Di kota, terlalu mudah menemukan tumpukan sampah. Di jalan raya, apalagi di dekat pasar, sampah menjadi realitas yang seakan menyatu dengan lanskap kota. Tentu, tak pernah ada ahli tata kota yang menyengaja merancang bentuk kota yang dilengkapi dengan tebaran sampah. Tetapi sampah selalu hadir di wajah kota-kota di Indonesia. Entah, apakah ia menjadi pemanis wajah layaknya tahi lalat, ataukah jadi jerawat yang mengusik keindahan? Jika ia menjadi jerawat yang mengusik wajah dan kesehatan kota, mengapa pula kita warga kota harus “berlomba-lomba” memperbanyak sampah?
Aku tak mengajak lebih jauh bicara sampah secara makro. Biarlah itu tetap menjadi Tupoksi Dinas Kebersihan dan Tata Kota. Aku hanya ingin mengajak untuk sejenak menyimak kembali polah diri yang suka kebersihan namun “istiqomah” menjadi produsen sampah.
Jika kebersihan adalah indikator dari keberimanan, jika Islam didirikan di atas kebersihan, jika bersuci menjadi ibadah yang sangat dianjurkan, lantas apa status sampah dalam kaitannya dengan iman kita? Apakah sebagian dari kita, yang masih aktif sebagai produsen sampah, termasuk tidak menjaga indikator keimanan dan tegaknya Islam?
Perlu dibatasi dulu, sampah yang dimaksud di sini adalah sampah yang tidak ditempatkan secara benar. Mungkin keberadaan sampah ini dapat dijadikan sebagai alat ukur, meteran bagi tinggi-rendah, atau panjang-pendeknya iman kita. Bahkan mungkin cermin untuk mematut-matut keberimanan kita kepada Allah azza wa jalla.
Kanjeng Nabi Muhammad Saw bahkan memberi arahan yang lebih serius, sebagaimana sabda beliau: "Dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: Sesungguhnya Allah SWT itu suci yang menyukai hal-hal yang suci, Dia Maha Bersih yang menyukai kebersihan, Dia Maha Mulia yang menyukai kemuliaan, Dia Maha Indah yang menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah tempat-tempatmu." (HR Tirmidzi).
Ada kata-kata kunci yang saling bertaut di sana. Yaitu suci, bersih, mulia, dan Indah. Semuanya dikaitkan langsung dengan Allah. Itu menunjukkan, betapa 4 konsep ini amat penting dalam ajaran Islam. Tentu agar diamalkan oleh mereka yang mengakui Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Ya, aku dan kamu sebagai muslim!
Ironisnya, setiap kali mendengar kumandang adzan, muslim bergegas-gegas memenuhi panggilan Allah untuk sholat sambil tanpa merasa berdosa membuang sampah sembarangan; minimal asap dan puntung rokok. Seringnya, dengan mengenakan busana ibadah yang lengkap, sarung, baju koko, peci, dan tasbih di kantung baju, tangan kanan menenteng tas plastik penuh berisi sampah lalu melemparkan tas itu ke kali di pinggir jalan sembari melangkah menuju masjid.
Bergegas menjalankan perintah Allah sekaligus menentang larangan Allah. Sholat diperintahkan oleh Allah dan buang sampah sembarangan dilarang oleh Allah.
Mungkin dosa membuang sampah tak sebesar dosa meninggalkan sholat. Namun sikap sembarangan membuang sampah secara kolektif dan dilakukan secara konsisten dalam jangka waktu yang panjang akan melahirkan kekejian, berupa lingkungan yang tidak sehat dan ancaman bahaya banjir. Sesuatu yang justru menjadi salah satu agenda serius disyariatkannya ibadah sholat, mencegah munculnya kekejian dan kemungkaran.
Sampah yang masih banyak bertebaran tidak pada tempatnya juga mengkonfirmasi betapa bebalnya kita. Telah diajarkan sedemikian rupa; sebelum sholat kudu bersuci dulu. Wudhu. Lima kali sholat, lima kali wudhu. Tetapi pesan kebersihan dari syariat wudhu tidak terkoneksi dengan cara hidup bersih secara luas. Aneh, justru kita memilih jalan minimalis; cukup pakaian dan sajadah saja yang bersih! Dan bodo amat dengan sampah.
Jika di rumahmu banyak sampah bertebaran, jika di lingkunganmu banyak sampah berserakan, jadikanlah ia alat ukur dan cermin bagi klaim keimananmu kepada Allah SWT. Tentu saja kau paham, bagaimana menggunakan sampah sebagai alat ukur. Sesungguhnya sampah dan kotor berbanding terbalik dengan suci dan bersih.
Pantaskah ahli sholat buang sampah sembarangan?
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!