Sudah 78 Tahun Merdeka, Sejauhmana Pemerintah Menjalankan Amanah Kesehatan?

Sudah 78 Tahun Merdeka, Sejauhmana Pemerintah Menjalankan Amanah Kesehatan?
Kurniasih Mufidayanti, Anggota Komisi IX DPR RI / sabili.id

Momen 78 Tahun Kemerdekaan memberikan catatan sejarah yang panjang untuk Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya. Faktanya, kini “Merdeka” hanya mampu terselebrasi dalam satu kata namun tidak bisa dirasakan rakyatnya secara nyata. Rentetan masalah di negeri ini masih terus memanggil gejolak rakyatnya. Banyak sekali kebijakan yang kontradiktif terhadap kondisi dan situasi yang menimpa bangsa ini.

Begitu pula yang terjadi di sektor kesehatan. Berangkat dari pembentukan Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang menuai banyak polemik dengan komposisi pasal-pasal kontroversialnya, situasi dan kondisi terkait krisis kesehatan yang menggerogoti negeri, menjadi rangkaian catatan atas langkah bangsa Indonesia di tengah momen 78 tahun kemerdekaannya. Kesehatan rakyat seolah dipertaruhkan padahal hal itu merupakan amanah reformasi. Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan,sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Salah satu isu kontemporer yang mengemuka terkait dunia kesehatan Indonesia adalah hal yang terjadi pada Selasa, 11 Juli 2023. Di hari itu, Rapat Paripurna DPR RI di masa persidangan V Tahun sidang 2022-2023 akhirnya memutuskan untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi Undang-Undang (UU) Kesehatan. Ketika itu, salah satu Anggota Komisi IX DPR RI, Dr. Kurniasih Mufidayanti, M.Si menolak RUU ini disahkan menjadi UU. Di kemudian hari, banyak pihak juga menyatakan penolakan atas UU tersebut. Termasuk kalangan tenaga medis.

Baca Juga : UU Kesehatan Dinilai Cacat Sebelum Lahir

Kepada sabili.id, Kurniasih mengatakan, ketika itu pihaknya sudah memberikan banyak catatan tentang RUU Kesehatan ini. Sejak di tingkat pertama yaitu pembahasan di Baleg, pembahasan di Panja, hingga di Rapat Paripurna, mereka meminta agar RUU tersebut tidak dibahas buru-buru untuk mendengarkan lebih banyak pendapat pemangku kepentingan terkait, agar tidak bernasib sama seperti UU Cipta Kerja.

“F-PKS juga konsisten menolak RUU Kesehatan di setiap tingkatan pembahasan. Kami sudah berjuang,  namun hanya dua fraksi yang menolak RUU ini disahkan, termasuk PKS,” ujarnya.

Kurniasih menyebut, terkesan ada keinginan pemerintah agar UU ini segera disahkan. Padahal, DPR ingin mengundang khusus para nakes (tenaga kesehatan), organisasi profesi, asosiasi klinik, dan rumah sakit, psikolog dan psikiater, kampus dan akademisi, serta pakar hukum. Semua untuk mendapatkan masukan yang lebih komprehensif.

“Memang sikap pemerintah sejak awal menginginkan agar RUU ini segera disahkan. Sementara kita tidak ingin terburu-buru, harus mendengarkan banyak pihak, dibahas dengan hati-hati. Apalagi jika dengan metode omnibus. Kami sempat sampaikan perjuangan dari parlemen dan ekstra parlemen. Sekarang proses di parlemen telah selesai dengan sikap-sikap Fraksi yang sudah terang. Jika ada sikap untuk membawa ke ranah demokrasi lainnya, misalnya uji materi oleh para nakes, kami menghargai sikap tersebut karena ditempuh dengan cara-cara yang konstitusional, lanjutnya.

Bukan hanya masalah UU Kesehatan yang menjadi polemik saat ini. Ada hal lain terkait soal kesehatan yang menjadi catatan khusus di tengah momen 78 Tahun Indonesia Merdeka. Misalnya, masalah stunting yang merupakan salah satu masalah penting dalam dunia Kesehatan yang masih ada dan berkepanjangan yang harus segera dituntaskan.

Stunting adalah masalah kesehatan yang menyebabkan kegagalan pertumbuhan optimal pada anak. Penyebab stunting dapat dikategorikan menjadi dua hal, yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung misalnya asupan makanan, penyakit infeksi, berat badan lahir yang rendah, dan genetik. Sedangkan penyebab tidak langsung yaitu pengetahuan tentang gizi, pendidikan orang tua, kondisi sosial ekonomi, distribusi makanan, dan besarnya keluarga atau jumlah anggota keluarga.

Baca Juga : UU Kesehatan Masih Tuai Pro-Kontra, Kebutuhan Kesmas Terabaikan

Menurut Kurniasih, stunting adalahmasalah kita bersama. Target 14 persen angka prevalensi stunting memang bagus untuk kita capai. Tetapi akselerasinya lambat untuk mencapainya. Misalnya, target pencapaiannya tahun depan.

“Perbaikan infrastruktur kesehatan sampai merata ke semua pelosok sudah harus menjadi prioritas. Posyandu yang sempat terhenti karena pandemi harus mengejar ketertinggalannya. Kader penyuluh KB yang jadi garda depan pencegahan stunting juga harus diperhatikan kesejahteraannya. Peran keluarga juga sangat penting. Jangan persoalan stunting dibebankan ke ibu saja, padahal pencegahan stunting wajib dimulai dari screening sebelum pernikahan. Jadi, institusi keluarga juga mesti paham soal isu stunting dan hal ini menjadi tanggung jawab bersama,” ucapnya.

Pencegahan stunting tidak hanya menjadi suatu urgensi dunia kesehatan. Ia juga menjadi urgensi proyeksi penduduk Indonesia di 2045, agar tercapai sumber daya manusia yang sehat secara mental dan jasmani. Pemerintah harus bergerak cepat secara komitmen, karena sudah menjadi tugas negara untuk bertanggung jawab atas kehidupan rakyatnya.

“Kita punya visi Indonesia Emas 2045. Jika soal stunting tidak segera mendapat solusi, bonus demografi kita justru bisa jadi bumerang, karena generasinya lemah dari sisi perkembangan. Semua itu karena gizi buruk. Jika sampai terjadi, ini menjadi ironi di negeri kita yang kaya,” imbuhnya.

Maka, di momen 78 Tahun Indonesia Merdeka, Kurniasih menyebut, pemerintah tidak boleh sedikit pun buta terhadap masalah kesehatan di Bumi Pertiwi. Masalah yang terjadi di sektor kesehatan merupakan ancaman nyata terhadap generasi bangsa. Negara harus wajib hadir dalam menjamin kesehatan setiap rakyatnya, di manapun mereka berada. Juga memastikan seluruh rakyat Indonesia mendapatkan layanan kesehatan dengan kualitas yang baik.

“Negara wajib menghadirkan hak kesehatan, karena itu adalah hak dasar sebagai manusia dan warga negara. Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Artinya,pelayanan kesehatan adalah hak asasi yang wajib dihadirkan oleh negara,dalam hal ini pemerintah, untuk menjamin rakyat sehat dan tetap mendapat pelayanan kesehatan. Banyaknya persoalan kesehatan harus menjadi perhatian serius agar hak-hak warga negara tetap terpenuhi,” katanya pula.
Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.