Luar biasa. Rasanya kosa kata tersebut pun belum cukup untuk menggambarkan betapa hebohnya situasi politik yang mengiringi langkah pencalonan Gibran Rakabuming Raka untuk menuju kursi Wakil Presiden Republik Indonesia. Selain kehebohan, pencalonan Gibran – sang anak presiden – sebagai calon wakil presiden yang berpasangan dengan Prabowo Subianto juga mengundang sejumlah kontroversi, inkonsistensi, serta memakan sejumlah tumbal.
Paling anyar, kredibiltas moral Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari, harus remuk menjadi tumbal di depan altar etika. Hasyim Asy’ari diputus melanggar etik oleh Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) tersebab menerima pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden.
Para pengadu menuding Ketua dan Komisioner KPU telah terang-terangan melanggar prinsip kepastian hukum. Ada pun pasal yang digunakan oleh para pengadu untuk menggugat para komisioner KPU di depan mahkamah DKPP adalah peraturan KPU sendiri. Yaitu Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
“Para teradu terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggaraan Pemilu”. Begitulah amar putusan yang dibacakan oleh majelis hakim yang dipimpin langsung Ketua DKPP, Heddy Lugito.
Akibat tindak pelanggaran itu, DKPP memberikan sanksi berupa peringatan keras kepada Ketua KPU dan enam Komisioner yang lainnya. Sanksi tersebut mungkin tak berarti apa pun bagi sejumlah orang, namun sesungguhnya sanksi tersebut meruntuhkan moral dan kredibilitas para komisioner penyelenggara Pemilu.
Baca juga: Baliho dan Poster, Cendawan Pemilu di Musim Kampanye
Ada sejumlah tanya yang pasti melayang. Apakah pelanggaran itu tak akan terjadi lagi? Apakah mereka masih pantas memegang amanah konstitusi untuk menyelenggarakan event yang sangat penting dan berdampak luas bagi bangsa dan negara? Apakah para komisioner ini masih bisa dipercaya untuk bersikap adil dan jujur bagi para kontestan Pemilu yang lainnya? Meminjam penggalan lirik lagu Ebiet G Ade: “Coba kita bertanya kepada rumput yang bergoyang”.
Sebelumnya, institusi MK menjadi tumbal besar dalam proses yang sama. Bahkan, Ketua MK harus dicopot dari kedudukannya. Itu setelah melalui tangannya UU Pemilu juga harus ditumbalkan demi memuluskan langkah pencalonan Gibran Rakabuming Raka.
PDI Perjuangan, partai yang mengusung Joko Widodo dari walikota, gubernur, dan sampai pada kedudukan presiden hingga dua periode, boleh jadi ikut pula menjadi tumbal dalam drama pencalonan Gibran Rakabuming Raka. PDI Perjuangan mungkin menjadi sulit untuk mencapai hattrick atau menang tiga kali berturut-turut dalam kontestasi Pilpres, saat Gibran yang notabene juga kader PDI Perjuangan dicalonkan tanpa mekanisme baku partai. Ia bahkan menjadi lawan calon yang diusung oleh partainya sendiri; Ganjar Pranowo dan Mahfudz MD, setelah partai lain ramai-ramai mencalonkan dia.
Bansos tak luput dari tudingan turut dijadikan ganjal politik untuk mendukung kampanye Paslon nomor 2, dimana Gibran ada di situ. Konon, presiden bahkan memberikan titah langsung kepada para menteri untuk menyisihkan anggaran demi peningkatan volume Bansos di musim kampanye ini. Akibatnya, anggaran sejumlah kementerian harus ditumbalkan untuk lagi-lagi (menurut berbagai pihak) demi membantu langkah Prabowo-Gibran.
Apakah Akan Sebanding?
Apakah itu semua pengorbanan yang sebanding? Mungkinkah Gibran itu investasi yang amat berharga bagi Indonesia agar semakin hebat di masa yang akan datang? Sehingga pencalonan dirinya sebagai wakil presiden harus menjadi keniscayaan Sejarah?
Baca juga: Ketika Etika Jadi Tiket
Nah, kita perlu lihat, sebandingnya diukur dari kepentingan siapa dulu. Bagi Prabowo yang telah berkali-kali mencoba peruntungan untuk menjadi presiden, berkali-kali pula gagal, maka semua langkah untuk meloloskan Gibran agar bisa menjadi pendampingnya adalah sebanding dengan peluang kemenangan dan menduduki kursi kepresidenan.
Basis massa riil Prabowo ada di kisaran 40% lebih. Jika Jokowi yang menurut survei kebijakannya disukai oleh 80% warga negara Indonesia, bersatu dengan dirinya melalui Gibran, maka kemenangan itu akan mudah dan dekat.
Peduli amat dengan kepantasan dan kelayakan. Aturan toh bisa diubah, pejabat pendukung pun tak masalah jika harus dikorbankan sisi etik-nya. Semua itu akan sepadan dengan nilai kemenangan dan kursi kepresidenan yang kerap bersikap jinak-jinak merpati kepada Prabowo.
Bagi Joko Widodo, sudah barang tentu ini akan sebanding. Bahkan dari banyak sudut. Pertama, sudut formal yang kerap beliau ungkapkan, bahwa pembangunan yang telah dirintisnya selama 9 tahun mesti ada penerusnya. Ia butuh penerus yang loyal. Siapa yang lebih loyal daripada seorang anak?
Kedua, Jokowi tahu, langkahnya untuk jor-joran melakukan pembangunan infrastruktur, dari jalan tol, kereta cepat, LRT, food estate, bahkan IKN, tak semuanya berjalan sesuai harapan. Bahkan ada yang gagal atau belum tuntas. Jika presiden jatuh ke orang yang tak sejalan dengan dia, dikhawatirkan akan ada banyak temuan terkait masalah penganggaran, tata-aturan, hingga praktik KKN dan keterlibatan perusahaan orang-orang terdekatnya. Ini bisa mengganggu masa pensiunnya.
Ketiga, tetap memiliki akses pada pusat kekuasaan bahkan mungkin mewarnainya, tentu menjadi keinginan banyak mantan penguasa. Jokowi punya anak-anak yang telah ia didik untuk menjadi penerus dinasti politiknya. Maka wajar jika ia berharap dinastinya tumbuh kuat dan memiliki pengaruh jangka panjang. Menjadikan Gibran sebagai wapres pada Pemilu ini akan mengantarkan Gibran kepada peluang yang semakin terbuka untuk menjadi presiden pada lima tahun ke depan.
Baca juga: Blunder Membawa Berkah
Dari sisi Jokowi, semua kecaman, tudingan, bahkan rela berpisah dengan partai yang membesarkannya dan tumbal-tumbal lainnya, akan tetap sebanding dengan peluang untuk membawa dinastinya berpengaruh di jagat politik Indonesia dalam jangka panjang.
Lalu dari sudut rakyat Indonesia, apakah ini akan sebanding? Ini pun tak tunggal. Bagi mereka yang bermental Bansos, sudah barang tentu akan sebanding. Bagi rakyat yang memiliki standar etika dan kesetiaan, maka ini sungguh tak sebanding dan merusak.
Bayangkan, dibesarkan oleh partai, keluarganya didukung pula oleh partai, tetapi pada titik yang amat krusial, saat ia menduduki jabatan paling strategis dan berpengaruh, justru ia mendukung partai lain! Ada masalah kesetiaan dan etika berpolitik yang amat serius. Akankah ia tak mengkhianati rakyat? Akankah ini tak berujung pada munculnya rezim baru yang akan makin lihai mengotak-atik konstitusi dan aparatur demi kepentingan diri dan keluarganya? Ini bukan investasi. Ini adalah praktik rentenir demokrasi yang akan membuat nilai-nilai demokrasi mengalami defisit dan kebangkrutan!
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!