Sumpah Pemuda dan Krisis Persatuan Substantif

Sumpah Pemuda dan Krisis Persatuan Substantif
Sumpah Pemuda dan Krisis Persatuan Substantif/foto:istimewa

Sumpah Pemuda. Teringat masa aku kecil, di awal tahun 1980-an, ketika masih duduk di bangku SD Inpres. Momen Sumpah Pemuda selalu diperingati dengan upacara. Teks Sumpah Pemuda ketika itu dibaca layaknya mantera sakti. Hanya dirapal untuk menghadirkan keajaiban berupa persatuan bangsa. Tampaknya “tradisi” ini masih bertahan di sekolah-sekolah hingga hari ini.

Hal serupa dilakukan pula oleh instansi pemerintah, para pejabat, politisi dari pusat hingga daerah. Kini, media sosial pun ramai dengan seruan persatuan dan aneka rangkaian kata indah yang menampilkan “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia”.

Tetapi sayangnya, yang sering kita rayakan bukan semangatnya, melainkan formalitasnya. Kita mengulang kata “persatuan” sambil menutup mata terhadap kenyataan bahwa Indonesia hari ini bersatu hanya di atas kertas, tetapi tercerai dalam nasib.

Mari kita bicara jujur. Apakah bangsa ini benar-benar telah bersatu secara substantif? Apakah “Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa” masih punya makna politik dan moral di tengah pesta oligarki, ketimpangan ekonomi, dan korupsi yang begitu kasat mata? Atau jangan-jangan, persatuan kini hanyalah nama lain dari penyeragaman, sementara keadilan - yang seharusnya menjadi roh persatuan - justru terkapar di pinggiran megaproyek yang mangkrak?

Aku berpikir, bangsa ini telah terjebak dalam pseudo persatuan yang diorkestrasi oligarki dan kaki tangannya. Lihat dan rasakanlah, betapa dalam dua dekade terakhir, demokrasi kita makin tersandera oleh kekuatan oligarki; sekelompok kecil elite ekonomi-politik yang mengendalikan kebijakan publik demi kepentingan segelintir orang. Rakyat memang masih bebas memilih dalam Pemilu, tetapi siapa yang harus dipilih tampaknya telah diseleksi oleh para oligarki. Tragis!

Inovasi Pemuda Muslim Indonesia: Menyalakan Harapan Lewat Karya
Inilah kisah tentang anak muda Muslim Indonesia yang menolak diam dan memilih untuk menghadirkan solusi alih-alih sekadar mengeluh. Dari sekolah, pesantren, hingga komunitas kecil di pelosok, lahirlah berbagai inovasi yang hadir untuk memberi manfaat.

Kekuasaan dan kekayaan pada akhirnya hanya beredar di lingkaran yang itu-itu saja. Rakyat kecil hanya menjadi penonton dalam panggung besar yang bernama “pembangunan nasional”.

Ya, pembangunan adalah istilah yang kerap dibajak untuk sekadar mengenyangkan perut segelintir elite. Dilabeli pembangunan agar rakyat tak rewel melihat penggunaan dana negara secara ugal-ugalan tanpa aspirasi dan kebutuhan mereka.

Pembangunan IKN, pembangunan kereta cepat, siapa yang untung? Rakyat tak butuh-butuh amat. Bukan sesuatu yang mendesak. Lalu, proyek-proyek itu dikabarkan dananya membengkak, ada mark up, dan terindikasi korupsi. Oligarki hitam sudah pasti paling diuntungkan di tengah kerugian negara dan merananya nasib rakyat.

Angin pun berbisik lembut. Di mana satu nusanya? Di mana satu bangsanya? Di mana satu bahasanya?

Semboyan "satu nusa" sejatinya mengandung makna pemerataan dan keadilan antar wilayah. Tetapi realitasnya, pembangunan masih berpusat di Pulau Jawa dan kota-kota besar. Sementara daerah-daerah di timur Indonesia, yang seharusnya menjadi bagian utuh dari “nusa” yang sama, sering kali tertinggal, minim infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan.

Pesan Himmatul Aliyah, Pemuda Harus Lanjutkan Estafet Perjuangan di Era Globalisasi
Sembari menyoroti dominasi Generasi Z di Indonesia yang kini mencapai 60% dari total populasi, Anggota Komisi X DPR RI, Hj Himmatul Aliyah, berpesan, pemuda harus melanjutkan estafet perjuangan di era globalisasi.

Persatuan wilayah tanpa keadilan sosial hanyalah peta tanpa ruh. Sebab, bagaimana mungkin kita merasa sebangsa jika sebagian anak bangsa harus menempuh perjalanan berjam-jam hanya untuk berobat, sementara sebagian lain menikmati kemewahan fasilitas kota metropolitan?

Korupsi yang merajalela adalah pengkhianatan lain terhadap semangat Sumpah Pemuda. Para pemuda 1928 berkorban demi bangsa yang bersatu, merdeka dan bermartabat; sedangkan banyak politisi hari ini memerkaya diri di atas pelecehan terhadap amanah rakyat yang mereka wakili.

Ketika amanah rakyat diabaikan, maka hilanglah makna Satu Bangsa. Sebab, bangsa bukan sekadar kumpulan manusia di bawah bendera yang sama, melainkan kesatuan moral, ikatan batin antara pemimpin dan rakyatnya yang dilandasi kejujuran, tanggung jawab, dan rasa keadilan.

Posisi Indonesia pada Corruption Perception Index (CPI) menempati posisi menengah-bawah (skor sekitar 37, peringkat sekitar 99/180 pada 2024). Angka ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap korupsi tetap tinggi dan menjadi masalah struktural. Korupsi merusak layanan publik, menggerus kepercayaan, dan mengalihkan sumber daya dari kepentingan rakyat ke kepentingan oligarki hitam, sekaligus mengoyak secara konsisten makna “Satu Bangsa”.

Di sisi lain, kita memang telah berhasil menggunakan satu bahasa, Bahasa Indonesia. Namun, apakah makna di balik kata, diksi, yang kita pilih selama ini telah sama secara substantif? Bahasa pemimpin sering kali sarat janji dan pencitraan, sementara bahasa rakyat berisi keluh kesah dan tuntutan hidup.

Misalnya kata “Pembangunan” yang telah disinggung di atas. Adakah makna substansinya sama antara persepsi pejabat, politisi, dan rakyat?

Sumpah untuk Satu Bahasa semestinya tidak hanya dimaknai secara linguistik, melainkan juga etis: Bahasa sebagai jembatan pemahaman, alat komunikasi yang menyatukan, bukan memecah belah, apalagi untuk menipu.

Persatuan formal telah kita capai, tetapi persatuan substantif masih jauh panggang dari api.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.