Sejak 28 Agustus 2023, bentrokan bersenjata antara suku-suku Arab kontra milisi Kurdi meletus di provinsi Deir Ezzor timur Suriah. Bentrokan ini dengan cepat merambat ke beberapa provinsi lain seperti Raqqa, Hassakeh dan Aleppo. Eskalasi bentrokan semakin hari semakin memanas. Sejumlah wilayah berhasil ditaklukan oleh suku Arab dan tak jarang kemudian direbut kembali oleh SDF, Syrian Democratic Forces (Pasukan Demokratik Suriah).
Pertempuran yang telah menewaskan lebih dari seratus orang dari kedua belah pihak ini bermula ketika SDF yang didominasi oleh milisi-milisi dari suku Kurdi menangkap Ahmed Al-Khabil Abu Khaulah, komandan Deir Ezzor Military Council (DMC) pada tanggal 27 Agustus silam. Abu Khaulah dan beberapa petinggi DMC ditangkap karena tuduhan korupsi dan main mata dengan sejumlah pihak eksternal yang merupakan musuh SDF, serta sejumlah tuduhan lainnya.
Abu Khaulah sendiri yang berasal dari etnis Arab merupakan seorang komandan oposisi anti rezim Assad. Ia dan pasukannya merupakan salah satu komponen suku Arab dalam tubuh SDF yang didominasi oleh suku Kurdi. SDF sendiri dibentuk dan didukung oleh AS dan sekutunya dengan dalih memerangi ISIS yang sempat bercokol di timur Suriah, khususnya di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Irak dari tahun 2015 hingga 2019. Sebagaimana diketahui bahwa SDF berisi pasukan dari etnis arab dan kurdi.
Tak ayal, penangkapan Abu Khaulah dan sejumlah petinggi DMC langsung memicu kemarahan suku-suku Arab di Deir Ezzor yang memang sejak lama merasa dimarjinalkan oleh rezim. Syeikh Mush’ab Al-Hafl, pemimpin klan Al-Ukaydah yang merupakan klan Arab terbesar di Deir Ezzor kemudian mengumumkan perlawanan terhadap “kezaliman” SDF, serta mengajak semua klan-klan Arab lainnya melakukan perlawanan. Seruan itu disambut oleh klan-klan Arab dengan gegap gempita. Dalam waktu singkat mereka memobilisasi pasukannya menuju Deir Ezzor. Tak hanya di Deir Ezzor, pertempuran melawan SDF kemudian meletus di provinsi-provinsi lain di Suriah.
Provinsi Deir Ezzor yang dibelah oleh sungai Eufrat dikuasai oleh SDF di belahan timurnya, sementara pasukan rezim Suriah dan milisi-milisi Iran menguasai wilayah sebelah barat. Masyarakat Deir Ezzor yang mayoritasnya berasal dari suku Arab yang agamis dengan sejumlah tradisinya kemudian dengan terpaksa hidup dibawah kendali SDF yang mayoritas Kurdi dan beraliran sosialis. Bahkan, kebanyakan dari mereka tidak bisa berbahasa Arab.
Baca Juga : Pasukan Elit Israel Desersi Massal, Sinyal Kudeta?
Paska “diusirnya” ISIS dari Deir Ezzor, suku-suku Arab mulai merasakan bagaimana mereka dipinggirkan. Deir Ezzor yang kaya dengan sumber daya minyak dan gas alam lengkap dengan kilang-kilang yang masih aktif, dimanfaatkan SDF untuk kepentingan mereka sendiri ketimbang membangun infrastruktur dan meningkatkan pelayanan umum yang dibutuhkan oleh orang-orang Arab yang merupakan penduduk asli Deir Ezzor.
Sejumlah pertanyaan muncul, apakah konflik yang beraroma etnis ini benar-benar hanya dipicu oleh kesenjangan sosial dan gesekan antara militan Kurdi dengan suku-suku Arab? Pihak mana saja yang mungkin bermain di belakang dan punya kepentingan serta diuntungkan jika konflik ini berlanjut?
Campur Tangan Amerika
AS dan Barat jelas punya kepentingan dalam konflik ini. Bentrokan bersenjata yang terjadi dalam tubuh SDF antara milisi YPG (milisi Kurdi yang paling dominan dalam SDF) dengan suku-suku Arab dipastikan akan memperlemah kekuatan SDF secara umum di Deir Ezzor. Dan itu berarti semakin mempermudah jalan bagi pasukan rezim Suriah dan milisi-milisi Iran untuk merangsek masuk timur sungai Eufrat serta merebut kembali provinsi Deir Ezzor secara utuh. Sejumlah media mengabarkan bahwa pasukan rezim Suriah sudah mulai menyeberang sungai Eufrat. Jika itu terjadi, tentu ini menjadi mimpi buruk bagi Amerika dan Barat.
Kekacauan di Deir Ezzor juga merugikan AS yang “menguasai” kilang-kilang minyak di wilayah Deir Ezzor yang dikuasai SDF. Konflik antara SDF kontra suku-suku Arab dipastikan akan menggangu operasional kilang minyak dan gas.
Konflik di Deir Ezzor ini juga berbahaya bagi AS yang masih menempatkan sejumlah pasukannya di pangkalan militer AS disana. Selain itu, sel-sel ISIS yang tiarap ditakutkan akan muncul kembali dan semakin kuat serta menyerang siapapun, baik itu pasukan AS, milisi Kurdi atau bahkan pasukan rezim Suriah.
Karenanya, sejak eskalasi konflik meningkat, AS melalui perwakilannya telah melakukan pertemuan dengan pihak YPG/SDF dan syekh kabilah suku Arab untuk mendamaikan dua kelompok yang sebelumnya sempat berkoalisi ini.
Pertemuan tersebut disinyalir gagal, tuntutan para pemimpin suku Arab di Deir Ezzor agar AS memihak suku-suku Arab masih sulit diterima AS. Jika harus memihak salah satunya, AS kemungkinan akan tetap mendukung YPG/SDF, dikarenakan kontrol mereka terhadap beberapa kilang minyak di Deir Ezzor. Dukungan kepada SDF dan milisi-milisi Kurdi secara umum yang mendiami sejumlah wilayah di Suriah, Irak, Iran serta Turki juga bisa menjadi kartu truf AS untuk mengganggu stabilitas negara-negara tersebut jika suatu saat kartu tersebut perlu dimainkan.
Baca Juga : Antara Kemenangan Erdogan dan Najasyi
Turki
Konflik regional apapun yang melibatkan suku Kurdi, maka konflik itu dipastikan penting bagi Turki. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, sejak awal, intelijen Turki telah bermain dalam konflik YPG vs klan-klan Arab seperti yang diasumsikan oleh banyak pengamat. Hal ini juga diperkuat oleh beberapa statement petinggi SDF bahwa “tangan-tangan” intelijen Turki bermain di balik layar dan Turki merupakan pihak yang paling diuntungkan dari konflik tersebut.
Bagi Turki, semua kelompok bersenjata dari suku Kurdi yang menuntut kemerdekaan dan pendirian negara Kurdistan merupakan ancaman serius bagi kedaulatan Turki yang terus di rongrong oleh pemberontakan Partai Buruh Kurdistan (PKK). Maka tak heran jika Turki mengklasifikasikan SDF dalam list kelompok teroris dan menganggapnya kepanjangan tangan dari Parti Karkenari Kurdistan (PKK) di Suriah.
Faksi-faksi oposisi Suriah yang bergabung dalam Tentara Nasional Suriah (SNA) yang didukung Turki juga membuka jalur penyeberangan di Jarablus, sebelah Utara-Timur Aleppo sejak hari kamis untuk mempermudah para pejuang dan suku-suku Arab lainnya bergabung dengan saudara mereka melawan SDF serta membuka front pertempuran lainnya dengan SDF.
Turki mungkin tidak akan mendukung klan-klan Arab secara langsung agar hubungannya dengan AS tidak memburuk, namun lampu hijau yang diberikan Turki kepada faksi-faksi oposisi yang tunduk ke Turki untuk membantu suku-suku Arab merupakan sinyal jelas keterlibatan Turki dan betapa pentingnya konflik ini untuk Ankara.
Rezim Suriah
Setali tiga uang dengan Turki, rezim Suriah termasuk yang paling diuntungkan dengan konflik antara klan-klan Arab kontra YPG/SDF. Jika konflik ini berlangsung lama, dan mampu memperlemah kekuatan SDF, maka mimpi rezim Assad untuk menguasai Deir Ezzor secara penuh berikut kilang-kilang minyak dan gasnya semakin terbuka lebar. Jangan lupa, Ahmed Al-Khabil alias Abu Khaulah ditangkap oleh SDF selain karena tuduhan korupsi, ia juga ditahan dengan tuduhan menjual narkoba dan minyak secara ilegal ke rezim Suriah. Sebagian suku-suku Arab di Deir Ezzor dan provinsi lain disinyalir juga main mata dengan rezim Assad demi kepentingan internal mereka.
Pada hari Rabu, 6 September kemarin, Faisal Mekdad, Menteri Luar negeri Suriah secara tegas mendukung klan-klan Arab melawan apa yang ia sebut sebagai penjajahan Amerika dan Kurdi terhadap kedaulatan rakyat Suriah.
Dua hari lalu, Erdogan kembali bertemu dengan Putin di Sochi, Rusia. Selain membahas isu gandum dan perang Ukraina, dalam konferensi persnya, Erdogan juga menyinggung kemungkinan kembalinya hubungan bilateral antara Ankara dan Damaskus. Damaskus sendiri mensyaratkan bahwa normalisasi hubungan dengan Ankara harus dimulai dengan hengkangnya militer Turki dari Utara Suriah. Sementara Turki berdalih bahwa penempatan pasukannya di Utara Suriah adalah untuk mengamankan perbatasannya dari pemberontakan milisi Kurdi. Jadi? Rusia, Suriah dan Turki punya kepentingan yang sama agar milisi SDF segera hengkang dari Timur dan Utara Suriah dan kemudian Turki juga akan menarik pasukannya.
Maka, apakah konflik ini akan memakan waktu lama dan menjadi babak baru dari konflik Suriah? Atau justru akan berakhir dengan sebuah rekonsiliasi dan deal dibawah meja? Akankah klan-klan Arab berhasil mencapai ambisinya membangun otoritas dan pemerintahan mereka sendiri di Timur dan Utara Suriah? Banyak pengamat memprediksikan bahwa konflik terbaru ini tidak akan selesai dalam waktu dekat. Namun dalam dunia politik dan perebutan kekuasaan yang sarat kepentingan, kita tidak benar-benar bisa menebak akhir dari sebuah cerita.
Wallahu A’lam.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!