Siapa yang tak bangga melihat parade dan defile Alutsista di Monas, Jakarta, 5 Oktober 2025 pagi? Presiden RI, Prabowo Subianto, didampingi Menteri Pertahanan, Syafrie Syamsudin, yang mengelilingi pasukan TNI dari semua matra, juga terlihat bangga menatap para prajuritnya dari atas Rantis militer. Presiden memberi penghormatan sembari mengucapkan, “Terima kasih atas pengabdian kalian”.
Di tengah kebanggaan pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI), bangsa ini dihadapkan pada sejumlah paradoks yang masih terselip di tubuh institusi TNI. Di satu sisi, TNI tetap menjadi institusi yang paling dipercaya publik; di sisi lain, muncul berbagai kasus pelanggaran disiplin dan hukum yang dilakukan oleh oknum prajurit. Mulai dari pembunuhan, tindakan kriminal, menganiaya warga sipil, hingga beking judi sabung ayam. Fenomena ini tentu saja menggores citra luhur TNI sebagai penjaga kedaulatan dan pelindung rakyat.
Momentum HUT TNI seharusnya bukan sekadar seremoni kemiliteran, melainkan ajang refleksi moral untuk kembali kepada ruh Sapta Marga. Refleksi ini penting demi terus meningkatkan kualitas prajurit dan institusi TNI.
Di umur bangsa yang baru menapaki usia 80 tahun, Indonesia memang boleh berbangga dengan kekuatan militernya. Sebuah lembaga pemeringkat kekuatan militer internasional yang bernama Global Firepower menempatkan Indonesia di rangking 13 negara dengan kekuatan militer terbesar di dunia. Amerika Serikat berada di urutan pertama, tetapi umur bangsa Amerika dihitung semenjak kemerdekaannya sudah menapaki usia 249 tahun. Jauh dengan umur NKRI!

Tetapi kebanggaan berlebihan kepada kekuatan fisik dan teknologi Alutsista berpeluang menjebak institusi dan prajurit TNI pada kepongahan dan lupa kepada jati diri dan tugas utamanya. Sedari lahirnya, TNI meyakini kekuatan tak semata bertumpu pada aspek fisik dan Alutsista. Sehingga, dalam Sapta Marga ada doktrin tentang nilai ke-Tuhanan, keadilan, serta kejujuran.
Doktrin tersebut tertuang dalam marga ke-3, “Kami Ksatria Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan”.
Rumusan Sapta Marga ini selaras dengan nilai-nilai dasar bangsa; Pancasila. Marga ke-3 itu bukan sekadar kalimat normatif, melainkan kompas moral dan spiritual yang membedakan prajurit TNI dari pasukan bersenjata mana pun di dunia. Ia mengandung tiga inti nilai, yaitu ketakwaan, kejujuran, dan keadilan. Ketiganya menjadi fondasi bagi lahirnya prajurit yang stabil, humanis, disiplin, dan cerdas secara spiritual.
Sejarah kelahiran dan perjuangan TNI memang tak bisa lepas dari keyakinan moral sebagaimana rumusan Marga ke-3. Bagaimana mungkin dengan bambu runcing kita bisa bertahan dari gempuran penjajah dengan alutsista paling canggih pada zamannya? Kenyataan inilah yang menjadi kesadaran batin para pendiri dan tokoh TNI, bahwa ada kekuatan iman yang juga amat menentukan spirit dan daya juang seorang prajurit sejati.

Keteladanan Soedirman: Tubuh Lemah, Jiwa Tak Terkalahkan
Di dalam konteks inilah, Jenderal Besar Soedirman layak dijadikan role model. Di tengah keterbatasan fisik akibat penyakit paru-paru, ia tetap memimpin perang gerilya melawan penjajah. Ketika tubuhnya rapuh, imannya menjadi perisai, dan ketakwaannya menjadi senjata paling ampuh.
Soedirman tidak hanya seorang panglima, tetapi juga seorang ulama pejuang. Ia menempatkan Tuhan sebagai komandan tertinggi dan hati nurani sebagai medan tempur yang sesungguhnya. Di dalam banyak kesempatan, ia menegaskan bahwa kekuatan prajurit bukan di senjata, melainkan di kemurnian niat dan keyakinan terhadap kebenaran.
Keteladanan inilah yang kini terasa kian langka. Di era modern yang serba pragmatis, sebagian prajurit mungkin tergoda oleh kekuasaan, uang, atau gaya hidup instan. Mereka lupa bahwa keperwiraan bukan sekadar pangkat dan seragam, melainkan amanah spiritual untuk membela yang lemah dan menegakkan keadilan.
Nah, maraknya pelanggaran oleh oknum TNI harus dilihat dari perspektif ini. Ia bukan semata persoalan hukum, tetapi ada masalah krisis spiritual dan degradasi moral!
Marga ke-3 memberi solusi yang relevan: Menumbuhkan kembali kecerdasan spiritual di dalam tubuh prajurit. Prajurit yang bertaqwa tidak akan mudah tergoda oleh suap atau kekerasan. Prajurit yang jujur tidak akan menggunakan kekuatan untuk menindas rakyat. Prajurit yang menegakkan keadilan akan menjadi pelindung, bukan ancaman.

Pada HUT TNI ke-80 ini, mari kita tengok ulang sosok Jenderal Soedirman, ikon keprajuritan yang mestinya bukan sekadar menjadi nama jalan atau patung di perempatan. Laki-laki kurus yang paru-parunya rusak itu tetap memimpin perang gerilya di tengah kondisi kesehatannya yang terus menurun. Di tengah hutan, sambil menggendong tabung oksigen, ia terus bergerak melawan penjajah. Bukan karena ambisi jabatan, tetapi karena satu hal: iman dan tanggung jawab moral.
Soedirman bukan cuma panglima. Dia adalah imam dalam arti sebenarnya. Ia berperang sambil berwudhu, memimpin pasukan sambil mengaji, dan menolak perintah menyerah bahkan ketika tubuhnya sudah separuh lumpuh.
Bayangkan, jika sekarang ada satu saja prajurit dengan semangat sekuat itu, mungkin berita yang muncul di media bukan tentang kekerasan atau judi, tetapi soal pengabdian dan keberanian moral. Terakhir, dengan keinsyafan penuh bahwa di dalam kemeriahan HUT TNI ada ruang untuk kontemplasi, maka mari kita selipkan sedikit tanya: Masihkah prajurit TNI hidup dalam semangat “Kami ksatria yang bertaqwa”?
Dirgahayu TNI !

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!