Siti Raham dan Ketegaran Seorang Ibu

Siti Raham dan Ketegaran Seorang Ibu
Siti Raham isteri dari Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) / Sabili.id

Siti Raham binti Rasul Endah Sutan lahir tahun 1914 sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Pada 15 April 1929, Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) menikahi Siti Raham. Waktu itu Siti Raham masih berusia 15 tahun, sedangkan usia Hamka adalah 21 tahun.

Di dalam keluarga, Siti Raham dipanggil Ummi, sedangkan Siti Raham memanggil Hamka sebagai Angku Haji. Rumah tangga Buya Hamka dan Siti Raham dikaruniai 10 anak yang hidup hingga dewasa. Sedangkan dua anak meninggal saat masih kecil, dan dua anak gugur dalam kandungan.

Selama 52 tahun pernikahan mereka, Siti Raham terus mendampingi Hamka sejak di Padang Panjang, di Makassar (3 tahun), Medan (11 tahun), dan Jakarta (22 tahun). Selama mendampingi Buya Hamka, Siti Raham menunjukkan ketegaran dan menjadi pembangkit semangat yang utama buat suaminya. Terutama ketika mereka mengalami kondisi berat karena kesulitan ekonomi. Maka, tak salah jika ada yang mengatakan, ulama besar itu tak salah memilih Siti Raham sebagai pendamping hidupnya, karena sang istri senantiasa memberikan motivasi yang sangat kuat buat Buya Hamka.

Pernah terjadi, mereka sekeluarga harus bergantian untuk shalat, karena di rumah mereka hanya ada sehelai kain sarung. Namun, kesulitan ekonomi yang kerap melanda rumah tangga Buya Hamka dan Siti Raham tak membuat cinta di antara mereka goyah. Siti Raham tetap tegar kendati harus mengarungi hidup dalam kondisi yang kekurangan secara ekonomi.

Setelah tiga tahun tinggal di Makassar, tahun 1935 Hamka sekeluarga kembali ke Sumatera. Tepatnya di Medan. Buya Hamka bukanlah pedagang atau karyawan. Ia menyandarkan penghasilan semata-mata dari honor menulis. Buya Hamka memang dikenal penulis dan pujangga besar. Selain menulis artikel, Hamka juga menerbitkan buku. Karir Hamka sebagai wartawan melesat ketika tahun 1936 diminta mengurusi majalah “Pedoman Masyarakat” di Medan.

Baca juga: Buya Hamka, Ulama Autodidak dengan Banyak Jejak

Siti Raham juga mendampingi Hamka melahirkan karya-karya fenomenal. Hamka memang juga dikenal sebagai sastrawan yang melahirkan novel monumental, yaitu “Di Bawah Lindungan Ka’bah” (1938), “Merantau ke Deli” (1939), dan “Tenggelamnya Kapal van der Wijck” (1939).

Selain aktivitas menulis artikel dan menerbitkan buku, Hamka juga dikenal sebagai aktivis organisasi Muhammadiyah. Ia juga aktif mengajar dan berdakwah dalam pengajian di mana-mana. Namun, setelah 11 tahun tinggal di Medan, ada sebuah peristiwa yang membuat Buya Hamka menjadi murung dan kerap gelisah. Ketika itu, ia menjadi korban fitnah di Medan. Buya Hamka lantas “dilengserkan” sebagai Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Timur. Kala itu, Siti Raham menyaksikan suaminya sering melamun.

“Tak ada gunanya Angku Haji termenung seperti ini berlarut-larut. Jangan dengarkan kata orang yang tengah marah. Sebelum kita jadi gila memikirkannya, mari kita bawa anak-anak,” tuturnya.

Diterpa Kesulitan Ekonomi

Pasca peristiwa itu, Siti Raham mendampingi Buya Hamka kembali ke kampung halaman di Padang Panjang. Ummi (Siti Raham) dengan tegar melelang barang-barangnya yang tak memungkinkan dibawa ke kampung dan mengurus kendaraan untuk membawa mereka kembali ke Padang Panjang.

Di Padang Panjang, kondisi ekonomi keluarga juga tak menentu. Sebab, Hamka tak punya penghasilan tetap. Profesinya di Padang Panjang adalah juru tabligh dengan penghasilan yang tak seberapa. Namun, Siti Raham tak pernah berpikir untuk meninggalkan Buya Hamka walau sering dilingkupi kondisi yang memprihatinkan. Sebaliknya, ia turut andil membantu dengan menjual harta-harta yang tersimpan olehnya demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Ummi menjual harta benda simpanannya yang dibawa dari Medan. Ia jual kalung, gelang emas, dan kain-kain batik halus yang ia beli di Medan sewaktu Buya Hamka masih menjadi hoofdredakteurPedoman Masyarakat” dengan harga di bawah pasar, semata-mata guna membeli beras atau untuk membayar uang sekolah anak-anak. Dengan cara itu, anak-anak mereka tidak pernah kelaparan.

Baca juga: KH Ahmad Dahlan Sang Pendidik

Buya Hamka tahu, Siti Raham selalu berusaha tabah kendati air mata sering menitik di pipinya ketika mengambil kain-kain simpanannya dari almari untuk dijual. Buya Hamka pun trenyuh. Suatu kali, Buya Hamka pernah menawarkan untuk menjual beberapa kain bugisnya agar dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun, Siti Raham melarang. Sebab, Siti Raham ingin menjaga martabat suaminya. Ia ingin Buya Hamka tidak terlihat sebagai orang miskin. Sikap itu menunjukkan betapa Siti Raham adalah seorang istri yang sangat amanah.

“Kain Angku Haji jangan dijual. Biar kain saya saja, karena Angku Haji sering ke luar rumah. Di luar, jangan sampai Angku Haji kelihatan sebagai fakir yang miskin,” katanya.

Di tahun 1948, Belanda yang melancarkan Agresi Militer Kedua berhasil menduduki Padang Panjang. Seluruh kampung dikepung pasukan Belanda. Ketika itu, Buya Hamka tengah bertugas sebagai juru penerangan rakyat. Sehingga, Hamka sering berkeliling daerah dan tak menjumpai keluarga hingga berminggu-minggu.

Sebagai ibu, Siti Raham harus bertahan mengurusi anak-anak. Kesulitan sudah tentu, karena Siti Raham sudah tak punya lagi barang yang bisa dijual. Para tetangga pun tak bisa banyak membantu. Sebab, semua orang sedang dalam kondisi susah. Maka, agar semua anak bisa makan, ia memasak beras hingga menjadi bubur. Semua anak bisa kebagian. Jika beras tak didapatkan, mereka makan ubi.

Pindah ke Jakarta

Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, keluarga Buya Hamka dan Siti Raham pindah ke Jakarta. Sejak Januari 1950 mereka tinggal di Jakarta. Di Jakarta, Buya Hamka menjadi pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama. Namun, tahun 1959 ada peraturan pemerintah bahwa pegawai negeri tidak boleh menyandang tugas pula di partai politik.

Di saat itu, ada kebimbangan di hati Buya Hamka yang aktif di Masyumi. Ia pun meminta pertimbangan sang istri. Siti Raham dengan mantap menjawab, “Jadi Hamka sajalah!”

Hati Hamka pun mantap. Sebab, ia tak melihat tanda-tanda kecemasan sedikit pun pada wajah Ummi. Padahal, yang pasti mereka akan kehilangan sekian ribu rupiah gaji serta beberapa liter beras yang setiap bulan mereka terima selama beberapa tahun bekerja sebagai pegawai negeri.

Baca juga: The Grand Old Man Haji Agus Salim

Sedangkan kepada anak-anaknya, Siti Raham mengatakan bahwa keadaan ekonomi Ayah mereka tidak begitu cerah di hari-hari mendatang. Maka Ummi berharap anak-anak tidak meminta yang tidak-tidak.

Di sisi lain, Siti Raham sangat menjaga kehormatan Buya Hamka. Setiap Buya Hamka ke luar rumah, ia memastikan pakaian yang dikenakan suaminya itu bersih dan tidak sembarangan. Kepada anak-anak, Siti Raham berpesan agar mereka menghormati tamu-tamu Ayah mereka. Sebab, sebagai ulama, Buya Hamka telah menjadi milik masyarakat.

“Kalau kalian lihat penyambutan mereka di daerah-daerah, kalian akan tahu betapa mereka menghormati Ayah seperti raja,” kata Siti Raham kepada anak-anaknya.

Suatu kali, Siti Raham mendampingi Buya Hamka melawat ke Makassar. Saat itu Siti Raham diminta berpidato di mimbar. Padahal, ia tak pernah naik mimbar sebelumnya. Namun, dengan percaya diri ia berpidato. Ternyata, pidatonya ketika itu disambut hadirin dengan riuh rendah. Bahkan, Buya Hamka pun menitikkan air mata karena terharu menyaksikan istrinya berpidato.

“Saya diminta berpidato, tetapi sebenarnya Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak sendiri memaklumi, bahwa saya tak pandai pidato. Saya bukan tukang pidato seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah mengurus tukang pidato, dengan memasakkan makanan hingga menjaga kesehatannya. Oleh karena itu, maafkan saya tidak bisa bicara lebih Panjang,” itu yang diucapkan Siti Raham.

Sosok Pendamping Sejati

Siti Raham berpulang ke Rahmatullah pada sekitar tahun 1972. Sebagai istri seorang tokoh besar, Siti Raham menampilkan diri sebagai sosok yang sabar dan senantiasa setia di samping Buya Hamka, apa pun kondisi mereka. Maka, tak berlebihan jika dikatakan, Siti Raham adalah sosok perempuan yang turut menjadikan Buya Hamka menjadi seorang manusia yang punya nama besar. Ia selalu menjadi tempat Buya Hamka pulang dan meminta pertimbangan.

Siti Raham juga adalah sosok yang selalu percaya kepada suaminya, Hamka. Hal ini tampak ketika Hamka difitnah. Sebagai istri, dirinya senantiasa berada di samping suaminya. Sebenarnya, ia juga memiliki kesempatan untuk punya peran yang sama, seperti pandangan Buya Hamka dalam salah satu bukunya yang berbicara tentang Perempuan, bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban dan tugas yang sama. Namun, ia berprinsip bahwa seorang perempuan harus taat kepada suami. Dan Siti Raham tetap menunjukkan peran yang juga cukup strategis walau memilih tidak terjun berdakwah di ranah publik melainkan hadir sebagai manajer rumah tangga dan pendidik utama bagi anak-anaknya.

Buya Hamka berpendapat, seorang istri yang baik selalu taat kepada suaminya, karena suami adalah sebagai pemimpin yang sudah seharusnya berkewajiban membimbing istri dan keluarganya. Siti Raham adalah personifikasi dari pendapat itu. Jadi, meski tak terjun secara langsung dalam kancah politik ataupun dakwah, Siti Raham berperan penting dalam karir dan hidup Buya Hamka. Ucapan-ucapan Siti Raham antara lain yang telah menguatkan hati Buya Hamka sebagai pejuang saat harus membuat keputusan.


Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.