Hingga akhir tahun 2023, Perang Gaza yang telah berlangsung sejak 7 Oktober 2023 dilaporkan telah menelan korban tewas lebih dari 21.000 jiwa. Selain itu, lebih dari 56.000 orang mengalami luka-luka. Sebagian besar para korban tersebut adalah perempuan dan anak-anak.
Jatuhnya korban dari warga sipil – terutama perempuan dan anak-anak – selama agresi Zionis Israel itu, membuat sejumlah negara sejak pertengahan November 2023 telah mendesak Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) untuk menyelidiki kejahatan perang yang dilakukan Zionis Israel selama agresi mereka di Gaza Palestina. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) adalah sebuah pengadilan permanen untuk menuntut individu atas tindakan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. (Sabili.id 21 November 2023)
Indonesia pun telah mengeluarkan kecaman terhadap gempuran terus menerus Israel kepada Palestina. Kecaman itu diutarakan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, dan Menteri Luar Negeri Aljazair Ahmed Attaf, saat mereka bertemu di Algiers, 20 Desember 2023. Mereka juga sepakat bahwa penyelesaian krisis di Gaza harus dengan jalan mengatasi masalah inti, yaitu pendudukan ilegal Israel di Tanah Palestina. Mengatasi masalah inti itu sangat penting untuk menjamin terwujudnya perdamaian abadi bagi rakyat Palestina. (Sabili.id 22 Desember 2023)
Masalahnya, seruan sejumlah negara yang sejak pertengahan November 2023 mendesak untuk membawa Perdana Menteri Israel ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) karena kejahatan perang di Gaza itu terbentur sistem hukum internasional. Sebab, hukum internasional saat ini seolah-olah seperti hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang menang. Persoalannya, Zionis Israel saat ini didukung penuh Amerika Serikat yang notabene adalah negara kuat. Termasuk saat Israel berhadapan dengan sidang-sidang di PBB. Pendapat itu dikatakan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M.
“Hukum Internasional hanya alat legitimasi negara saja. Tetapi (sebenarnya) yang berlaku bagi masyarakat internasional itu hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang menang. Israel sekarang dalam kondisi dibekingi Amerika Serikat (yang notabene adalah negara kuat). Jadi susah (untuk menuntut Israel secara hukum internasional),” ujarnya dalam wawancara dengan wartawan Sabili.id, Hanif Nurrohman.
Baca juga: Desakan Bawa Kejahatan Perang Zionis Israel ke Pengadilan Internasional Kian Mengemuka
Tentang peluang negara-negara lain, semisal Indonesia, menuntut Israel ke ICC atas kejahatan perang, Hikmahanto yang sejak tahun 2020 menjabat Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi, itu menyebut, dalam sistem hukum internasional, Indonesia tidak punya legal standing untuk menuntut Israel. “Indonesia bukan anggota dari ICC. (maka) Tidak ada legal standing. Indonesia dan Israel bukan anggota ICC, (sehingga) Indonesia tidak bisa menyeret Israel ke ICC,” katanya.
Kata Hikmahanto, saat ini sulit membawa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang dianggap bertanggung jawab atas kejahatan perang yang terjadi di Gaza, ke Pengadilan ICC di Den Haag, Belanda. “(Sebelumnya) negara-negara Arab dan Turki (juga) mau mengajukan (tuntutan itu). Pertanyaannya, siapa yang akan bawa Netanyahu ke Den Haag? Polisi dari Israel? Polisi di Israel (justru) menganggap Netahayu sebagai pahlawan,” ucapnya.
Ada upaya lain, yaitu membawa Netanyahu ke lembaga peradilan yang lain. Tetapi, hal itu pun punya kendala. Yaitu hak veto yang dimiliki Amerika Serikat. Sebab, untuk membawa Netanyahu ke lembaga peradilan yang lain itu harus melalui resolusi Dewan Keamanan PBB. Dan Amerika Serikat adalah salah satu dari lima negara pemilik hak veto di Dewan Keamanan (DK) PBB. Hak veto adalah hak untuk membatalkan suatu rancangan resolusi yang telah diputuskan oleh suara terbanyak Anggota DK PBB.
“Kalau misalnya (nanti) bisa dibuat lembaga peradilan khusus lain, pasti nanti di-veto Amerika Serikat, karena harus melalui resolusi Dewan Keamanan PBB. Jadi, Israel melenggang saja sampai (targetnya) selesai. Kecuali kalau rakyatnya sendiri yang menurunkan Netanyahu dan mengganti Perdana Menteri (dengan tokoh) yang mau menghentikan perang ini,” katanya.
Perkembangan terakhir sebelum tutup tahun 2023, proses pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB untuk mengambil keputusan mengenai resolusi yang menyerukan penghentian perang Israel-Hamas ditunda lagi. Seharusnya pemungutan suara itu digelar tanggal 20 Desember 2023. Konon, penundaan yang terakhir itu terjadi atas permintaan Amerika Serikat. Sebelumnya, rapat DK PBB yang membahas resolusi dijadwalkan untuk diselenggarakan tanggal 19 Desember 2023, tetapi ditunda hingga keesokan harinya. (Sabili.id 22 Desember 2023)
Namun, menurut pria kelahiran Jakarta, 23 November 1965 itu, masih ada peluang lain untuk menghentikan Netanyahu. Peluang itu adalah dengan mendorong rakyat Israel agar menurunkan Netanyahu dari kursi Perdana Menteri. Peluang itu ada, karena menurut dia, sekarang rakyat Israel sendiri sudah mulai merasa tidak puas dengan kebijakan Netanyahu melancarkan serangan dan mengobarkan perang di Gaza.
“Sekarang yang perlu digoyang adalah rakyat Israel. Karena rakyat Israel sekarang bilang, ‘Netanyahu menyerang Gaza begini bukan membuat kita aman, tetapi justru membuat kita tidak aman, karena banyak orang yang akan tidak suka dengan Israel’. Dan banyak orang (yang tidak suka dengan Israel itu) akan melakukan tindakan teror dan lain sebagainya untuk warga negara Israel. Maka mereka (rakyat Israel) minta untuk (perang) dihentikan,” tuturnya.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!