Dua pekan sudah pasangan Anies-Muhaimin(AMIN) dideklarasikan sebagai Capres/Cawapres Koalisi Perubahan untuk Persatuan(KPP). Partai Demokrat yang merasa dikhianati, tegas menyatakan keluar dari KPP. Namun, sikap anggota KPP yang lain, yakni PKS, masih belum terang benderang. Yang nongol baru "hilal" yang memberi tanda tetap mendukung pasangan AMIN. Hal itu bisa dilihat dari pernyataan sejumlah petinggi PKS maupun penyambutan AMIN serta fungsionaris PKB dan Nasdem saat bertandang ke PKS. Presiden PKS, Ahmad Syaikhu, dan sejumlah pentolan PKS menerima hangat kunjungan tersebut. Bahkan, mereka bersama menyanyikan "Ya lal Wathon", lagu khas kaum Nahdhiyin ciptaan K.H Abdul Wahab Hasbullah.
Namun, semua itu masih belum pasti, lantaran pada saat yang sama tidak ada pimpinan atau utusan partai oranye itu yang menghadiri deklarasi AMIN di Surabaya maupun saat pembentukan tim pemenangan AMIN di Jakarta. Kepastian itu masih menunggu musyawarah Majelis Syura, sebagai lembaga tertinggi di PKS, yang rencananya baru akan menggelar rapat pada Jum'at, 15 September 2023 ini. Bagaimana kelak hasil musyawarahnya? Menarik ditunggu, apakah partai anak muda (saat didirikan tahun 1998) yang kini semakin beranjak sepuh itu akan tetap mendukung AMIN, atau memilih opsi lain. Meski pun harus diakui, opsi lain itu sangat kecil.
Memilih keluar dari KPP lalu berlabuh mendukung Ganjar jelas musykil. Bukan saja bakal mendapat resistensi keras dari anggota dan konstituennya, tetapi juga karena keengganan dari PDIP. Sekjen PDIP, Hasto Kristianto, pernah menyatakan dengan tegas, partainya siap berkoalisi dengan partai manapun kecuali PKS. Bergandengan dengan KIM yang mengusung Prabowo sebagai Capres, juga terlalu sulit. Bukan saja lantaran kekecewaan mendalam yang dipendam, juga kehadiran PKS di KIM hanya sekadar jadi pelengkap. Selain Gerindra, di situ juga sudah berhimpun Golkar, PAN, Gelora, dan mungkin juga Demokrat. Golkar dan PAN sudah punya jago masing-masing untuk mendampingi Prabowo sebagai Cawapres.
Membangun poros baru bersama Demokrat dan juga PPP, seperti pernah digagas Sandiaga Uno, rasanya juga utopia. Sandy sendiri yang semula getol menyuarakan hal itu, belakangan malah menyatakan PPP tetap berkoalisi dengan PDIP. Andaipun PPP berani keluar dari koalisinya, tidak mudah pula mengajak Demokrat bergabung. Jika Demokrat mau bergabung, sudah dapat ditebak akan mengajukan AHY sebagai Capres/Cawapres. Di sisi lain, ambisi Sandy jadi cawapres juga tak dapat dibendung. Akankah PKS mau berpayah-payah membangun poros baru yang bukan saja tidak membuka ruang bagi kadernya sebagai Capres/Cawapres, tetapi juga diperkirakan akan sulit menang.
Dari berbagai kemungkinan di atas, tampaknya PKS tidak punya pilihan lain selain tetap mendukung AMIN. Karena jika PKS nekad tidak mencalonkan pasangan manapun, tentu akan mengecewakan 11,49 juta lebih pemilihnya. Karena salah satu fungsi dan tugas parpol adalah mencalonkan presiden/wakil presiden yang akan menjadi pemimpin bangsa. Belum lagi ancaman tereliminasi pada pemilu berikutnya.
Pasal 235 ayat 5 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berbunyi:
"Dalam hal partai politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi syarat mengajukan Pasangan Calon tidak mengajukan bakal Pasangan Calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya."
Jika Majelis Syura PKS akhirnya memutuskan tetap mendukung AMIN, ada baiknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, PKS harus siap menerima pergeseran posisinya di KPP, dari inti menjadi hanya sekadar pelengkap. Drama penetapan AMIN sebagai Capres dan Cawapres yang secepat kilat oleh Surya Paloh (SP) dan Anies, pada selasa malam, 29 Agustus 2023 lalu, tanpa memberitahu apalagi berkonsultasi dengan pimpinan PKS – juga Demokrat – adalah indikator yang sulit dibantah. Padahal, KPP – saat itu – sudah membentuk tim delapan yang terdiri dari dua orang mewakili sang Capres Anies, dan masing-masing dua orang dari Nasdem, Demokrat, dan PKS. Selama tujuh bulan, mereka ini entah sudah berapa puluh kali rapat/kumpul/ngobrol - apapun namanya - membahas ABCD KPP.
Bahkan, hanya beberapa hari jelang munculnya drama itu, Anies secara berturut-turut bertemu dengan SP, SBY, dan SS (Salim Segaf), tiga orang paling menentukan di partai masing-masing. Tentu saja di mata publik pertemuan maraton ini dipandang sebagai tanda-tanda bakal segera dideklarasikannya pasangan Anies-AHY. Namun kenyataan tak sesuai harapan.
Fakta bahwa KPP dibangun di atas piagam yang ditandatangani bersama berdasarkan kesetaraan, kebersamaan, dan musyawarah, serta lamanya perjalanan, tidak sepatutnya SP - diamini Anies - mengambil keputusan sendiri tanpa bicara dengan mitra koalisi. Jika pun musyawarah dianggap musykil karena tanda-tanda deadlock sudah nampak, setidaknya keputusan itu bisa disampaikan sejak pertama by phone.
Mungkin hal itu sulit bagi SP. Hubungannya dengan SS ataupun Presiden PKS, Syaikhu, yang boleh jadi belum akrab bisa jadi kendala. Adapun dengan SBY, SP punya story sendiri di masa lalu. Namanya pernah masuk radar kasus BLBI, saat Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu menjadi Presiden RI.
Namun, hal itu mestinya tidak terjadi pada Anies. Ia punya hubungan baik dan mesra dengan para petinggi PKS, sejak pilgub DKI Jakarta 2017 lalu. PKS rela melepas jatahnya sebagai Cawagub mendampingi Sandiaga Uno, karena masuknya Anies. Padahal, sang jagoan Mardani Ali Sera sudah sowan dan minta doa restu kepada banyak tokoh. Kita semua tahu, akhirnya Sandy turun jadi Cawagub berpasangan dengan Anies yang menerobos jadi Cagub. Dan saat Anies jadi Gubernur, PKS konsisten menjadi pembela kebijakan Anies.
Dengan hubungan yang sedekat itu, JIKA MAU - sekali lagi jika mau - tak sulit bagi Anies untuk menemui dan bermusyawarah - setidaknya memberitahu - SS atau mungkin Ahmad Syaikhu, ihwal perubahan keputusan yang mendadak itu, pada menit atau jam pertama. Jika pun tidak mungkin secara offline, bisa secara online. Nyatanya, seperti disayangkan Sekjen PKS, Aboe Bakar, dan petinggi PKS lain, hal itu tak dilakukan.
Hal yang sama juga terjadi pada Demokrat. Hubungan Anies dengan AHY sepanjang bersama dalam KPP relatif baik dan dekat. Bahkan kabarnya, keduanya biasa bertemu atau bertelepon panjang, kapan saja. Bisa pagi, siang, sore, atau malam. Namun, lagi-lagi hal amat penting itu terlambat disampaikan. Ujungnya, Demokrat merasa dikhianati dan hengkang dari KPP.
Ada dua kemungkinan mengapa PKS - juga demokrat - seperti "tidak dianggap" dalam memutuskan pasangan AMIN. Pertama, gabungan kursi Nasdem (59) dan PKB (58) di DPR sebanyak 117 kursi, sudah cukup untuk mengusung pasangan Capres/Cawapres. Batas minimalnya Presidential Threshold (PT) adalah 115 kursi DPR.
Kedua, ideologi PKS yang tidak mungkin bergeser ke koalisi PDIP dan secara psikologis sulit bergabung ke KIM. Sehingga, apapun yang terjadi, PKS suka atau terpaksa tetap di KPP. Bukan saja karena Majelis Syura sudah menetapkan Anies sebagai Bacapres, tetapi juga arus bawah PKS sudah gegap gempita mendukung Anies.
Apapun alasannya, fakta PKS di-fait accompli sudah nampak jelas. Kini tinggal bagaimana para petinggi partai yang sudah semakin tua itu ligat dan cerdas mengambil langkah. Argumen harus tetap mendukung AMIN demi maslahat bangsa dan umat, boleh jadi akan dipakai sebagai dalil (dalih?) untuk legitimasi. Namun, marwah partai juga harusnya tetap dijaga. Tentu bukan karena ta'ashub atau fanatisme buta, tetapi lantaran PKS sejak awal mengidentifikasi dirinya partai Islam. Sementara pemilihnya pun boleh jadi memilih karena alasan yang sama. Selain karena alasan ideologis, para pemlihnya pasti punya harapan besar partai mampu mewujudkan apa yang mereka cita-citakan. Pertanyaannya: Bagaimana mungkin mampu mewujudkan harapan itu tanpa marwah?
Lepas apapun hasilnya, kita harus tetap yakin semua yang terjadi pasti atas izin Allah. Jangankan peristiwa politik yang besar pengaruhnya kepada kehidupan rakyat, bahkan selembar daun yang jatuh di malam gelap pun pasti dalam kuasa Allah. Kita tetap harus percaya pada kebaikan dan rahmat Allah, betapun mustahilnya menurut nalar kita.
Kisah Nabi Zakaria dan Nabi Yahya alaihimasalam serta Ibu Maryam yang Allah ceritakan dalam Al Qur'an surat Maryam, patut direnungkan. Berpuluh tahun Nabi Zakaria berdoa minta seorang penerus belum Allah kabulkan. Namun, ketika usianya sudah teramat sepuh, tulangnya sudah rapuh, kepalanya telah rimbun dengan uban dan istrinya pun mandul, di saat itu istrinya hamil dan melahirkan Yahya. Begitu juga Ibu Maryam. Perawan suci dan sholehah yang tak pernah disentuh laki-laki,melahirkan Isa alaihissalam. Tak ada yang mustahil bagi Allah, betapapun nalar kita tak mampu mencernanya.
Kita berharap realitas politik hari ini menjadi awal bagi terjalinnya ukhuwah Islamiyah dan persatuan umat Islam, untuk membangun negara yang Berkeadilan, Beradab dan Sejahtera. Jika di masa Orba partai Islam dipaksa bersatu dalam PPP karena keharusan fusi, saat ini semoga kembali terjalin kembali. Awalnya boleh jadi lantaran dorongan syahwat kekuasaan, mudah-mudahan ke depannya didorong oleh kebutuhan dan kesadaran.
Meneropong hiruk-pikuk politik saat ini, penulis jadi teringat hadits Nabi SAW dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, “Sesungguhnya Allah akan membantu/menolong agama ini melalui/dengan seorang Fajir(Pendosa)”.
Lalu siapakah laki-laki fajir itu?
Wallahu a'lam bishawwab.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!