Prof. Dr. Anhar Gonggong: “Pemerintah Orde Baru Ketika Itu ‘Sangat Curiga’ kepada Orang Islam”

Prof. Dr. Anhar Gonggong: “Pemerintah Orde Baru Ketika Itu ‘Sangat Curiga’ kepada Orang Islam”
Prof. Dr. Anhar Gonggong saat ditemui di kediamannya / sabili.id

Salah satu dampak sikap pemerintah yang “alergi” terhadap perbedaan pendapat itu adalah meletusnya Peristiwa Tanjung Priok. Peristiwa Tanjung Priok yang terjadi pada 12 September 1984 adalah terjadinya bentrokan antara aparat militer bersenjata dengan massa sipil. Ada versi yang menyebut, korban yang jatuh akibat peristiwa itu  adalah 24 orang tewas dan 55 orang luka-luka. Versi lain mengatakan, jumlah korban tewas saat peristiwa itu adalah 33 orang dan 55 orang luka-luka. Sedangkan lembaga-lembaga kemanusiaan menyebut, ratusan orang menjadi korban tewas dalam peristiwa itu. Investigasi Solidaritas Nasional atas peristiwa Tanjung Priok (Sontak) menyebut, jumlah korban tewas dalam peristiwa itu mencapai 400 orang. Selain itu, 160 orang yang dicurigai berkaitan dengan peristiwa tersebut ditangkap oleh militer tanpa prosedur yang jelas dan tanpa surat perintah dari atasan.

Sejarawan Anhar Gonggong mengatakan, terjadinya Peristiwa Tanjung Priok 1984 tersebut tak lepas dari sikap pemerintah ketika itu. Menurut dia, latar belakang peristiwa itu diawali karena pemerintahan Orde Baru waktu itu memang “sangat curiga” kepada orang Islam.

“Latar belakangnya karena pemerintah Orde Baru kan ‘sangat curiga’ kepada Gerakan Islam. Dan dianggap salah satu pusat ekstrimnya Islam waktu itu ada di Tanjung Priok sana. Amir Biki dan Abdul Qadir Jaelani.  Hanya itu yang saya tahu. Jadi, peristiwa itu terjadi oleh karena Orde Baru dalam tanda kutip ‘tidak sreg’ dengan Islam sebagai sebuah kekuatan yang dianggap anti Orde Baru. Lalu sampai seberapa jauh mereka mengambil tindakan kekerasan (karena ‘tidak sreg’ dengan Islam), ya tanya sama Pak Try Sutrisno yang ketika itu Panglima Kodam,” katanya.

Baca Juga : Dr. Tiar Anwar Bachtiar: “Peristiwa Tanjung Priok Adalah Salah Satu Monumen Sejarah”

Menurut Anhar, ketika itu memang pemerintah Orde Baru sangat ketat dalam melihat orang yang dapat dikategorikan dalam istilah “oposisi”. Di antara mereka, tokoh-tokoh semisal Amir Biki dan Abdul Qadir Djaelani saat itu dianggap sebagai bagian dari kelompok Islam yang keras. Penyikapannya kemudian dilakukan dengan cara mengerahkan tentara untuk melakukan tindakan.

Anhar tak menampik bahwa memang ada kesan pemerintah Orde Baru ketika itu alergi terhadap umat Islam. Bahkan ada bagian dari pemerintah waktu itu yang “Anti Islam”.

“Ya, memang faktanya seperti itu ketika itu. Dan memang sistem yang dijalankan di Indonesia adalah sistem yang otoriter. Salah satu yang dianggap kekuatan atau kelompok yang ‘mengganggu pemerintah’ atau bersifat oposisi dan kurang memberikan dukungan kepada pemerintah Orde Baru waktu itu adalah kelompok Islam, yang mungkin dianggap pusat kegiatannya ada di Tanjung Priok, di bawah pimpinan Djaelani dan Amir Biki,” ucap Anhar.

Anhar pun yakin, Presiden Soeharto ketika itu mengetahui terjadinya Peristiwa Tanjung Priok. “Tidak mungkin itu dilakukan jika (informasinya) tidak sampai ke Pak Harto. Kan setelah ribut-ribut itu, pasti sampai ke Pak Harto. Bahkan mungkin dia yang menyuruh, kita tidak tahu. Soal itu tanya sama Pak Try (Sutrisno),” tegasnya.

Satu hal yang jelas, menurut Anhar, fakta sejarah menunjukkan bahwa Peristiwa Tanjung Priok itu memang terjadi. Dan faktanya di dalam peristiwa itu telah terjadi kekerasan yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru. Anhar pun mengatakan, kita harus memetik pelajaran berharga dari peristiwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia sepanjang perjalanan bangsa ini.

“Ke depannya, yang harus kita bangun adalah pemerintahan yang demokratis. Sehingga, orang berhak mengeluarkan pendapat. Orang berhak berbeda pendapat dengan pemerintah. Itu kan yang demokratis. Padahal Orde Baru kan menerapkan Demokrasi Pancasila. Tetapi kan dalam praktiknya otoriter. Maka, sekarang dan ke depan ya kita harus betul-betul memperbaiki demokrasi kita,” katanya.

Baca Juga : KH Jeje Zaenuddin: “Proses Hukum Atas Peristiwa Tanjung Priok Harus Terus Dilakukan”

Di bagian lain, Anhar mengatakan, dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia, selama 78 tahun kita Merdeka, setidaknya ada kurun waktu 37 tahun kita takut berbeda pendapat. Yaitu di zaman Demokrasi Terpimpin dari tahun 1960 sampai 1967 di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno dan 30 tahun di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Di kurun waktu itu, pihak-pihak yang berbeda pendapat dengan pemerintah akan masuk penjara.

“Waktu Demokrasi Terpimpin itu, beberapa tokoh Islam pun masuk penjara. Natsir masuk penjara, Roem masuk penjara, Hamka masuk penjara. Nah, di zaman Soeharto dengan Demokrasi Pancasila sama saja. Bahkan tokoh yang paling mendukung dia di awal-awal Orde Baru, yaitu HR Dharsono, Mantan Panglima Kodam Siliwangi, juga ditangkap dan akhirnya dipenjara. Jadi, perjalanan demokrasi kita ini memang memerlukan pemahaman yang jelas tentang bagaimana seharusnya kita berdemokrasi. Karena inilah maka kita melakukan reformasi. SBY sudah melakukannya selama 10 tahun. Sebelumnya, Megawati melakukan itu. Kemudian sekarang Jokowi. Perjalanan demokrasi kita seperti ini,” katanya.

Sekarang muncul banyak tuntutan agar pemerintahan dibangun lebih demokratis. Sebab, dalam beberapa hasil penelitian terlihat bahwa saat ini indeks demokrasi kita malah menurun. Jadi, kita harus terus meningkatkan kemampuan dan terus berusaha mewujudkan apa yang kita cita-citakan sebagai bangsa Merdeka, yaitu menjadi bangsa yang demokratis.

“Walaupun kita sudah Merdeka, jangan kita mengatakan perjuangan sudah berhenti. Nggak juga. Cuma tentu saja cara berjuangnya sudah berbeda. Cara-cara Demokrasi Terpimpin tidak bisa dibawa ke zaman sekarang. Cara Demokrasi Pancasila era Pak Harto juga nggak bisa dibawa ke kondisi sekarang. Ke depan, anak-anak muda harus belajar memahami betul apa yang kita maksud dengan demokrasi. Sebab, itu juga yang sering menjadi kendala bagi Islam, karena di zaman Orde Baru sering dianggap tokoh-tokoh seperti Djaelani dan Amir Biki sebagai anti Demokrasi Pancasila atau menentang penerapan Asas Tunggal untuk semua organisasi,” tegasnya.

Tentang tidak masuknya Peristiwa Tanjung Priok 1984 dalam 12 Peristiwa Pelanggaran HAM Berat yang diakui pemerintah, menurut Anhar, itu adalah sikap pemerintah. Maka, ia menyarankan, sebaiknya pihak keluarga korban bertanya kepada pemerintah sekarang, mengapa Peristiwa Tanjung Priok 1984 tidak masuk dalam 12 Peristiwa Pelanggaran HAM Berat yang diakui oleh pemerintah. Tentu pertanyaan itu disampaikan dengan menyertakan bukti-bukti tentang adanya pelanggaran HAM tersebut.

“Pemerintah sekarang di bawah Presiden Jokowi nggak ngerti bagaimana kondisi ketika itu. Kasihan kalau Pemerintah Jokowi ini seakan-akan dibebani, padahal peristiwa itu dia nggak tahu. Tetapi dia harus mengambil tindakan tertentu, kebijakan tertentu, maka dia akui sekarang ini, antara lain bahwa terjadi 12 peristiwa yang memang termasuk Pelanggaran HAM Berat. Lalu yang penting ada dua hal, yaitu ada yang bisa diselesaikan secara hukum dan ada yang diselesaikan tanpa lewat jalur hukum. Kita tidak bisa menyalahkan juga mengapa Jokowi tidak memasukkan peristiwa (Tanjung Priok) itu. Karena dia mendapatkan masukan itu dari banyak sumber, dan dari sumber yang dia peroleh, hasilnya (12 peristiwa) itu yang masuk (Pelanggaran HAM Berat),” jelasnya.

Baca Juga : Tragedi Tanjung Priok: Hak Korban yang Terabaikan

Anhar pun menekankan, Presiden Joko Widodo memang telah mengambil keputusan bahwsa 12 peristiwa itu sebagai Peristiwa Pelanggaran HAM Berat yang diakui pemerintah pernah terjadi di Indonesia. Tetapi jangan pula dianggap bahwa peristiwa yang lain diabaikan. Jadi, jika masih ada pelaku atau korban yang menderita akibat terjadinya Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 itu, mereka bisa menemui Menko Polhukam, Mahfud MD, untuk memberikan informasi baru berdasarkan pengalaman mereka.

“Tetapi tolong datang dengan fakta dan pengetahuan yang tidak diketahui oleh pemerintah. Dari keluarga Amir Biki dan Abdul Qadir Djaelani, datang saja ke Pak Mahfud, sampaikan bahwa dalam peristiwa Tanjung Priok ada yang jadi korban, masjid dimasuki sepatu tentara, diserbu, dan sebagainya. Saya kira beliau tidak akan menolak. Tetapi jangan menganggap bahwa (karena) pemerintah tidak memasukkan peristiwa ini (sebagai Pelanggaran HAM Berat), terus dianggap sebagai tindakan diskriminatif. Jangan bersikap seperti itu. Datang saja mempertanyakan hal itu, berikan informasi, saya kira pemerintah juga tidak bermaksud melakukan diskriminasi,” katanya.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.