Refleksi Hari Sumpah Pemuda: Ketika Persatuan Kembali Diuji

Refleksi Hari Sumpah Pemuda: Ketika Persatuan Kembali Diuji
Refleksi Hari Sumpah Pemuda: Ketika Persatuan Kembali Diuji / Foto:Istimewa

Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa ini selalu diingatkan akan satu momentum besar yang menandai kebangkitan generasi muda, yaitu Sumpah Pemuda. Sembilan puluh tujuh tahun lalu, para pemuda dari berbagai daerah, di antaranya Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Betawi, berkumpul di Jakarta dengan satu semangat untuk menyatukan bangsa yang tercerai-berai oleh sekat suku, bahasa, dan kepentingan. Pertemuan itu melahirkan tiga ikrar suci bertajuk Sumpah Pemuda: bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Sumpah itu lahir dari rasa haus akan persatuan di tengah penjajahan, dari tekad pemuda yang berani menanggalkan identitas golongan demi satu nama Indonesia. Namun, sembilan dekade kemudian, sumpah yang dulu membakar semangat perjuangan itu seolah memudar di dada generasi ahli warisnya.

Kini, pemuda justru lebih sering terjebak dalam sumpah serapah. Media sosial menjadi gelanggang baru, tempat amarah dan ego saling beradu. Kita menyaksikan generasi yang mudah terprovokasi, mudah melabeli, dan mudah membenci. Istilah semisal golongan 62%, anak abah, atau termul alias ternak mulyono — semua itu bukan sekadar lelucon politik, tetapi cerminan nyata bagaimana pemuda hari ini terpecah dalam barisan yang saling mencurigai.

Detak-Detik Menjelang Berakhirnya Kampanye, Bagaimana Para Pemuda?
Walau empat debat telah lewat, elektabilitas paslon tak berubah signifikan. Kemungkinan besar Pilpres berlangsung dua putaran. Peran pemuda sangat berarti. Tak ada paksaan untuk memilih salah satu paslon.

Alih-alih meniru semangat 1928 yang menyatukan, generasi hari ini justru mewarisi semangat membedakan. Perbedaan pandangan politik berubah menjadi jurang permusuhan. Perbedaan pilihan pemimpin dijadikan ukuran keimanan dan kecerdasan. Sumpah yang dulu lahir untuk menyatukan justru kini dikhianati oleh para ahli warisnya sendiri — pemuda yang lebih nyaman bersembunyi di balik kelompok, algoritma, dan identitas digital.

Ironisnya, semua itu terjadi di tengah kemudahan akses informasi dan pendidikan. Pemuda hari ini tumbuh di era kebisingan digital, tetapi kehilangan arah moral. Terbiasa menyerap opini sehingga jarang mencari makna. Cepat tersulut isu, namun malas menggali sejarah. Mereka lebih mengenal trending topic ketimbang tokoh-tokoh perintis pergerakan; lebih hafal jargon politik ketimbang isi Sumpah Pemuda itu sendiri.

Membaca ruh Sumpah Pemuda tidak hanya tentang persatuan formal, melainkan menjadi makna lain tentang kesediaan untuk menurunkan ego. Para pemuda 1928 datang dari latar belakang yang beragam, tetapi mereka sepakat bahwa masa depan Indonesia lebih besar dari sekadar kepentingan pribadi atau kelompok.

Sayangnya, nilai itu kini nyaris tak tersisa. Kita hidup di masa ketika “persatuan” hanya menjadi slogan, sementara perpecahan jadi gaya hidup. Ketika adu argumentasi tanpa ilmu dianggap intelektual, dan mencaci dengan lantang dianggap bentuk keberanian. Pemuda hari ini, meski terdidik dan terkoneksi, justru miskin dalam mengadaptasi nilai-nilai Sumpah Pemuda, nilai untuk menyatukan, menghargai, dan berjuang bersama.

Lewat Diskusi Publik, Pemuda ICMI Cari Sebab Indonesia Alami Kemunduran di Dunia Intelektual
Di dalam diskusi publik yang mengangkat topik “Tantangan dan Harapan dalam Pengembangan Kualitas Riset di Indonesia” itu, hadir sebagai narasumber adalah Prof. Cahyo Pamungkas, Ph.D dari BRIN dan Ketua Umum MPP Pemuda ICMI Dr. Ismail Rumadan, SH, MH.

Refleksi ini seharusnya menggugah kesadaran bahwa sumpah yang kita rayakan setiap tahun bukanlah artefak sejarah. Sumpah Pemuda tidak untuk dikenang, tapi untuk diperjuangkan ulang — terutama di zaman ketika persatuan kembali diuji oleh perbedaan yang menyesakkan.

Zaman boleh berubah, tetapi semangat persatuan seharusnya tidak lekang. Sumpah Pemuda adalah janji yang menuntut untuk dijaga. Dan mungkin, di tengah semua keributan hari ini, bangsa ini butuh sosok-sosok yang paling tulus menjaga persaudaraan. Kalau dulu para pemuda bersumpah untuk bersatu, maka sekarang tugas kita adalah bersumpah untuk tidak mengkhianati sumpah itu sendiri.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.