Kadang kita terlalu percaya
Bahwa orang-orang yang datang untuk menemani hari-hari kita sekarang,
akan selalu ada juga di masa depan.
Kita terlalu nyaman.
Terlalu yakin.
Sampai lupa bahwa tak semua bentuk kehilangan itu datang dengan perpisahan yang dramatis.
Kadang ia datang diam-diam,
lewat perasaan asing yang perlahan tumbuh di antara dua orang yang dulu saling tahu..
Dan ketika itu terjadi, rasanya seperti patah hati ...
Tetapi dalam versi yang lebih sunyi, sepi, dan menyakitkan.
Ternyata benar ungkapan yang bilang,
"Patah hati karena rusaknya hubungan persahabatan itu
rasanya jauh lebih sakit daripada patah hati karena putus cinta."
Yang dulu terasa berat, bisa menjadi lebih ringan karena ada yang menemani.
Hari-hari penuh beban bisa dilalui dengan senyum, karena ada seseorang yang berjalan di sisi.
Hal-hal sulit jadi terasa lebih mudah selama dijalani berdua.
Bahkan kejadian-kejadian kecil yang biasanya menjengkelkan,
tetap bisa terasa menyenangkan, asal dihadapi bersama.
Namun kini, semua tak lagi sama.
Tak ada lagi sosok yang bisa diajak berbagi tawa dan memeluk duka.
Sudah tak ada lagi tempat untuk bersandar ketika dunia terasa terlalu gaduh.
Sejak hari itu, segalanya berubah.
Mungkin, menjalani hari akan terasa lebih sunyi.
Mungkin, langkah ke depan juga akan terasa lebih berat.
Rasanya seperti kehilangan rumah.
Tempat paling nyaman buat cerita, buat jadi diri sendiri, buat bersama melewati hari-hari paling random sampai paling berat.
Yang dulu selalu ada di ujung chat atau panggilan, sekarang ... tiba-tiba asing.
Jauh.
Dan kita cuma bisa memeluk kenangan-kenangan yang tak bisa diulang lagi.
Kali ini, memang salahku.
Tetapi, tentu aku juga merasakan sakitnya.
Sebab, aku telah menjadi peran antagonis tanpa kusadari.
Tanpa sadar pula, aku telah menorehkan luka yang begitu dalam di hatinya.
Membuat ia terluka dan sakit hati luar biasa.
Setelah ia pergi, baru aku sadar, selama ini aku memang terlalu egois.
Aku sadar, selama ini, aku telah menyia-nyiakan orang sebaik dia.
Kukira, semua akan selalu baik-baik saja.
Kukira, pertemanan ini akan terus terasa manis dan istimewa,
walau berbagai badai dan perselisihan datang menyapa.
Tetapi ternyata, yang dekat juga bisa menjauh, yang hangat bisa dingin.
Dan yang dulu jadi “rumah”, sekarang cuma nama yang bisa kita sebut diam-diam dalam doa.
Pada akhirnya...
kita cuma bisa terima bahwa tak semua hal bisa kita jaga.
Kita tak bisa memaksa semua orang untuk tetap tinggal.
Kita juga tak bisa mengatur hati manusia untuk terus berlabuh di tempat yang sama.
Dan kita tak bisa pula menahan semua hal yang memang sudah waktunya berubah arah.
Kadang, kehilangan memang datang tanpa bisa ditolak.
Sebagian karena salah paham, sebagian karena waktu,
dan sebagian lagi... karena memang sudah jalannya begitu.
Manusia cuma bisa berusaha dan mendoakan,
sisanya urusan takdir.
Kita cuma bisa belajar ikhlas dan melepas.
Dan kehilangan, sesakit apa pun,
adalah bagian dari hidup yang harus dilewati, bukan disangkal.
Semoga kalau rindu datang lagi,
aku maupun dia, cukup kuat untuk tak larut,
dan cukup lapang untuk tetap mendoakan diam-diam.
Sebab sesaknya tak lagi bisa diredam,
mengendap seperti luka dalam yang tak kunjung padam,
mengiris perlahan tanpa ragu, meninggalkan jejak di relung kalbu.
Dan begitulah hidup meramu waktu:
Mengajari cara untuk merelakan satu per satu,
meski hati tak pernah betul-betul mampu
menerima yang sebiru sembilu.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!