Keluarga Assad telah menjadi salah satu aktor utama dalam sejarah politik Timur Tengah. Rezim ini – dari Hafez al-Assad hingga putranya, Bashar al-Assad – telah memimpin Suriah dalam periode yang panjang dan penuh dinamika. Mereka tidak hanya memengaruhi arah politik domestik tetapi juga memainkan peran strategis dalam berbagai isu regional dan internasional.
Artikel ini akan mengulas pembentukan rezim Assad, kebijakan politiknya, serta tantangan yang dihadapi untuk bertahan di masa depan di tengah konflik yang berkepanjangan.
Awal Berdirinya Rezim Assad
Rezim keluarga Assad berawal pada tahun 1970, ketika Hafez al-Assad mengambil alih kekuasaan melalui kudeta internal Partai Ba’ath. Sebagai bagian dari komunitas minoritas Alawi, Hafez mengonsolidasikan kekuasaannya dengan membangun jaringan patronase, memerkuat hubungan dengan militer, dan memroyeksikan dirinya sebagai penjaga stabilitas negara. Di bawah pemerintahannya, Suriah mengalami modernisasi dalam beberapa sektor, termasuk infrastruktur, pendidikan, dan layanan publik, meski pun kebebasan politik sangat dibatasi.
Pemerintahan Hafez juga dikenal dengan pendekatan pragmatis terhadap geopolitik. Ia memanfaatkan posisinya untuk menjadikan Suriah sebagai pemain penting dalam konflik Arab-Israel. Dengan mengontrol Lebanon melalui campur tangan militer pada 1976 dan mendukung kelompok-kelompok tertentu, Hafez mengamankan pengaruh regional yang signifikan.
Namun, kekuasaan Hafez tidak lepas dari kekerasan. Salah satu peristiwa paling berdarah adalah pembantaian Hama pada 1982. Ketika itu, ribuan orang tewas saat militer Suriah menghancurkan pemberontakan Islamis.
Kepemimpinan Bashar al-Assad
Setelah wafatnya Hafez tahun 2000, Bashar al-Assad mengambil alih tampuk kekuasaan. Di awal pemerintahannya, ia dianggap sebagai pemimpin muda yang membawa harapan reformasi, terutama di sektor teknologi dan ekonomi. Namun, ekspektasi tersebut tidak terwujud. Alih-alih membawa perubahan, Bashar memertahankan struktur kekuasaan otoriter yang diwarisi dari ayahnya. Langkah-langkah represif semisal membatasi kebebasan berbicara, menindas oposisi, dan memusatkan kendali kekuasaan semakin memertegas karakter rezimnya.
Gelombang Arab Spring pada tahun 2011 menjadi ujian terbesar bagi rezim Bashar al-Assad. Protes damai yang dimulai di kota-kota kecil dengan cepat menyebar ke seluruh negeri, menuntut reformasi politik dan ekonomi. Respon brutal pemerintah terhadap aksi protes ini memicu perang saudara yang berkepanjangan. Konflik ini menyebabkan kehancuran besar-besaran, termasuk hancurnya infrastruktur, perpecahan sosial, dan meningkatnya pengungsian besar-besaran. Intervensi pihak asing, baik yang mendukung rezim maupun kelompok oposisi, semakin memerumit situasi.
Faktor Penopang Kekuasaan Rezim Assad
Meski pun menghadapi tekanan besar dari dalam dan luar negeri, rezim Assad tetap bertahan berkat beberapa faktor kunci. Salah satu pilar utama kekuatan rezim adalah dukungan militer. Angkatan bersenjata Suriah, yang didominasi oleh orang-orang yang loyal kepada keluarga Assad, memainkan peran penting dalam menekan pemberontakan. Militer Suriah juga mendapatkan bantuan signifikan dari Rusia, Iran, dan Hizbullah.
Selain itu, aliansi internasional menjadi salah satu faktor utama keberlangsungan rezim Assad. Rusia memberikan dukungan militer dan diplomatik, termasuk melalui intervensi udara yang secara langsung membantu pemerintah merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oposisi. Iran, di sisi lain, menyediakan penasihat militer, logistik, dan dukungan ekonomi yang krusial bagi stabilitas internal rezim. Hizbullah, kelompok bersenjata yang berbasis di Lebanon, turut memberikan kontribusi melalui partisipasi langsung dalam konflik bersenjata.
Ketidakmampuan oposisi untuk bersatu juga menjadi keuntungan bagi rezim Assad. Fragmentasi di antara kelompok-kelompok oposisi membuat mereka sulit membentuk front yang solid. Beberapa kelompok bahkan saling bersaing satu sama lain, sehingga upaya untuk melawan rezim menjadi kurang efektif. Selain itu, pemerintah menggunakan propaganda secara intensif untuk mengontrol narasi publik. Media yang dikuasai negara memromosikan narasi pro-rezim, sementara pandangan yang menentang dibungkam atau disensor.
Dampak Konflik terhadap Suriah
Perang saudara yang berkepanjangan di Suriah telah membawa dampak yang sangat luas dan menghancurkan. Infrastruktur negara, termasuk sekolah, rumah sakit, dan fasilitas transportasi, mengalami kerusakan yang masif. Jutaan anak kehilangan akses pendidikan. Sistem layanan kesehatan yang pernah menjadi kebanggaan negara kini berada di ambang kehancuran. Di sisi lain, ekonomi Suriah mengalami keterpurukan yang parah akibat perang dan sanksi internasional.
Selain itu, konflik ini juga menciptakan krisis pengungsi terbesar di dunia modern. Jutaan warga Suriah melarikan diri ke negara-negara tetangga semisal Turki, Lebanon, dan Yordania, sementara ribuan lainnya mencoba mencari perlindungan di Eropa. Di dalam negeri, jutaan orang menjadi pengungsi internal, tinggal di kamp-kamp dengan kondisi yang sangat minim. Konflik juga memberikan ruang bagi kelompok-kelompok ekstremis semisal ISIS untuk berkembang, menciptakan tantangan tambahan bagi keamanan dan stabilitas negara.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!