Sudan kembali bergulat dengan tragedi yang sama dari tahun ke tahun. Ledakan, pengungsian, dan desa-desa yang lenyap tanpa jejak membentuk lingkaran kekerasan yang seperti sengaja dibiarkan hidup. Di tengah suara peluru yang bersahutan, jutaan warga sipil sedang bertahan tanpa kepastian, sementara perebutan pengaruh antar kekuatan bersenjata terus berlangsung tanpa ujung. Seiring dengan itu, disinformasi berseliweran membuat informasi tentang kondisi di dalam negeri Sudan yang sebenarnya sukar didapat.
Di tengah situasi yang remang dan penuh disinformasi, Sabili.id bekerja sama dengan Asar Humanity, Gensa, dan Teras Dakwah, menghadirkan ruang diskusi online bertajuk Sabili Insight Hub Vol. 2 yang mengangkat tema “Suara yang Tertinggal di Sudan: Anda Bertanya, Saksi Mata Menjawab”, pada Ahad (16/11). Acara ini mempertemukan publik dengan narasumber yang berada langsung di pusaran konflik. Mereka adalah Prof. DR. Mohammed Thayyib Al Kanazi (Atase Kebudayaan Kedutaan Sudan untuk Indonesia) dan dr. Thayyib Mohammed (Influencer sekaligus dokter RS Polisi Donggala, Sudan).
Di kesempatan itu, Profesor M. Thayyib memberikan analisisnya mengenai apa yang ia sebut sebagai akar terdalam dari gejolak Sudan. Ia menegaskan, situasi yang terjadi hari ini bukan sekadar perang saudara atau perseteruan antara dua jenderal yang berebut kekuasaan, tetapi juga berkaitan dengan kepentingan eksternal yang telah berlangsung puluhan tahun.
Menurut M. Thayyib, sejak Sudan mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1956, pemerintahan mereka harus berhadapan dengan pemberontak di wilayah selatan yang didukung Israel dan Amerika Serikat. Bentrokan yang terus berulang itu berujung pada pemisahan Sudan Selatan pada 2011.

Pasca terpisahnya Sudan Selatan, ketegangan kembali muncul di wilayah Darfur. Wilayah ini luasnya hampir setara dengan Prancis dan menyimpan sumber daya alam yang sangat besar, salah satunya kawasan Jabal Marrah yang terkenal akan kekayaan emasnya. Embargo dari AS dan negara-negara Barat turut memperburuk kondisi negara itu, menjadikan Sudan semakin terpinggirkan dari perhatian dunia internasional.
“Sudan tidak diberi kesempatan untuk bangkit dan merekonsiliasi karena wilayahnya selalu menjadi rebutan pihak-pihak yang serakah, baik dari dalam maupun luar negeri,” katanya.
Di dalam penjelasannya, Prof M. Thayyib menyampaikan bahwa konflik Sudan tidak bisa dipisahkan dari skenario geopolitik di kawasan Timur Tengah. Ia mengaitkannya dengan apa yang disebut sebagai “proyek Israel Raya”, sebuah negara yang dicita-citakan Israel yang luas wilayahnya membentang dari Sungai Nil hingga Sungai Eufrat. Menurut dia, Sudan diproyeksikan menjadi lumbung pangan yang memasok makanan bagi wilayah yang disebut “The Great Israel” itu.
Ia menyebut, keterlibatan Israel di Sudan bukanlah hal baru. Negara tersebut sejak lama tercatat sebagai pihak yang mendukung dan memasok senjata kepada kelompok pemberontak, termasuk Rapid Support Forces (RSF). Selain Israel, Uni Emirat Arab, Ethiopia, Nigeria, Burkina Faso, Kenya, Republik Afrika Tengah, Amerika Serikat, Rusia, dan Kolombia, juga dipaparkan sebagai pihak yang memberikan dukungan atau suplai senjata kepada RSF. Sementara itu, hanya empat negara yang secara konsisten mendukung pemerintah Sudan, yaitu Mesir, Qatar, Turki, dan Eritrea.

Ia menambahkan, banyak anggota RSF berasal dari kelompok masyarakat awam yang tidak memahami agama dengan benar dan kerap melakukan ritual-ritual syirik. Mereka membunuh warga sipil yang pro-pemerintah, merekam kekerasan itu dengan kamera mereka sendiri, dan mengunggahnya ke media sosial. Di sisi lain, media luar kawasan dilarang memasuki dan meliput wilayah tersebut, sehingga banyak pelanggaran dan kejahatan yang tidak dilaporkan.
Prof M. Thayyib memastikan bahwa jutaan warga telah menjadi korban dalam konflik berkepanjangan ini, terutama masyarakat pedesaan yang tidak memiliki akses internet untuk sekadar mengetahui apa yang sedang menimpa negeri mereka sendiri. Banyak yang melarikan diri hanya dengan pakaian yang melekat di badan, tanpa membawa sedikit pun bekal makanan. Sedangkan bantuan kemanusiaan sulit masuk ke Sudan, memperparah krisis hingga seperti luka yang semakin menganga.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!

