Di dalam pidato saat Perayaan HUT (Hari Ulang Tahun) yang ke-497 Jakarta, Pejabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, menyampaikan hal menarik. “Tahun ini menjadi tahun terakhir Jakarta berulang tahun dengan status sebagai ibu kota negara. Namun, pesona Jakarta tak akan pernah memudar,” katanya.
Ya. Semenjak DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) menjadi Undang-Undang (UU) pada akhir Maret 2024 yang lalu, status DKI yang selama ini disandang oleh Kota Jakarta praktis dicabut. Jakarta sekadar menjadi Provinsi Khusus.
Pemerintah telah menetapkan Ibu Kota Negara (IKN) yang meliputi kawasan di Kutai Kertanegara dan Penajam Paser Utara di Provinsi Kalimantan Timur. Kawasan itu akan disebut sebagai Kota Nusantara. Kota Nusantara telah ditetapkan sebagai Ibu Kota Negara yang baru, pengganti Jakarta.
Tak seperti pejabat yang dicopot jabatannya, Jakarta tentu anteng-anteng saja dengan pencopotan status DKI-nya. Sedikit pro-kontra di tengah masyarakat. Selebihnya tidak ada persoalan.
Bagi kota dengan sejarah yang panjang, pencopotan status dan penyematan status hanyalah perkara administratif belaka. Banyak hal yang bersifat elementer yang tidak akan terpengaruh sama sekali.
Seperti yang diungkapkan oleh Heru Budi Hartono di atas, Jakarta akan tetap memiliki pesona yang tak akan pernah memudar. Bahkan bukan hanya pesona. Karisma Jakarta juga tak akan banyak terpengaruh oleh perubahan status itu.
Baca juga: Hari Lahir Jakarta, Ketika Fatahillah Mengusir Armada Portugis dari Sunda Kelapa
Lihatlah, di usianya yang telah menapaki 497 tahun, wajah Jakarta semakin kinyis-kinyis, bukan makin menua atau keriput. Penduduknya kian betah, animo penduduk lain untuk diterima menjadi warga Jakarta pun tetap tinggi. Fasilitas sosial, kesehatan, pendidikan, yang serba terjangkau ada di kota ini. Sistem birokrasi yang mudah, cepat, dan transparan, juga baru bisa dirasakan di kota ini saja.
Belum lagi soal pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja, kota ini masih dianggap yang paling baik. Maka, wajar jika Jakarta tetap mempesona dan menjadi kota tujuan para perantau dengan berbagai kepentingannya.
Aspek Tak Tergantikan
Pesona dan karisma Jakarta muncul dari banyak dimensi. Beberapa di antaranya tak mungkin digantikan oleh kota mana pun yang akan berstatus sebagai ibu kota yang baru.
Pertama, dari sisi sejarah. Jakarta memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak masa kerajaan Hindu-Budha. Sebagai Sunda Kelapa, pelabuhan penting di Kerajaan Sunda, daerah ini telah menjadi pusat perdagangan sejak abad ke-4. Di tahun 1527, Fatahillah dari Kesultanan Demak berhasil merebut Sunda Kelapa dari Portugis dan mengganti namanya dengan Jayakarta, yang berarti “kemenangan sempurna.”
Selama periode kolonial Belanda, Jayakarta berkembang menjadi Batavia, dan menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda. Gedung-gedung peninggalan kolonial semisal Museum Fatahillah, Gedung Kesenian Jakarta, dan Stasiun Kereta Api Jakartakota, adalah saksi bisu dari masa tersebut.
Perang Dunia II dan perjuangan kemerdekaan Indonesia menambah babak penting dalam sejarah Jakarta. Kota Jakarta menjadi tempat proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Jakarta juga menjadi tempat berkumpulnya para tokoh pejuang dan penggagas kemerdekaan.
Baca juga: Nama Jakarta Sering Berubah
Berbagai perubahan sosial dan peristiwa politik, bahkan tragedi nasional yang menentukan arah sejarah Indonesia, berpusat dan terjadi di Jakarta. Sebut saja peristiwa G30S/PKI, lahirnya Angkatan 66, peristiwa Malari, hingga reformasi politik pada tahun 1998. Di semua peristiwa itu, Jakarta menjadi tempat, lokasi, sekaligus saksi penting yang tidak akan tertandingi oleh kota mana pun, dalam turut menentukan arah dan wajah NKRI.
Sejarah, dalam kelindan nilai-nilai, spirit, tokoh, waktu, dan tempat, bahkan ideologi, adalah pahatan memori yang tak mungkin diukir di tempat lain. Wajah Jakarta, karisma dan pesonanya terpahat secara artistik oleh semua kekuatan sejarah itu.
Kedua, Jakarta merupakan melting pot berbagai budaya di Indonesia. Dengan populasi yang beragam, kota ini menjadi rumah bagi berbagai suku bangsa semisal Betawi, Jawa, Sunda, Tionghoa, Arab, dan banyak lagi. Budaya Betawi, sebagai budaya asli Jakarta, masih terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari melalui musik Gambang Kromong, tarian Lenong, serta makanan khas semisal kerak telor dan soto betawi. Dan tentu saja yang paling penting adalah dialek dan bahasanya yang tetap dominan hingga hari ini.
Selain budaya tradisional, Jakarta juga menjadi pusat perkembangan budaya modern dan kontemporer. Festival-festival seperti Jakarta International Film Festival (JIFFEST), Jakarta Fashion Week, dan Java Jazz Festival, menunjukkan betapa dinamisnya kehidupan budaya di kota ini. Selain itu, Jakarta juga memiliki berbagai pusat seni dan budaya, seperti Taman Ismail Marzuki dan Galeri Nasional Indonesia.
Yang paling penting, Jakarta kerap menjadi trendsetter berbagai produk budaya populer bagi kawasan lain di Indonesia. Nah, adakah kota lain di Indonesia yang sekuat Jakarta dalam hal ini?
Ketiga, dari sisi ekonomi. Jakarta adalah jantung ekonomi Indonesia. Sebagai pusat bisnis dan perdagangan, kota ini menyumbang sekitar 17% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Kawasan-kawasan semisal Sudirman Central Business District (SCBD), Thamrin, dan Kuningan, adalah pusat dari banyak perusahaan multinasional, bank, dan institusi keuangan.
Baca juga: Piagam Jakarta dan Rumusan Resmi Pancasila
Pasar modal Indonesia, Bursa Efek Indonesia (BEI), juga terletak di Jakarta. Hal itu menjadikan kota ini pusat investasi dan keuangan. Mal-mal besar, hotel mewah, dan restoran internasional, menggambarkan betapa pentingnya Jakarta dalam perekonomian nasional dan internasional.
Keempat, dari sisi politik. Tanpa status sebagai ibu kota negara, Jakarta diprediksi akan tetap menjadi panggung dan etalase politik yang paling menarik dan penting!
Sekadar mencontohkan, Pilkada Jakarta adalah Pilkada yang paling menjadi perhatian dan paling populer dibandingkan Pilkada di tempat lain. Gubernur Jakarta dinilai memiliki bobot politik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan jabatan gubernur di provinsi lain. Itu semua terjadi karena akumulasi berbagai faktor lain di atas, semisal sejarah, ekonomi, dan kiblat kebudayaan di Indonesia. Menang di Pilkada Jakarta bisa menjadi ajang promosi penting bagi partai politik.
Kelima, dari sisi demografi. Dengan populasi lebih dari 10 juta orang, Jakarta adalah kota terpadat di Indonesia. Migrasi dari berbagai daerah di Indonesia ke Jakarta untuk mencari peluang kerja dan kehidupan yang lebih baik membuat kota ini sangat beragam secara demografis. Ini menciptakan tantangan tersendiri, seperti kepadatan lalu lintas, kebutuhan akan perumahan, dan layanan publik.
Penduduk Jakarta terdiri dari berbagai lapisan sosial-ekonomi, dari kelas pekerja hingga kelas menengah dan atas yang tinggal di kawasan-kawasan elit. Keberagaman ini juga terlihat dalam berbagai bahasa yang digunakan sehari-hari, dengan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dan berbagai bahasa daerah serta asing yang digunakan oleh penduduknya.
Tentu, masih banyak aspek lain yang membuat posisi Jakarta tak tergantikan oleh kota mana pun di Indonesia. Potensi wisata, pendidikan, serta teknologi komunikasi dan transportasi, mungkin merupakan sisi lain yang juga mengokohkan karisma dan pesona Jakarta.
Baca juga: IDEAS: Daripada untuk Korban Judi Online, Lebih Baik Alokasi Bansos untuk Guru
Akankah Menjadi HUT Terakhir dalam Status Ibu Kota?
Sinyalemen Heru Budi Hartono terkait HUT ke-497 DKI Jakarta akan menjadi ulang tahun Jakarta yang terakhir dalam kapasitas sebagai ibu kota negara, bisa benar namun bisa juga salah. Hal ini mengacu pada fakta sejarah.
Sepanjang sejarah Republik Indonesia, bukan pertama kalinya ibu kota negara dipindah dari Jakarta. Meski dalam beberapa episode sejarah posisi Jakarta sebagai ibu kota negara hanya bersifat de facto, namun diakui dan legitimate. Nah, dalam posisi Jakarta sebagai ibu kota negara yang bersifat de facto itu, posisi Jakarta sebagai ibu kota negara sempat beberapa kali digeser ke sejumlah kota lain di Indonesia. Berikut fakta sejarahnya:
Kurang dari setahun proklamasi kemerdekaan, ibu kota negara dan pusat pemerintahan Republik Indonesia dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 4 Januari 1946. Sebelumnya, para pemimpin negara bersepakat untuk menggerakkan roda pemerintahan dari daerah. Namun, Sri Sultan Hamengku Buwono IX memberi saran agar ibu kota dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Yogyakarta.
Tanggal 3 Januari 1946 malam, para pemimpin negara dipindahkan dari Jakarta. Dan esoknya, tanggal 4 Januari 1946 mereka tiba di Yogyakarta, menandai perpindahan pusat kekuasaan ke Yogyakarta dari Jakarta.
Sejumlah perpindahan lain tercatat. Misalnya di Bireuen, Aceh, pada 18 Juni 1948. Kemudian bergeser ke Bukittinggi pada 19 Desember 1948. Selanjutnya, pada tanggal 27 Desember 1949 Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan ibu kota Yogyakarta.
Nah, fakta sejarah ini bisa menjadi bukti penting karisma Jakarta dan terah Jakarta untuk terus menjadi ibu kota negara. Akankah IKN hanya akan melengkapi karisma dan terah Jakarta sebagai ibu kota negara yang tak tergantikan? Kita tunggu saja akhir ceritanya.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!