Peristiwa pada 12 September 39 tahun yang lalu itu terjadi di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Di Kawasan padat penduduk itu, ketika itu, terjadi bentrokan antara aparat militer bersenjata dengan massa sipil yang berujung jatuhnya banyak korban tewas dan luka-luka. Ada versi yang menyebut, korbannya adalah 24 orang tewas dan 55 orang lainnya luka-luka. Versi lain mengatakan, jumlah korban tewas saat peristiwa itu adalah 33 orang, yaitu 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan dan 24 orang tewas akibat tindakan aparat, serta 55 orang luka-luka.
Sedangkan menurut lembaga-lembaga kemanusiaan, korban yang tewas dalam peristiwa itu mencapai ratusan orang. Investigasi Solidaritas Nasional atas peristiwa Tanjung Priok (Sontak) menyebut, jumlah korban tewas dalam peristiwa itu mencapai 400 orang. Selain itu, 160 orang yang dicurigai berkaitan dengan peristiwa tersebut ditangkap oleh militer tanpa prosedur yang jelas dan tanpa surat perintah dari atasan. Hal itulah yang membuat peristiwa 12 September 39 tahun silam di Tanjung Priok itu digolongkan sebagai salah satu peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada masa Orde Baru.
Wakil Keluarga Korban Peristiwa Tanjung Priok, Beni Biki, mengatakan, ada asumsi bahwa peristiwa pelanggaran HAM di Tanjung Priok itu berhubungan dengan adanya muatan politik secara spesifik, yaitu upaya pemerintah Orde Baru melakukan pengerdilan partai Islam dan organisasi Islam lainnya. Konon, pemerintah Orde Baru ketika itu berreaksi karena pada Pemilu 1977 partai Islam menang di DKI Jakarta. Pertanyaan tentang sebab partai Islam bisa menang Pemilu di Jakarta itu mengarahkan mereka ke sebuah mushalla di kawasan padat penduduk, Tanjung Priok, bernama Mushalla As-Sa'adah.
Baca Juga : Tragedi Tanjung Priok: Hak Korban yang Terabaikan
Aparat negara ketika itu mencurigai Mushalla As-Sa'adah menjadi tempat penggalangan opini untuk memenangkan Partai Islam. Di mushalla ini dan di masjid serta mushalla lain di kawasan Tanjung Priok, kerap tampil para ustadz dan da’i menyampaikan ceramah yang isinya mengkritik berbagai kebijakan Orde Baru, semisal penerapan asas tunggal Pancasila, pelarangan ceramah tanpa izin, pelarangan mengenakan kerudung bagi siswi SMA, dan sebagainya. Di Kawasan sekitar mushalla itu juga dicurigai terdapat kegiatan pencetakan pamflet-pamflet berisi tulisan dan artikel tentang masalah yang dihadapi kaum muslimin saat itu.
Tanggal 7 September 1984, seorang tentara bernama Sersan Satu Hermanu datang ke Mushalla As-Sa'adah dan menemui Ketua DKM, Ahmad Sahi. Ia meminta untuk mencabut pamflet-pamflet berisi artikel tentang masalah yang dihadapi kaum muslimin dan pengumuman tentang jadwal pengajian yang akan datang yang ditempel di majalah dinding mushalla. Pamflet-pamflet itu lantas dicabuti.
Keesokan harinya, 8 September 1984, Sersan Satu Hermanu mendatangi lagi Mushalla As-Sa'adah untuk mengambil pamflet-pamflet yang kemarin dicabut dari majalah dinding mushalla. Ia menduga, pamflet-pamflet itu masih disimpan oleh Pengurus Mushalla As-Sa’adah, khususnya di mihrab yang merupakan tempat untuk Imam memimpin shalat berjamaah.
Namun, tindakan Sersan Satu Hermanu waktu itu sangat menyinggung perasaan umat Islam. Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, sehingga meninggalkan jejak sepatu dengan air kotor dari comberan di dalam mushalla. Ia bahkan juga menginjak Al Qur’an. Tindakan itu membuat warga marah.
Dua hari kemudian, 10 September 1984, beberapa orang jamaah mushalla berpapasan dengan seorang anggota Koramil rekan Sersan Satu Hermanu. Pertengkaran adu mulut di antara mereka terjadi. Dua orang warga bernama Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman melerai. Mereka lantas diajak berunding untuk menyelesaikan masalah itu di sekretariat masjid. Perundingan tak berhasil karena kedua anggota ABRI itu menolak menganggap masalahnya selesai.
Di saat itu, massa yang mendengar kejadian itu telah berkumpul di luar mushalla. Mereka kehilangan kesabaran dan membakar sebuah sepeda motor yang ternyata milik seorang anggota marinir. Akibatnya, Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman ditangkap aparat. Ahmad Sahi dan seorang pemuda bernama Muhammad Nur juga turut ditangkap.
Warga berusaha meminta keempat orang itu dibebaskan. Tetapi hasilnya sia-sia. Mereka lantas mendatangi tokoh setempat, H.M. Amir Biki, meminta bantuan untuk mengupayakan pembebasan keempat orang tersebut. Upaya itu juga gagal. Kemarahan massa menjadi kian tak terbendung, yang kemudian memunculkan tuntutan agar keempat orang itu dibebaskan.
Tanggal 12 September 1984, beberapa mubaligh melakukan ceramah di tempat terbuka, antara lain tentang kejadian beberapa hari sebelumnya. Amir Biki termasuk yang berbicara ketika itu. Setelah ceramah-ceramah usai, massa melakukan aksi demonstrasi dan bergerak menuju Kantor Polsek dan Koramil. Di Jalan Protokol saat tengah dalam perjalanan, mereka dihadang oleh kelompok militer yang telah siaga tempur. Kelompok militer juga datang dari arah sebaliknya. Massa dikepung dari dua arah.
Baca Juga : Dr. Tiar Anwar Bachtiar: “Peristiwa Tanjung Priok Adalah Salah Satu Monumen Sejarah”
Sesaat kemudian, suara tembakan terdengar, diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong senjatanya kepada massa. Pasukan militer bersenjata lengkap itu pun langsung menembaki massa. Aparat bahkan juga menembakkan bazooka ke arah massa. Suara letusan senjata terdengar dari segala penjuru. Maka dalam sekejap, massa bergeletakan di jalan. Jalanan dipenuhi jasad manusia yang bersimbah darah. Sedangkan beberapa korban luka yang tidak begitu parah berusaha lari dan berlindung ke tempat-tempat di sekitarnya.
Catatan-catatan maupun artikel di media massa yang telah banyak dipublikasikan menyebutkan, di malam itu tentara lantas mengusung para korban yang telah tewas dan luka-luka itu ke atas bak truk-truk militer, sementara tembakan terus berlangsung. Semua korban dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Rumah Sakit lain diultimatum untuk tidak menerima pasien korban penembakan Tanjung Priok. Setelah seluruh korban diangkut dari jalan, mobil-mobil pemadam kebakaran datang ke lokasi dan membersihkan jalan dari darah para korban.
Selain korban tewas yang diperkirakan bisa mencapai ratusan orang, di dalam peristiwa itu puluhan orang ditangkap dan ditahan tanpa melalui proses hukum yang jelas. Beberapa orang lainnya dinyatakan hilang. Seluruh kengerian yang timbul dalam peristiwa di malam itu membuat Peristiwa Tanjung Priok 1984 tersebut dianggap sebagai Pelanggaran HAM Berat.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!