Catatan Pemilu 2024 (Bagian 3): Jangan Jadikan Umat Islam Pendorong Mobil Mogok

Catatan Pemilu 2024 (Bagian 3): Jangan Jadikan Umat Islam Pendorong Mobil Mogok
Ilustrasi jangan jadikan umat Islam pendorong mobil mogok / Sabili.id

Hujan deras selama sebulan terakhir belum mampu mendinginkan hawa panas pemilu. Begitu pun datangnya bulan suci Ramadan. Bahkan, panas bara api itu terasa semakin menyengat. Aksi demonstrasi menolak pemilu yang dinilai penuh kecurangan berlangsung hampir setiap hari di berbagai kota di Indonesia. Teranyar, dua aksi demo di depan Gedung KPU, Jakarta, Senin, 18 Maret 2024, di bawah komando Mantan Danjen Kopassus, Mayjen (Purn) Soenarko, dan di depan Gedung DPR, Selasa, 19 Maret 2024, yang dipimpin Mantan Ketua Umum PP Muhamadiyah, Din Syamsuddin. Selain keduanya, dua aksi demo itu juga diikuti sejumlah tokoh semisal Abdullah Hehamahua, Jenderal (purn) Tyasno Sudarto, Jenderal (purn) Fachrul Razi, Rizal Fadhillah, Said Didu, dan lain-lain.

Di dalam kedua aksi demo itu, tuntutan demonstran tak lagi sekadar tolak pemilu curang dan gulirkan Hak Angket, tetapi lebih spesifik: Makzulkan Jokowi. Pergeseran tuntutan itu ditandai dengan aksi pembakaran baliho/spanduk  bergambar Jokowi dan keluarga serta kroninya. Beberapa spanduk besar bernada hujatan kepada Jokowi juga terpampang jelas. “Jokowi Penjahat Demokrasi”. “Makzulkan dan Adili Jokowi”. “Jokowi Sumber dari segala sumber masalah”. Dan lain-lain.

Rencananya aksi demo yang diprakarsai Gerakan Penegak Kedaulatan Rakyat itu akan terus berlangsung hingga Mei mendatang. Bahkan, saat tulisan ini dibuat, Rabu 20 Maret 2024, para demonstran sudah bersiap sejak pagi di depan gedung KPU. Akankah aksi-aksi demo itu menggelinding jadi People Power yang melengserkan Jokowi? Atau seperti kata Menko Polhukam, Hadi Tjahjanto, cuma sekadar riak kecil belaka? Mari kita tunggu.

Satu hal yang pasti, aksi-aksi demo itu dipicu oleh Pemilu yang dinilai penuh kecurangan secara terstuktur, sistematis, dan masif (TSM). Sehingga, mereka menuntut KPU besikap jujur dan adil, serta meminta DPR menggulirkan Hak Angket. Namun, sudah dua pekan sejak persidangan DPR dimulai tanggal 5 Maret 2024, Hak Angket masih kayak undur-undur. Apalagi saat persidangan DPR dimulai Selasa, 5 Maret lalu,  Ketua DPR Puan Maharani yang juga pentolan PDIP justru absen. Saking gemasnya melihat gelagat undur-undur itu, tak kurang dari 50 tokoh nasional mengirimkan surat kepada ketua umum partai pendukung paslon 01 dan 03 untuk mendesak segera digulirkannya Hak Angket.

Sebagai political game, sengketa pemilu semestinya diurus dan diselesaikan oleh para politisi dan timses masing-masing. Ada Bawaslu dan MK di jalur legal formal dan Hak Angket di jalur politik. Mengapa hal itu adalah urusan mereka? Sebab, merekalah kelompok yang paling menikmati hasil pemilu. Sukses melaju ke DPR/DPRD berarti pundi-pundi harta bakal berlimpah dan pengaruh akan makin menguat. Belum lagi jabatan-jabatan basah di BUMN/BUMD dan kementerian/lembaga negara.

Maka tak heran kalau mereka bukan saja berusaha mati-matian mempertahankan posisi, tetapi juga mulai menyiapkan dinasti penerus. Semuanya demi melanggengkan kekuasaan dan memastikan pundi-pundi harta  terus bertambah. Tak heran jika daftar caleg yang maju di Pemilu 2024 dijejali deretan nama anak dan keluarga para anggota legislatif dan pejabat.  Sementara, rakyat yang memilih mereka, nasibnya tak berubah. Mereka yang miskin tetap miskin dan yang pengangguran tetap saja jadi pengangguran.

Baca juga: Catatan Pemilu 2024 (Bagian 2): Hak Angket VS Rekonsiliasi

Akankah Hak Angket bergulir? Rasa-rasanya jauh panggang dari api. Bagaimana mau menggulirkan Hak Angket, sementara para menteri dari PDIP, PKB, dan Nasdem tak kunjung ditarik dari kabinet? Teranyar, dua menteri asal PKB, yaitu Menaker Ida Fauziah dan Meneg PDT Abdul Halim Iskandar yang juga kakak Muhaimin, tertawa renyah usai dipanggil Presiden Jokowi ke Istana. Bahkan, Jokowi menitipkan salam kepada Muhaimin. Di sisi lain, belitan berbagai kasus korupsi yang menerpa pentolan dan kadernya, tentu akan membuat pimpinan parpol berhitung soal untung-rugi menggulirkan Hak Angket. Untung belum tentu, sementara buntung sudah menanti.

Mengapa begitu? Sebab, sejatinya yang dikejar dan diperjuangkan oleh para politisi itu adalah kepentingannya sendiri. Maka, ketika sudah nyata mereka tak akan mendapatkan keuntungan atau kepentingannya terancam, mereka mending tiarap. Narasi “Memperjuangkan hak-hak rakyat” menjadi sekadar jualan belaka agar terlihat gagah dan heroik. Padahal, di belakangnya adalah kepentingan diri dan kelompok.

Ini tampak jelas dari sikap para politisi di DPR. Maklum, 7 dari 9 Fraksi di DPR adalah pendukung setia Rezim Jokowi, termasuk yang saat ini rajin membuka borok dan aib pemerintahan Jokowi. Selama 9 tahun berkuasa, tak terhitung seringnya Jokowi menabrak konstitusi dan Undang-Undang, selain berkali-kali ingkar janji. Beberapa di antaranya yang menyita perhatian publik adalah pembuatan UU Minerba dan UU Omnibus Law yang diketok tengah malam. Ada pun janji yang diingkari di antaranya soal pemberantasan korupsi, pembukaan lapangan kerja, menyetop impor beras, melarang Ketum Parpol jadi Menteri, dan lain-lain.

Jokowi berjanji akan menjadi panglima pemberantasan korupsi. Yang terjadi justru sebaliknya. Rezim Jokowi malah melemahkan upaya pemberantasan korupsi dengan merevisi UU KPK. Berjanji membuka lapangan kerja untuk anak negeri, faktanya TKA (Cina) membanjiri tanah air sementara anak negeri sekadar jadi pengemudi Ojol yang tak jelas masa depannya. Berjanji akan menyetop impor beras, kenyataannya impor malah semakin meningkat. Janji melarang Ketum Parpol jadi Menteri Kabinet, realitasnya para Ketum Parpol itu justru digeret jadi Menteri. Belum lagi soal timbunan utang luar negeri yang makin menggunung.

Pendeknya, bejubel sudah daftar kebohongan dan janji palsu Jokowi. Termasuk saat setahun lalu ia dengan terang-terangan meminta rakyat agar hati-hati memilih presiden. Menurut Jokowi, presiden yang baik dan suka bekerja keras adalah yang rambutnya putih. Itu jelas cawe-cawe dan intervensi politik yang melanggar etika dan prinsip demokrasi.

Khusus terhadap umat Islam, kezaliman yang ia lakukan tak terperi. Dengan politik belah bambu, ia angkat ulama dan tokoh Islam yang bisa dijinakkan, dan pada saat yang sama ulama dan tokoh yang lantang menyuarakan kritik serta tak mempan dirayu semisal HRS , dipersekusi dan dijebloskan ke bui dengan dalih yang dibuat-buat. Cara lain adalah dengan mengerahkan buzzer untuk menyerang dan membunuh karakter mereka yang tidak disukai. Tak sedikit pula yang disandera dengan berbagai kasus untuk memaksa mereka manut kepada Jokowi.

Baca juga: Catatan Pemilu 2024: Pejah Gesang Nderek Kiai (Bagian 1)

Tindakan Jokowi ini tak pelak memicu perpecahan di antara anak bangsa. Kelompok yang diangkat dan ditimang-timang Jokowi dengan seenaknya mempersekusi dan menghakimi ustadz, ulama, atau siapa pun yang tak disukai. Ini perilaku yang memicu terjadinya konflik horizontal dan mengancam kohesi sosial. Jokowi berjanji akan menyatukan rakyat, tetapi dalam praktiknya ia justru memecah belah rakyat.

Anehnya, meski sebegitu nyata dan telanjangnya pelanggaran etika, konstitusi, dan UU, yang dilakukan Jokowi, para politisi adem ayem saja. Malah mereka serempak koor memuji dan membela dia. Namun, saat Gibran tampil sebagai Cawapres Prabowo melalui celah keputusan MK pimpinan paman Usman, sontak semuanya berubah. Mereka yang semula diam dan cuek, mulai nyinyir. Apalagi ketika kemudian hasil quick count maupun tayangan Sirekap KPU – yang digugat banyak pihak – menunjukkan kemenangan telak Paslon 02, kekalahan Paslon 01 dan keterpurukan Paslon 03. Bukan cuma paslonnya yang terpuruk, bahkan suara partai juga merosot. PDIP turun sekitar 3 %, PPP terombang-ambing di ambang batas PT 4 %, sementara Perindo dan Hanura kemungkinan besar tak lolos.

Bagaikan paduan suara, kini semuanya menyanyikan lagu sumbang dan menggugat berbagai tindak kecurangan yang dilakukan Jokowi. Padahal, sedari dulu mereka mengetahui kecurangan dan keculasan itu. Mengapa selama ini dibiarkan bahkan ditutup-tutupi? Apakah lantaran waktu itu Pak Lurah adalah konco sepermainan yang membawa banyak keuntungan? Atau karena mereka juga bagian dari kecurangan itu?

Kini, ketika Pak Lurah berubah menjadi seteru, bahkan paslon yang didukungnya mengoyak-koyak Kandang Banteng, mereka marah. Saking marahnya, segala macam hujatan, makian, dan tudingan pun dilontarkan. Bahkan, Adian Napitulu dan Masinton Pasaribu, dua anggota DPR dari PDIP, ikut berorasi di atas mobil komando dalam aksi demonstrasi di depan Gedung DPR, kemarin. Sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan saat massa berdemonstrasi menentang UU Minerba dan UU Omnibus Law.

Kezaliman memang harus dilawan. Apalagi kezaliman itu dilakukan secara masif dan terus menerus. Di dalam konteks itu, aksi demo untuk menekan KPU agar bertindak jujur dan mendesak DPR untuk berani menggulirkan Hak Angket adalah sah-sah saja dilakukan. Apalagi, sudah jadi tabiat lembaga negara bersikap acuh terhadap aspirasi rakyat jika tidak ada tekanan publik.

Namun, dari gelagat dua aksi demo berturut-turut  di depan KPU dan DPR, sasaran aksi demo tak lagi sekadar Pressure Group, tetapi sudah menjurus pada upaya melengserkan Jokowi. Dengan kata lain, aksi itu akan didesain berkelanjutan dengan melibatkan massa yang semakin banyak dan semakin tinggi intensitasnya.

Jika sudah begini, ada dua hal yang harus ditimbang dengan akal sehat. Pertama, siapa massa yang akan dilibatkan? Kedua, siapa yang akan mengambil manfaat dari situasi yang ada?

Baca juga: Kecele Bareng-Bareng

Sejarah mencatat, aksi demo tidak akan bisa membesar dan massif tanpa keterlibatan umat Islam. Di dalam kaitan ini, dapat diyakini lapisan terbesar yang akan digeret untuk ikut demo adalah pendukung AMIN dari kalangan Islam, yang dikenal militan. Lihat saja saat aksi demo di depan KPU dan DPR kemarin serta waktu kampanye AMIN terakhir di JIS Jakarta Utara, 10 Februari lalu. Perasaan dicurangi disertai militansi tinggi membuat mereka mudah untuk digerakkan.

Di sisi lain, sebagai Presiden tentu saja Jokowi bisa mengerahkan seluruh alat negara (TNI dan Polri) untuk mengatasinya. Hanya perlu sedikit provokasi untuk membenturkan aparat dengan massa demonstran. Ricuh saat demo di depan DPR, Selasa 19 Maret kemarin, bisa dijadikan pelajaran. Jika benturan itu terjadi, korban dari kedua belah pihak pasti tak terhindarkan, dengan korban dari pihak demonstran pasti lebih banyak.

Jika Jokowi ternyata tak bisa dijatuhkan, sementara korban sudah terlanjur berjatuhan, yang rugi adalah kita semua. Sementara Jokowi, dengan alasan situasi yang genting dan memaksa, bisa mengeluarkan Perppu untuk kepentingan dirinya atau apa pun.

Katakanlah aksi itu berhasil melengserkan Jokowi. Apakah lengsernya Jokowi akan otomatis berarti kemenangan umat Islam? Belum tentu! Sebab, seperti dikatakan Habib Rizieq Shihab (HRS), yang sedang terjadi sekarang adalah perang antar buaya. Dulu mereka bekerja sama menzalimi umat Islam, kini sesama mereka berseteru. Motifnya apa lagi kalau bukan berebut kekuasaan dan pengaruh? Di dalam perseteruan dan perebutan kekuasaan itu, peran umat Islam jadi menentukan. Namun, peran itu sebatas “pendorong mobil mogok”.

Pengalaman tahun 1966 dan 1998 hendaklah cukup menjadi pelajaran. Aksi-aksi demo anti PKI dan Nasakom Soekarno diawali dari demonstrasi anak-anak Pelajar Islam Indonesia (PII). Waktu itu, paska bubarnya Masyumi, DN Aidit membisiki Soekarno untuk membubarkan HMI. Sebelum itu terjadi, anak-anak PII dipimpin Abdul Wahid Kadungga berdemonstrasi sembari membawa spanduk bertuliskan “LANGKAHI DULU MAYAT KAMI, BARU BUBARKAN HMI!”. Dari situ, muncullah KAPPI (Husnie Thamrin), KAMI (Fahmi Idris), KAP Gestapu (KH Subhan ZE), KASI, KAGI, dan lain-lain yang dengan dukungan RPKAD melakukan perlawanan terhadap PKI. PKI tumbang dan Soekarno pun jatuh.

Tetapi, harapan umat bahwa “Telah Datang Yang Haq dan Telah Hancur Yang Batil” tak terwujud. Umat lepas dari mulut buaya tetapi masuk ke mulut macan. Orla sebagai “batil senior” tumbang, digantikan Orba yang ternyata “batil yunior”. Sekian waktu kemudian, orba sang batil yunior tumbuh besar menjadi batil Senior.

Tahun 1998, Orba yang sudah menggurita jadi batil Senior dilengserkan oleh aksi People Power. Lagi-lagi peran umat Islam luar biasa. Orba runtuh, muncul orde reformasi. Harapan umat membuncah, orde reformasi akan mengantarkan bangsa pada cita-cita kemerdekaan yaitu menjadi Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Namun, harapan itu ternyata hanya menggantang awan. Umat lagi-lagi sekadar mendorong mobil mogok. Orde reformasi hanya sekadar ganti baju. Orangnya masih stok lama.

Baca juga: Maju Kena Mundur Kena

Padahal, tahun 1998 itu tokoh sentral reformasi adalah Amien Rais, Ketua Umum PP Muhammadiyah dan kader tokoh Masyumi, M.Natsir. Tetapi apa lacur, Amien lebih memilih berkumpul bersama kaum sekuler semisal Gunawan Mohammad, Christianto Wibisono, Albert Hasibuan, dan lain-lain, lalu membentuk MARA, ketimbang berkumpul di rumah umat yang disediakan untuk dia. Padahal, ketika itu selaku sesepuh Masyumi yang masih ada, Ketua Dewan Dakwah Dr. Anwar Haryono, telah mentahbiskan Amien Rais sebagai Presiden Partai Islam yang akan dibentuk. Namun, Amien mengelak dengan ungkapan “Ibarat baju, Partai Islam itu kekecilan”.

Kita semua tahu MARA (kemudian menjadi PAN) sepanjang 25 tahun reformasi hanya menjadi partai medioker yang perolehan suaranya tidak pernah lebih dari 8 %. Amien sendiri saat maju sebagai capres pada pemilu 2004 hanya menduduki urutan keempat dari 5 paslon, dengan perolehan suara cuma 11 %. Belakangan, Amien malah ditendang dari PAN oleh Zulkifli Hasan, yang saat itu merupakan besannya sendiri. Pada pemilu 2024 ini, Partai Umat besutan Amien Rais hanya mendulang kurang dari 1 % suara. Kini setelah 26 tahun Reformasi, yang terjadi adalah utang yang menggunung, harga-harga yang mahal, dan posisi politik umat Islam yang tetap marginal.

Sebagai catatan penting, pada 1966 itu perubahan dipelopori kaum muda Islam dengan sejumlah tokoh yang luar biasa. Tahun 1998, reformasi dimotori dan dinakhodai tokoh Islam. Tetapi hasilnya sama: umat cuma jadi pendorong mobil mogok. Boleh jadi, ini terjadi lantaran desainer kedua perubahan itu bukan dari kalangan Islam. Konflik antar angkatan di militer serta rivalitas antara TNI AD  dengan PKI yang berujung pada peristiwa G30S/PKI tahun 1965, berhasil dimanfaatkan TNI AD untuk memobilisasi umat Islam melawan PKI. Ini logis, karena umat Islam-lah yang selalu jadi sasaran persekusi PKI dan underbow-nya.

Beberapa puluh tahun kemudian, gagasan suksesi kepemimpinan yang dengan lantang disuarakan Amien Rais di awal tahun 90-an, disambut rakyat dengan gegap gempita. Gagasan itu lalu ditangkap kalangan sekuler dan disiapkan skenarionya. Karena tak mungkin meredupkan pamor Amien, mereka berusaha mencerabut Amien dari habitat aslinya dan mengisolasinya bersama mereka. Mereka berhasil. Dan hasilnya, seperti yang umat rasakan hari ini.

Kini, di penghujung kekuasaan Jokowi akankah hal serupa berulang? Sudah semestinya kita berpikir jernih. Cermati dengan seksama, siapa sesungguhnya yang bermain di balik isu ini. Bukankah keledai pun tak dua kali terjerembab di lubang yang sama?

Akhirnya, baik kita simak pesan Nabi ﷺ‎, “Dari Abu Musa,  dia berkata, ‘Seseorang mendatangi Nabi ﷺ‎ dan berkata, ‘Seorang laki-laki berperang karena fanatisme kelompok, atau karena ingin memperlihatkan keberanian atau karena ingin dilihat orang, maka siapakah yang disebut Fii sabilillah?’ Nabi SAW menjawab, ‘Siapa yang berperang agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi, ia berada Fii Sabilillah’” – HR Bukhari


Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.