Hari Lahir Jakarta, Ketika Fatahillah Mengusir Armada Portugis dari Sunda Kelapa

Hari Lahir Jakarta, Ketika Fatahillah Mengusir Armada Portugis dari Sunda Kelapa
Photo by Heru Eko Saputro / unsplash.com

Sejarah Jakarta sejatinya tak lepas dari episode penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Di abad ke-14, Jakarta dikenal dengan nama Sunda Kelapa. Sunda Kelapa adalah kota pelabuhan sekaligus pusat perdagangan karena menjadi tempat transit kapal-kapal pedagang dari berbagai negara, antara lain Cina, Arab, India, dan negara-negara Eropa. Di Sunda Kelapa yang kala itu berada dalam kekuasaan Kerajaan Hindu Pajajaran, mereka saling bertukar barang komoditas.

Di antara bangsa Eropa yang kerap datang ke Sunda Kelapa saat itu adalah Portugis. Awalnya memang mereka datang untuk berdagang. Namun, pada 22 Agustus 1522, lewat perjanjian dengan Kerajaan Pajajaran, bangsa Portugis mendirikan Benteng di Sunda Kelapa. Maka, terbukalah maksud Portugis datang ke Sunda Kelapa. Yaitu untuk menjajah.

Kala itu, sisa-sisa Perang Salib masih terasa dan Portugis adalah yang paling gigih memerangi Islam. Sejumlah literatur menyebut, tahun 1511 bangsa Portugis merebut Malaka dan menaklukkan Pasai (Aceh). Malaka merupakan pelabuhan penting dan strategis bagi jalur pelayaran ke Eropa. Keberadaan Portugis di Malaka ternyata bukan saja untuk merebut jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat laku di pasar Eropa. Tetapi mereka juga punya tujuan untuk memperluas pengaruh agama Kristen.

Di saat sama, kerajaan besar di Pulau Jawa, Majapahit, sedang mengalami kemunduran. Adipati Islam di Demak, Raden Fatah, ketika itu pun memutuskan ikatan dengan Majapahit yang rakyatnya memeluk agama Hindu. Raden Fatah adalah anak Raja Majapahit, Brawijaya, dari seorang ibu keturunan China yang beragama Islam. Ia mendapat bantuan dari daerah-daerah lain semisal Jepara, Tuban, dan Gresik, yang sudah lebih dulu memeluk Islam. Kemudian, ia mendirikan kerajaan Islam di pantai utara Jawa yang beribukota di Demak.

Kerajaan Demak lantas menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa. Kerajaan Demak sendiri adalah kerajaan maritim yang menyandarkan perekonomian utama pada perdagangan antar pulau. Demak berturut-turut diperintah oleh Raden Fatah, Pati Unus (anak Raden Fatah), dan Sultan Trenggono (saudara Pati Unus). Di masa Trenggono, Demak diproklamasikan sebagai kesultanan dan mencapai puncak kejayaan. Di masa Sultan Trenggono pula, Masjid Agung Demak dibangun, sebagai lambang kekuasaan Islam. Wali Songo sering bertukar pikiran mengenai masalah agama di masjid itu.

Di masa Sultan Trenggono memerintah, beberapa daerah di Jawa Barat dapat diislamkan dan langsung berada di bawah kekuasaan Demak. Para ulama melakukan penyebaran agama Islam dengan damai dan mengajak para resi agama Hindu bertukar pikiran hingga mereka dapat menerima Islam. Penguasa setempat bahkan dengan sukarela menyerahkan wilayah Banten yang lalu menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Salah satu tokoh yang berjasa dalam semua pencapaian Kesultanan Demak itu adalah Fatahillah. Fatahillah atau Fadillah Khan adalah seorang ulama dan panglima perang yang juga adik ipar Sultan Trenggono.

Ada yang menyebut, Fatahillah atau Fadillah Khan juga dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dan merupakan salah seorang anggota Wali Songo. Wali Songo adalah sembilan orang wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Orang Portugis menyebut Fatahillah sebagai Faletehan. Sedangkan orang Jawa mengenal dia sebagai Syarif Hidayatullah yang lalu dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

Tetapi ada versi lain yang selama ini lebih kuat. Yaitu, Fatahillah dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) adalah dua sosok yang berbeda. Syarif Hidayatullah lahir tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang atau Syarifah Muda'im, putri dari Raden Pamanah Rasa atau Prabu Siliwangi (Raja Pajajaran). Sedangkan ayahnya adalah pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina, bernama Sultan Syarif Maulana Huda. Nyai Rara Santang dan suaminya itu punya dua putera, Syarif Nurullah dan Syarif Hidayatullah. Sepeninggal ayahnya, Syarif Nurullah melanjutkan kedudukan ayahnya sebagai Amir (penguasa). Sedang Syarif Hidayatullah kembali ke tanah Jawa bersama ibunya.

Penguasa Caruban (Cirebon, red), Pangeran Cakrabuana, mengizinkan Syarif Hidayatullah tinggal di daerah pertamanan Gunung Sembung sembari mengajarkan agama Islam. Pangeran Cakrabuana lalu menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Tahun 1479, Pangeran Cakrabuana yang waktu itu usianya sudah lanjut menyerahkan kekuasaan kepada Syarif Hidayatullah. Melalui Syarif Hidayatullah, sejak saat itu Islam berkembang pesat di Caruban.

Sedangkan Fatahillah atau ada juga yang menyebutnya Kiai Fathullah adalah seorang ulama dari Pasai Aceh yang hijrah ke Demak. Menurut beberapa ahli sejarah, Fatahillah yang juga dikenal dengan nama Fadillah Khan dan orang Portugis menyebutnya Faletehan itu adalah pemuda yang berasal dari Pasai, sebelah utara Aceh. Pendudukan Portugis terhadap Pasai di tahun 1511 menimbulkan kebencian di hatinya karena perilaku penjajah yang berlaku sewenang-wenang terhadap daerah dan agamanya. Hal itu menyebabkan Fatahillah menyingkir dari Pasai tahun 1517 dan pergi ke Tanah Suci Makkah, untuk memperdalam ilmu dan pengetahuan tentang agama.

Tiga tahun kemudian, ia kembali ke Tanah Air. Harapan dia, orang-orang Portugis sudah meninggalkan Pasai. Tetapi, saat itu bangsa Portugis masih menguasai sebagian besar wilayah Pasai. Maka, Fatahillah pergi ke Jawa untuk mendatangi Kerajaan Islam Demak yang saat itu diperintah oleh Sultan Trenggono (1521-1526). Ketika itu, Kerajaan Demak berada dalam masa kejayaan.

Sultan Trenggono menyambut baik kedatangan Fatahillah. Sebab, keduanya sama-sama membenci penjajahan. Bahkan, Sultan Trenggono menikahkan Fatahillah dengan adik perempuannya. Fatahillah lalu diangkat sebagai panglima pasukan Demak yang berangkat ke Sunda Kelapa bersama pasukan Cirebon untuk menghadapi Portugis guna merebut dan mempertahankan pelabuhan Sunda Kelapa.

Versi lain mengatakan, putri Syarif Hidayatullah, Ratu Ayu, menikah dengan Fatahillah. Jadi, Fatahillah adalah menantu dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Sunda Kelapa sendiri merupakan kota pelabuhan yang penting bagi jalur perdagangan internasional waktu itu. Di masa itu, Sunda Kelapa berada di bawah Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Pakuan (Bogor). Merasa Islam sebagai rintangan bagi kerajaan yang menganut agama Hindu, Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang merupakan musuh utama Islam dan Kerajaan Demak.

Menyikapi penguasaan Portugis atas Sunda Kelapa, Fatahillah diutus memimpin pasukan Kesultanan Demak untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa. Sebelumnya, Fatahillah sukses merebut Banten dari penguasaan Belanda. Pada 22 Juni 1527, serangan Fatahillah berhasil dan ia merebut Sunda Kelapa dengan menaklukkan Portugis, lalu mengusir armada Portugis pergi dari Sunda Kelapa. Watu itu, panglima perang pasukan Portugis adalah Fransisco Da Silva. Setelah terusir, mereka kembali ke Malaka. Peninggalan Portugis di Malaka sampai kini masih terdapat di negara bagian Malaysia itu.

Kalangan sejarawan berbeda pendapat tentang hari ketika Fatahillah mengusir armada Portugis dari Sunda Kelapa. Tetapi, beberapa sepakat bahwa peristiwa bersejarah ini terjadi pada 22 Juni 1527. Usai menguasai Sunda Kelapa, Fatahillah mengganti nama kota pelabuhan itu menjadi Jayakarta. Dasar Fatahillah memberi nama kota itu Jayakarta adalah momen kemenangan mereka yang serupa dengan saat penaklukan Kota Makkah dari musuh-musuh Islam. Al Qur’an surat Al Fath ayat 1 menyebutkan, Inna fatahna laka fathan mubina. Artinya, “Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata”. Menurut Fatahillah, kemenangan yang nyata dalam bahasa lokal adalah “Jayakarta”.

Menaklukkan Banten dan mengusir Portugis dari Sunda Kelapa adalah bukti kehebatan dan kepiawaian strategi perang Fatahillah. Sejak itu pula, kota bandar Jayakarta berdiri. Oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah atas persetujuan Sultan Demak, Trenggono, Fatahillah lalu diangkat sebagai Bupati Jayakarta. Di episode berikutnya, Fatahillah bermukim di atas sebuah bukit jati di Cirebon, dan mengembangkan agama Islam. Ia meninggal dunia tahun 1570 dan dimakamkan di Gunung Jati. Sunan Gunung Jati wafat tahun 1568. Jadi, Fatahillah dan Sunan Gunung Jati bukan sosok yang sama.

Hari ini tanggal 22 Juni. Di tanggal ini 496 tahun yang lalu, Fatahillah berhasil mengusir armada Portugis dari Sunda Kelapa. Dan peristiwa itu adalah salah satu momen penting dalam sejarah Islam di Indonesia.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.