Tertangkapnya Maryoto, Buron 16 Tahun karena Korupsi Rp 37 Juta: Harus Sedih atau Bahagia?

Tertangkapnya Maryoto, Buron 16 Tahun karena Korupsi Rp 37 Juta: Harus Sedih atau Bahagia?
Tertangkapnya Maryoto, Buron 16 Tahun karena Korupsi Rp 37 Juta: Harus Sedih atau Bahagia? / Foto Solopos/Ni'matul Faizah

Namanya Maryoto. Ia terjerat kasus korupsi saat dirinya menjabat sebagai Kepala Desa Teras, Boyolali, Jawa Tengah. Setelah buron 16 tahun, akhirnya Maryoto tertangkap pada 5 Maret 2025.

Kasusnya terjadi dalam rentang tahun 2003 – 2006, saat Pemerintah Desa Teras melepas sebidang tanah kas desa (TKD) seluas 1.575 meter persegi. Uang hasil pelepasan tanah kas desa inilah yang diselewengkan oleh Maryoto, pejabat Kades ketika itu. Nilai total kerugian yang diakibatkan ulah Maryoto adalah Rp 37.355.887,5.

Untuk kesalahannya itu, Maryoto telah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Boyolali dengan putusan hukuman penjara satu tahun dua bulan serta denda 75 juta Rupiah. Atas putusan itu Maryoto menyatakan Banding. Tetapi putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah justru memerberat hukumannya menjadi dua tahun penjara subsider 2 bulan kurungan serta denda 100 juta rupiah.

Maryoto belum puas, sehingga ia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Ternyata, putusan MA yang dikeluarkan pada 25 November 2009 menolak kasasi Maryoto, sehingga putusan Pengadilan Tinggi di Semarang berlaku. Nah, pada saat akan dilakukan eksekusi atas putusan itu, Maryoto yang dijemput di rumahnya ternyata sudah raib. Sejak saat itu, ia hilang dan dinyatakan sebagai buron Kejaksaan Negeri (Kejari) Boyolali.

Apresiasi yang tinggi atas kegigihan dan keseriusan Kejari Boyolali yang bersungguh-sungguh dalam menegakkan amar putusan pengadilan dan penegakan hukum secara umum. Mereka tak berhenti memburu Maryoto, hingga menangkap pria itu di Provinsi Lampung, meski telah 16 tahun berlalu.

Sekolah yang Salah atau Publik Kurang Paham? Bias Kritik atas Pemecatan Novi Vokalis Sukatani Band
SIT bukan sekadar sekolah berlabel Islam, tetapi institusi yang memiliki sistem pembinaan ketat terhadap tenaga pendidiknya.

Mengundang Sinisme

Kesungguhan Kejari Boyolali sepatutnya diapresiasi. Kasus Maryoto hanya menimbulkan kerugian yang relatif kecil, 37 juta Rupiah. Tak sebanding dengan energi, waktu, dan biaya yang mungkin dialokasikan selama 16 tahun.

Masalahnya memang bukan pada biaya. Tetapi penegakan hukum! Ya, penegakan hukum yang konsisten dan pemenuhan rasa keadilan memang tak patut dihitung harganya. Tak akan bisa dihargai dengan uang!

Dengan sendirinya ia akan terbayar dalam bentuk hukum yang tegak, berwibawa, memenuhi rasa keadilan, dan menimbulkan efek jera bagi para pelaku kejahatan. Pada gilirannya, akan lahir tertib dan harmoni sosial yang berujung pada keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan bagi semua.

Kasus Maryoto di Boyolali jauh dari hingar bingar publisitas. Meski beberapa media mainstream mewartakannya, namun tak seintensif pemberitaan kasus korupsi lain yang dalam beberapa waktu ini mengaduk-aduk perasaan rakyat Indonesia, semisal kasus pengoplosan di Pertamina, Antam, dan PLN.

Menakar Kesaktian Sakti Wahyu Trenggono: Pagar Laut di Antara Kesetiaan pada Prabowo dan Jokowi
Sakti Wahyu Trenggono dan Jokowi adalah dua politisi yang sama-sama berasal dari Jawa Tengah. Jika dahulu sempat ramai isu perbincangan tentang “17 Orang Jokowi di Kabinet Merah Putih Prabowo”, mungkin Sakti Wahyu Trenggono termasuk dalam daftar itu.

Satu-satunya sisi menarik yang membuat para kuli tinta menaruh perhatian pada kasus Maryoto adalah fakta bahwa ia harus buron 16 tahun demi menghindari jerat hukum atas kerugian desa sebesar 37 juta Rupiah.

Ada dua angle yang sebenarnya bisa digunakan oleh para jurnalis untuk mencuri perhatian pembaca atas kasus lama, terjadi di daerah pula. Pertama, melihat dari sisi kesungguhan tim Kejari. Meski kasusnya remeh, tetapi hukum harus tegak. Ini bisa menjadi sudut positif yang menguntungkan bagi upaya penegakan hukum, sebagaimana pandangan penulis di atas. Lokalisasikan kawasannya di daerah itu. Jangan dikomparasikan dengan kasus lain. Apalagi kasus di pusat.

Kedua, angle dari sisi besaran nilai kerugian dan perburuan selama 16 tahun. Jurnalis bisa memotret dari sisi ini dengan narasi negatif atas penegakan hukum di Indonesia. Angle kedua inilah yang secara sengaja atau tidak justru menjadi perhatian dan komentar pembaca. Misalnya, “Giliran kasus korupsi recehan dan dilakukan oleh pejabat kelas Kepala Desa, hukum tegak setegak-tegaknya. Hingga 16 tahun pun bisa terungkap. Terus, apa kabar buron kasus BLBI, Edy Tansil, Harun Masiku, Paulus Tannos, Kirana Kotama, dan lain-lainnya?"

Korupsi 37 juta di vonis 2 tahun penjara plus denda mendekati 300%... Coba bandingkan dengan kasus Harvey Moeis, Rafael Alun. Berapa dendanya, berapa kurungannya?

Makanya kalau korupsi jangan tanggung! Kalau nilep ratusan hingga triliun, dijamin susah ketangkapnya. Penegak hukum jadi pada pilek, karena hasil korupsinya cukup banyak untuk menutup hidung aparat dan mensterilkan jejak.

Terjadi sinisme di ruang publik. Di era teknologi informasi yang begini pesat, memangnya repot melokalisasi sebuah locus delicti dalam ranah putusan hukum di satu daerah saja? Apalagi masih dalam kawasan sama-sama NKRI yang payung hukumnya sama, rasa keadilan itu tak mungkin dilokalisasi.

Pada akhirnya publik bingung sendiri, haruskah bersyukur atas tertangkapnya Maryoto? Atau meratapi penegakan hukum yang tumpul rasa keadilannya? Benarkah kita sedang menegakkan hukum tanpa tebang pilih?

Ya, nggak tahu... Kok tanya sama saya?

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.