Maraknya perkembangan media sosial memunculkan pertanyaan tentang perbedaan media jurnalistik, media massa, dan media sosial. Muncul pula pandangan tentang pentingnya diterapkan pengawasan terhadap platform media sosial. Poin-poin itu mengemuka dalam seminar nasional bertajuk “Keterbukaan Informasi Publik dan Demokratisasi Media Penyiaran di Indonesia”, di Auditorium Harun Nasution, UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Kamis (11/7/2024).
Seminar yang diselenggarakan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bersama Komisi Informasi Jakarta dan Komisi Penyiaran Indonesia itu dihadiri sivitas akademika UIN Jakarta. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Asep Saepudin Jahar, pun hadir menyampaikan sambutan. Sambutan juga disampaikan Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (FIDKOM) UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto, dan Ketua Komisi Informasi DKI Jakarta, Harry Ara Hutabarat.
Seminar tersebut menjadi ajang diskusi yang penting, dalam rangka mendorong regulasi yang lebih baik terhadap media penyiaran di Indonesia. Selain itu, juga untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya keterbukaan informasi publik dan demokratisasi media penyiaran.
Di kesempatan itu, Prof. Dr. Masduki dari Komite Nasional Reformasi Penyiaran, menyampaikan pandangan dia tentang perbedaan antara media jurnalistik, media massa, dan media sosial. Menurut dia, sampai hari ini masyarakat belum bisa membedakan media jurnalistik dan media massa. Juga tentang apa itu media sosial.
“Dan kalau kita bisa membedakan, maka ini residu regulasinya juga berbeda. Nggak bisa dicampur. Jadi, media jurnalistik yang diatur oleh self-regulatory process. Dan kita punya best practice Undang-Undang Pers. Yang diatur di situ apa? Kohersif. Dewan Pers juga masalah. Nggak bisa mengatur konersif. Karena ada konflik kepentingan. (sebab) Anggota Dewan Pers diutus oleh konstituen, di antaranya adalah pemilik media. Jadi mereka hanya bisa sedikit mengatur konten di hilir. Mereka hanya ‘complain center’, mengatur orang komplain tentang etik, dilayani, selesai. Tetapi kepalanya nggak bisa diatur, yaitu pemiliknya itu,” tuturnya.
Baca juga: FKMBP Harus Jadi Wadah Promotor Gerakan Mahasiswa Indonesia Dukung Palestina Merdeka
Prof. Masduki menambahkan, “Media massa itu kan ada klusternya, yang bukan media sosial. Yang bukan media jurnalistik. Itu yang memproduksi konten-konten hiburan, budaya. Nah, ruang ini seharusnya yang diurus oleh KPI. Yang kita tahu, media massa ini kan termasuk konten kreator itu, lho,” tegasnya.
Masduki juga menekankan pentingnya pengawasan terhadap platform media sosial. Platform media sosial juga perlu dibina. Karena itu, perlu ada aturan yang jelas terkait platform media sosial.
“Platform atau pemilik akunnya. Platform harus dibina, memperkuat moderasi konten, agar konten-konten di medsos itu tidak menayangkan terorisme, pornografi, atau tidak boleh consumer good, ada political good di media sosial. Konten kreatornya nggak usah diatur atau dimarahi. Yang dimarahi adalah platform-nya. Mari kita bikin UU yang mengatur tata kelola platform-nya,” jelasnya.
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Bidang Kelembagaan, Evri Rizqi Monarsih, juga menyampaikan pentingnya revisi Undang-Undang Penyiaran. “Dari 270 juta penduduk di Indonesia, pengguna gadget pribadi lebih dari 126%. Artinya, 1 orang bisa punya 2-3 gadget. Luar biasa, ya? Kemudian, yang perlu untuk diwaspadai adalah, mengapa revisi undang-undang penyiaran harus kita dorong? Karena belum adanya pengawasan terhadap OTT. Konten-konten di OTT tersebut. Tadi ada beberapa yang digarisbawahi, antara lain mengapa kemudian baru sekarang menjadi ramai? Karena mungkin tidak ada keinginan bersama untuk kemudian mendudukkan Undang-Undang 32 ini agar pada posisinya,” urainya.
Evri juga menyoroti pentingnya pengawasan terhadap konten OTT. “Siapa yang kemudian mengetahui apakah konten di dalamnya sudah melalui proses yang benar dan rigid? Misalnya, ada salah satu – bukan sinetron, ya – seperti series. Katakan saja ‘Open BO’ (judul salah satu film layar lebar Indonesia, red), mohon maaf saya sebutkan. Apakah itu memang hal yang harus ditonton oleh masyarakat Indonesia, terutama anak-anak kita? Dari sisi judulnya saja sudah sangat kontroversi, kalau menurut saya,” tuturnya.
“Mengapa harus bergerakan kita mendorong revisi undang-undang penyiaran? Karena untuk sementara, kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia kami sangat terbatas pada frekuensi publik. Jadi, pada media konvensional yang ada di frekuensi publik, masih kepada televisi dan radio,” tutup Evri.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!