Di tengah berkembangnya teknologi dan meningkatnya kesadaran publik, lembaga zakat menghadapi tantangan baru untuk tampil lebih terbuka dan akuntabel. Namun riset terbaru menunjukkan, pembahasan tentang akuntabilitas lembaga zakat ternyata masih jauh tertinggal dibandingkan pesatnya perkembangan zakat itu sendiri. Ketimpangan ini membuka pertanyaan besar: Sudah siapkah lembaga zakat mengelola amanah di era digital dengan standar transparansi yang lebih tinggi?
Ada sebuah studi komprehensif yang menggabungkan analisis bibliometrik dengan tinjauan literatur sistematis. Studi tersebut mengungkap fakta menarik. Bahwa sejak puluhan tahun lalu publikasi tentang zakat terus bertambah, tetapi riset yang secara spesifik membahas akuntabilitas lembaga zakat masih sangat sedikit dan terbatas. Padahal, akuntabilitas merupakan fondasi kepercayaan. Dan tanpa kepercayaan, gerakan zakat tidak akan pernah mencapai potensi besarnya. Minimnya riset pada isu yang sangat fundamental ini menunjukkan betapa perlunya evaluasi yang lebih serius terhadap tata kelola zakat di Indonesia maupun di negara Muslim lainnya.
Studi tersebut juga menemukan bahwa mayoritas kajian akuntabilitas zakat masih didominasi metode survei, yang sering kali hanya menilai persepsi masyarakat terhadap amanah lembaga zakat. Memang, metode tersebut bermanfaat. Namun, metode itu tak cukup menggali dinamika internal lembaga, budaya organisasi, atau praktik akuntabilitas yang berlapis — baik kepada muzakki, mustahik, regulator, maupun kepada Allah.
Di dalam konteks zakat yang sarat nilai religius dan sosial, pendekatan kualitatif semisal studi kasus atau etnografi justru jauh lebih relevan untuk mendapatkan gambaran yang utuh. Sayang, penelitian dengan pendekatan mendalam seperti itu masih sangat jarang dilakukan.

Salah satu temuan yang tak kalah menarik adalah dominasi Indonesia dan Malaysia sebagai negara dengan publikasi zakat terbanyak, namun dari sisi pengaruh ilmiah — yang tecermin dari jumlah sitasi — penelitian dari Inggris justru lebih unggul. Perbedaan tersebut menunjukkan, kuantitas publikasi belum tentu berbanding lurus dengan kualitas.
Bagi dunia akademik Indonesia, hal itu menjadi alarm penting. Bahwa riset zakat tidak cukup hanya banyak dilakukan, tetapi juga harus dapat memberikan kontribusi yang kuat terhadap pengembangan teori dan praktik tata kelola. Jika tidak, kita akan terus menjadi "produsen data", tetapi bukan "produsen gagasan".
Studi tersebut juga mengingatkan bahwa akuntabilitas dalam zakat memiliki dimensi transendental yang tidak dimiliki sektor filantropi lainnya. Ingat, lembaga zakat tidak hanya bertanggung jawab kepada publik, tetapi juga kepada Allah. Namun, dalam praktik kelembagaan, pertanggung jawaban itu sering direduksi menjadi laporan keuangan, audit syariah, atau publikasi tahunan. Sementara bentuk akuntabilitas lain — semisal keterlibatan mustahik dalam evaluasi program, partisipasi publik dalam proses perencanaan, atau transparansi real time berbasis digital — belum banyak diadopsi. Padahal, era digital membuka peluang besar untuk melakukannya.
Di sinilah pentingnya rekomendasi riset tersebut: Lembaga zakat perlu mulai memikirkan penggunaan teknologi semisal blockchain, integrasi data nasional, sistem pelaporan berbasis cloud, hingga dashboard transparansi publik. Teknologi bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan mendesak untuk menjaga kepercayaan masyarakat yang semakin kritis.

Lebih jauh lagi, riset juga mendorong agar kajian akuntabilitas diperluas, tidak hanya berfokus kepada muzakki, tetapi juga terhadap mustahik sebagai penerima manfaat. Suara mereka menjadi penting, untuk memastikan program zakat benar-benar berdampak.
Pada akhirnya, mengelola zakat bukanlah sekadar mengumpulkan dan menyalurkan dana — melainkan merawat amanah publik. Karena itu, akuntabilitas harus menjadi prinsip utama, bukan hanya prosedur administratif. Riset terbaru tersebut juga memberikan sinyal kuat bahwa dunia zakat perlu berbenah.
Di era digital, transparansi bukan lagi tuntutan tambahan. Ia adalah syarat mutlak untuk membangun kepercayaan, memperkuat legitimasi, dan memastikan dana umat dikelola dengan cara yang paling amanah. Jika lembaga zakat mampu menjawab tantangan tersebut, maka potensi zakat yang begitu besar dapat benar-benar menjadi kekuatan untuk pemberdayaan ekonomi umat.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!

