Bicara tentang masa lalu kadang kala memang mengasyikkan. Jika ia masa lalu yang indah, ia laksana pemandangan hutan yang belum terjamah oleh tangan-tangan. Ia penuh pesona meski pun belum disulap menjadi taman. Ia masih asli. Justru keaslian itulah yang senantiasa menggerakkan setiap jiwa yang haus akan keindahan untuk bergegas menapak menelusur, ingin lagi kembali kepada hutan.
Namun, jika masa lalu tidak menawan, ia ibarat bangkai menjijikkan. Semua membenci dia karena selalu merusak setiap suasana nyaman. Kadang tak perlu melihatnya, namun hidung selalu mampu mencium aroma kebusukan. Setiap saat.
Ya, memang ada masa lalu yang layak untuk dikenang, namun tak sedikit pula yang layak untuk dibuang. Saat ia perlu untuk dikenang, hal itu disebabkan ia mampu melecutkan kembali semangat untuk tidak melupakan keaslian bentuk hutan meski kini telah berubah menjadi sebuah taman. Dan saat ia perlu untuk dibuang, itu karena sudah tak layak untuk dijadikan kenangan.
Apa jadinya jika setiap saat seseorang selalu melihat ke belakang, seumpama makhluk bernama undur-undur yang selalu berjalan mundur? Sejatinya, ia adalah makhluk Allah yang diciptakan untuk beribadah, dan beribadah tak kenal jalan mundur. Meski suatu saat ia perlu mundur, tetapi tidak pada setiap saatnya. Shalat tidak mengenal mundur, puasa tidak mengenal mundur, bahkan jihad pun tak kenal mundur. Itulah yang diisyaratkan dalam Al Qur’an saat Allah SWT berfirman,
Maka berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan. – QS. Al Baqarah: 148.
Tidak ada perlombaan yang pesertanya harus mundur. Karena mundur berarti kembali ke masa tanpa perlombaan. Sedangkan pahlawan surga haruslah seseorang yang ikut dalam perlombaan. Bukankah itu yang dikatakan oleh Allah dalam QS. Al Mulk ayat 2?
Dialah Zat Yang Menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian semua, manakah yang paling baik amalnya. – QS. Al Mulk:2.
Tidak mungkin seseorang menjadi juara dan meraih amalan terbaik tanpa ikut perlombaan. Tetapi, pahlawan surga juga perlu sesekali melihat kebelakang. Melihat ke belakang, tak perlu mundur. Cukup mengurangi kecepatan. Atau berhenti sejenak untuk evaluasi dan selanjutnya ia bergerak maju kembali.
Ibarat pengendara handal sebuah mobil dalam sebuah perlombaan. Ia harus pastikan bahwa kaca depan mobilnya harus besar dan proporsional, sedangkan kaca spionnya cukup dengan ukuran kecil saja. Ia tak perlu kaca spion berukuran besar untuk melihat peserta lainnya. Apalagi jika ukurannya lebih besar dari kaca depan. Ia hanya sesekali melihat ke belakang melalui spion kecil sekiranya ada hal-hal penting yang harus dilakukan.
Oleh karena itu, apa jadinya saat seorang pengendara selalu melihat ke belakang, apalagi memasang kaca spion yang sangat besar agar selalu dapat melihat apa yang dilakukan oleh peserta lainnya? Maka jadilah ia seorang pengendara yang sibuk dengan urusan belakang.
Selain sibuk urusan belakang, ada hal lain yang kadang kala menyita waktu, tenaga, dan pikiran seorang pengendara dalam perlombaan. Saat beberapa peserta yang lain berpacu dengan kecepatan yang sama, atau malah mampu melewatinya, ia mulai merasa goyah. Selanjutnya, kadang ia mulai sibuk berusaha membuat mereka menyingkir, atau bahkan tak bisa melanjutkan lomba. Pada akhirnya, ia adalah seorang pengendara yang super sibuk, namun pada urusan yang tak perlu.
Alangkah rugi seseorang yang selalu terpaku pada masa lalu. Ia akan susah menjadikan dirinya maju, apalagi mampu untuk berpacu. Bukankah berdosa jika kita mengungkit masa lalu Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu saat beliau masih jahiliyah?
Tentunya kita memang tak sekelas Umar bin Khaththab dalam hal kebaikan, namun juga tak layak menutup mata dari sedikit kebaikan yang telah kita lakukan. Coba kita simak ungkapan luar biasa dalam Al Qur’an, saat Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Sungguh kebaikan-kebaikan itu akan senantiasa menghapus kesalahan-kesalahan. – QS. Hud:114.
Dan bahkan pada puncaknya, seorang mukmin pendosa pun akan Allah masukkan ke dalam surga-NYA melalui delapan pintu yang ia suka, saat ia berperang fi sabilillah lalu terbunuh karenanya. Itulah yang diungkapkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Sesungguhnya pedang itu penghapus dosa-dosa.” 1 – (Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 17204).
Akhirnya, tidak ada alasan bagi kita untuk mengusik kembali masa lalu orang lain yang tak indah. Sebagaimana kita juga tak perlu memasang cermin besar untuk menyibukkan diri dan menghabiskan waktu demi melihat ke belakang.
Mengubah hutan menjadi sebuah taman, lalu merawatnya dari kerusakan, akan jauh lebih bermanfaat daripada mengubah taman agar kembali menjadi hutan.
Referensi:
1. Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (17204), Imam Ad-Darimy dalam Sunannya (2411), dan Imam At-Thabrani dalam al-Mu’jam (310) semuanya melalui jalur Shafwan bin Amr dari Abul Mutsanna Al-Amluki dari sahabat Utbah bin Abd As-Sulamy.
Imam Al-Haitsami dalam Majma’ mengatakan bahwa perawi dalam riwayat Imam Ahmad semuanya adalah perawi yang dipakai dalam As-Shahih, kecuali Abul Mutsanna, akan tetapi ia perawi tsiqah.
Dalam tahqiqnya di kitab Zadul ma’ad, Al-Arna’uth mengatakan bahwa hadits riwayat Imam Ahmad dan Ad-Darimy statusnya hasan dan dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban. (Zadul Ma’ad 3/94, Mu’assasah Ar-Risalah-Beirut, cet. 1410 H-1990 M.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!