Penulis: Lusia P., S.Pd, C.M.Ht (Family Counseling and Hypnotherapy of LaVanza Learning and Therapy Center, Cibubur)
Ada sebuah pesan luar biasa dari Ali Bin Abu Thalib ra yang patut kita renungkan, rumuskan, lalu praktikkan. Sahabat dan sepupu Rasulullah SAW itu berpesan, “Didiklah anak sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup pada zamannya bukan pada zamanmu”. Kini, kita sering mendengar komentar para orangtua yang kelahiran tahun 1980-an ke atas, “Beda ya anak zaman sekarang dengan anak zaman dulu dan jaman kita?”
Di era tahun 1950-an sampai 1980-an, istilah “Pola Asuh” mungkin masih menjadi frase yang jarang terdengar intens. Seolah-olah anak-anak di era tersebut tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Sebagian besar orangtua di masa itu cenderung hanya memberi makan, pakaian, membiayai sekolah, dan les-les yang umumnya bisa dikenali; mengaji atau belajar menguasai alat musik semisal piano, gitar, dan biola.
Jika menganalisa tentang pola asuh orang tua atau keluarga, pada periode tersebut hampir secara penuh pola asuh dilakukan orangtua dan keluarga. Kemudian, pola asuh itu ditambah pengaruh perkembangan pola pikir dari lingkungan semisal pertemanan, lingkungan permainan, sekolah, dan guru. Semua itu membentuk karakter seseorang.
Tentu jauh berbeda dengan masa sekarang. Terutama di era 1990-an dan 2000-an, saat pola asuh sudah semakin meluas. Selain dari orangtua, keluarga, dan lingkungan, anak-anak mendapatkan pola asuh juga dari gadget, internet, dan media sosial, atau kita sepakati istilahnya sebagai dunia maya.
Di masa kini, gaya pengasuhan orangtua pun sangat besar dipengaruhi internet. Sehingga, sejak usia sangat dini pun anak-anak mereka sudah banyak sekali terpapar dunia internet. Sebagai seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari juga berpraktik sebagai konselor dan hipnoterapis keluarga, saya semakin merasa sedih atas fakta itu. Sebab, menjadi sebuah peringatan besar bagi kita tentang situasi dan kondisi anak-anak dan orangtua di zaman sekarang.
Bagaimana tidak? Kondisi anak-anak sekarang, kurang lebih adalah hasil dari generasi-generasi sebelumnya. Sehingga, pada akhirnya kondisi yang terjadi pada anak-anak kita adalah tanggung jawab besar kita bersama.
Tentu bukan berarti sedikit anak-anak yang berprestasi serta bertumbuh kembang dengan baik dan luar biasa. Namun, ada hal-hal di bagian lainnya yang juga perlu perhatian kita. Butuh sinergi kuat dan frekuensi yang intensif antar berbagai pihak dan lembaga. Misalnya pemerintah, lembaga pendidikan baik formal maupun non formal, para profesional di bidang pendidikan dan kesehatan baik mental maupun fisik, keluarga sebagai unit atau lembaga terkecil masyarakat, serta keseluruhan aspek dan lembaga terkait.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 seperti dikutip liputan6 dari website Kementerian Kesehatan, pada tahun 2021, lebih dari 19 Juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, lebih dari 12 Juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi, dan terjadi lonjakan hingga 32%.
Selain data itu, sampai hari ini pun saya masih menangani kasus anak dan remaja yang mengalami depresi dengan kasus berbagai usaha percobaan bunuh diri. Usia termuda mereka yang saya tangani adalah 12 tahun. Jika diintisarikan, hampir semua sebab keluhan mental anak dan remaja itu adalah pola asuh orangtua dan keluarga, serta lingkungan yang kurang kondusif terhadap tumbuh kembang psikologis anak dan remaja.
Banyak orangtua yang juga butuh penanganan intensif dalam menyembuhkan luka batin, luka pengasuhan, sehingga bisa memperbaiki serta meningkatkan kualitas masing-masing pribadi dalam hubungan dengan anak dan remaja. Khususnya tentang keterampilan berkomunikasi yang baik, bagaimana mengenali karakter diri dan karakter anak, serta bagaimana memandang diri dan kehidupan. Sehingga kedewasaan, kematangan, dan kebijaksanaan menjadi bagian dari setiap pribadi masyarakat Indonesia.
Maka, butuh perhatian kita bersama untuk sadar dan sungguh-sungguh berupaya memperbaikinya bersama. Perlu lebih mengokohkan nilai-nilai luhur bangsa, agama, dan spiritual. Terutama Tauhid agar lebih kuat dan kokoh. Anak-anak bukan menjadi penyaluran ambisi orangtua ketika mereka disekolahkan di sekolah-sekolah berbasis agama, semisal pesantren dan lainnya. Sebab, keteladanan itu jauh lebih baik.
Mari didik anak dengan teladan, penuh kejernihan dan kebeningan hati, serta inti agama yang penuh welas asih, kearifan, kebijaksanaan, dan yang paling utama adalah Tauhid. Sehingga, tidak ada lagi anak-anak dan remaja seperti yang saya tangani di rumah praktik saya. Saya menangani banyak anak dan remaja yang bahkan membenci agama, orangtuanya sendiri, sehingga menimbulkan kecemasan, rasa insecure, dan lainnya. Padahal, bukankah agama itu jalan untuk mengenal Tuhan, Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang, dengan sebenar-benarnya? Bukankah mengenal agama akan mampu membuat kita mengingat-Nya, serta membangkitkan cinta, damai, muthmainnah, dalam diri kita?
Public figure, tokoh masyarakat, serta figur-figur otoritas semisal guru, para pemimpin, tokoh idola, dan orangtua diharapkan menjadi orang-orang pertama yang berubah signifikan dalam mencapai perubahan. Kita harap semakin banyak bermunculan komunitas-komunitas dan organisasi-organisasi kegiatan bagi anak dan remaja yang bisa mendukung hal ini, diprakarsai pemerintah berkolaborasi dengan lembaga non pemerintah lainnya. Sehingga, kita semua tanpa kecuali bisa menyikapi dan memperlakukan setiap anak dan remaja seperti anak kita sendiri, dengan welas asih, empati, pengertian, adil, dan berjalannya pola membimbing dan mendidik dalam sikap dan pola pikir serta pola mental kita. Bukankah bangsa yang kuat adalah bangsa yang mementingkan kebersamaan?
Kita harap tidak akan ada lagi orangtua yang menghakimi anak dan remaja seperti bukan anaknya sendiri. Kita harap tidak ada lagi perlakuan negatif terhadap anak dan remaja seolah mereka tidak punya hati dan harga diri. Namun, bukan berarti memanjakan.
Yuk, para orangtua. Kita “bersih-bersih” luka dan imprint yang merugikan diri dan anak-anak serta keluarga kita. Yuk, bersahabat dengan dunia kesehatan mental. Sebab, perannya juga sangat penting dalam pendidikan karakter. Salam hangat dan sayang.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!