia di tahun 1990. Berlanjut dengan melakukan pergeseran pucuk pimpinan TNI (ABRI) dari para jenderal pengidap Islamophobia seperti L.B Moerdani dan konco-konconya kepada mereka yang lebih bersahabat dengan Islam atau berlatar belakang santri seperti Try Sutrisno (Pangab 1988-1993), Feisal Tanjung (Pangab 1993-1998), R. Hartono (Kasad), Kivlan Zein, dan lain-lain. Begitu juga Wapres yang dipilih Soeharto mendampinginya, Try Sutrisno (1993) dan B.J. Habibie (1998). Kalangan sekuler dan Islamophobia menyebutnya hijau royo-royo. Sebutan yang naif dan tendensius.

Kedua, berbarengan dengan isu hijau royo-royo itu, Soeharto mulai menekan para konglomerat yang dibesarkannya untuk menyisihkan 1 % keuntungan mereka guna membantu UMKM. Para konglomerat yang umumnya non-pri itu tentu saja tidak suka. Mereka yang rata-rata pemilik Bank raksasa nasional itu lantas menggarong banknya sendiri dengan menyalurkan kredit besar-besaran ke grup usahanya sendiri dengan melanggar BMPK (Batas Maksimal Penyaluran Kredit). Tentu saja kredit itu macet karena memang disalurkan asal-asalan. Bank kekurangan likuiditas dan terancam rush. Untuk mencegahnya, pemerintah pun ter/dipaksa menggulirkan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang jumlahnya ratusan trilyun rupiah. Dan kita semua tahu krisis moneter itulah yang kemudian memicu krisis ekonomi dan berujung pada pelengseran Soeharto.

Lengsernya Soeharto dan rezim orbanya disambut rakyat gegap gempita. Mereka berharap kehidupan di era reformasi jauh lebih baik dan lebih sejahtera. Ternyata harapan itu hanya menggantang awan. Penguasa memang berganti, tetapi karakter culas, tamak, dan sederet perilaku buruk lain tetap nempel. Dua puluh lima tahun era reformasi, ekonomi malah semakin sulit. Harga bahan pokok melangit, biaya pendidikan meroket, biaya hidup melejit. Sementara pendapatan tak banyak berubah. People power 1998 ternyata hanya menjadi pendorong mobil mogok. Tumbangnya Soeharto dan Orba ke era reformasi sekadar perpindahan kekuasaan dari batil senior kepada batil yunior. Kini batil yunior itu telah bermetamorfosis jadi batil senior juga.

Baca juga: Maju Kena Mundur Kena

Pertanyaannya, apakah kini umat dan rakyat akan dimobilisasi lagi hanya sekadar untuk mendorong mobil mogok? Tentu jawabannya tidak. Cukup sudah pengalaman yang lalu jadi pembelajaran. Keledai saja tak masuk lubang yang sama dua kali. Apalagi kita semua tahu, hiruk pikuk politik ini mulai memanas sejak keputusan MK yang memuluskan jalan Gibran sebagai cawapres Prabowo. Sesuatu yang dianggap mengoyak-oyak hukum dan konstitusi. Episode selanjutnya, Jokowi yang juga hadir saat Megawati mengumumkan nama Ganjar sebagai Capres PDIP – dan sebelumnya mengatakan yang pantas jadi presiden adalah yang rambutnya putih – berputar haluan. Sebagai bapak, Jokowi mau tidak mau harus mendukung sang anak.

PDIP pun meradang dan kekisruhan makin berkecamuk. Agar kita berpikir lebih, ada dua pertanyaan yang harus dijawab. Pertama, apakah kesalahan Jokowi hanya bermula sejak keputusan MK dan pencawapresan Gibran? Jawabannya tidak. Sejak berkuasa, Jokowi telah berkali-kali mengangkangi hukum dan konstitusi dan melanggar sumpah jabatan. Pertama, Pengesahan UU Minerba. Kedua, pembuatan dan pengesahan Omnibus Law.  Keduanya dilakukan diam-diam bagai siluman. Ketiga, revisi UU KPK. Keempat, Pembatalan Pilkada yang akan berlangsung sepanjang tahun 2022-2023 dengan berbagai alasan. Penggantinya ditunjuk Plt. Sementara Pilkada yang diikuti Gibran di Solo dan Bobby di Medan akhir tahun 2020 - awal 2021 tetap berlangsung. Padahal, saat itu Covid sedang tinggi-tingginya yang semestinya tidak boleh ada kegiatan kampanye dan sejenisnya. Kelima, perubahan statuta perguruan tinggi negeri yang semula Rektor dilarang jadi pimpinan BUMN (Direksi dan Komisaris) diubah menjadi tidak boleh jadi Direksi.

Belum lagi cawe-cawenya secara terang-terangan atas salah dua kandidat presiden, yaitu Ganjar dan Prabowo. Mengapa PDIP, akademisi, dan guru besar diam saja? Bukankah langkah Jokowi itu tidak benar dan melanggar etika?

Pertanyaan kedua: Apakah jika Gibran tidak jadi Cawapres dan Jokowi tetap mendukung Ganjar, PDIP dan para pentolan sekuler akan marah? Jawabannya juga tidak. Kemarahan PDIP lantaran pindahnya dukungan Jokowi kepada Prabowo-Gibran yang membuat suara mereka anjlok. Pemenang Pilpres dua kali berturut-turut melorot jadi paling buncit. Maka, harapan mencetak hatrick dalam pilpres yang semula membuncah, rontok berkeping-keping.

Jokowi memang harus dilawan karena ia telah melanggar banyak aturan hukum dan prinsip Good Governance. Tetapi melawannya cukup di Bawaslu, MK, dan melalui Hak Angket di DPR. Jangan bawa-bawa rakyat untuk turun ke jalan! Mereka sudah hidup susah, karena itu jangan tambah lagi beban mereka. Pilpres dan Pileg sebagai Political Game adalah urusan para politisi, paslon dan Timses.  Jika ada persoalan, salurannya adalah Bawaslu, MK, dan Hak Angket DPR.


Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.