Hari-hari ini betapa banyak kita dengarkan keluhan para orang tua tentang anak-anaknya, para guru tentang murid-muridnya, para dai tentang binaan-binaannya, dan para suami tentang istri-istrinya. Seluruhnya berisi tentang curhatan, keluh-kesah, dan problem. Hampir semuanya mengeluhkan sulitnya melakukan pembinaan. Rata-rata menyampaikan susahnya mengendalikan perilaku yang – kata anak-anak sekarang – “makin ke sini makin ke sono”.
Bertambah hari kian bertambah sulit membina, membentuk, dan mengendalikan perilaku mereka. Ya, hampir rata-rata generasi yang disebut Generasi Milenial dan Generasi Z itu susah dikendalikan. Mereka seolah tidak lagi butuh dibina, dibentuk, dan dikendalikan perilakunya.
Anak merasa tak butuh lagi dididik orang tuanya, santri merasa tak butuh lagi dididik kiainya, binaan merasa tak butuh lagi dibina ustadznya, yunior merasa tak butuh lagi dikader seniornya, murid merasa tak butuh lagi diajari gurunya, begitu seterusnya. Mereka merasa bahwa untuk menjadi baik, menjadi saleh, menjadi kader, menjadi pemimpin, atau menjadi apa pun tidak harus dibina, diajari, dan dibentuk secara langsung oleh orang tua, guru, dai, atau siapa pun. Mereka merasa memiliki cara sendiri dan menganggap bahwa mereka bebas mau menjadi apa dan seperti apa, menganggap bahwa mereka bebas mengambil ilmu, wawasan, pengetahuan, dan pengalaman dari apa dan siapa saja.
Dan itu semua karena keseharian hidup mereka dikendalikan oleh gadget dan media. Jadilah gadget itu kiai mereka, orang tua mereka, guru mereka, ustadz mereka, senior mereka, dai dan mentor mereka, termasuk yang paling parahnya adalah menjadi sumber segala nilai kebaikan dan kebenaran. Baik-buruk dan benar-salah, standarnya adalah apa kata media, pedomannya adalah menurut apa dan siapa yang sedang viral, patokannya adalah apa dan siapa yang sedang “ngehit” dan “ngetren” di media. Itulah guru-guru mereka. Setiap saat mereka dibina, dibentuk, dimentor, dan ditalaqqi oleh media melalui gadget mereka.
Jadilah teringat satu kisah tentang seorang murid sahabat Rasulullah saw. Murid tersebut bernama Az Zubair bin 'Adi. Saat itu, bersama gurunya yang bernama Anas bin Malik, ia hidup di Kufah, Iraq, di masa kepemimpinan seorang gubernur bengis dan kejam bernama Hajjaj bin Yusuf. Di antara kekejamannya adalah perbuatan dia membunuh cucu Abu Bakar yang bernama Abdullah bin Zubair, anak dari Zubair bin Al Awwam, suami dari Asma binti Abu Bakar. Abdullah bin Zubair adalah juga murid dari Ibunda Aisyah binti Abu Bakar radhiyallahu anhum jamian.
Suatu hari, Az Zubair bin 'Adi mendatangi gurunya, yaitu Anas bin Malik, mengadukan dan mengeluhkan tentang perilaku Hajjaj yang zalim dan bengis. Az Zubair bin 'Adi bercerita,
“Kami pernah mendatangi Anas bin Malik ra, lalu kami adukan kepadanya akan apa yang kami dapati dari perilaku Hajjaj. Selanjutnya beliau berkata kepada kami, ‘Bersabarlah kalian, karena sesungguhnya tidaklah datang suatu masa kepada kalian kecuali masa-masa setelahnya akan jauh lebih buruk dari sebelumnya hingga kalian bertemu dengan Robb kalian, Aku mendengar demikian dari Nabi kalian’.” – HR. Bukhari
Ternyata memang Baginda Nabi Muhammad ﷺ telah mengabarkan sebelumnya bahwa di antara ujian hebat umat sepeninggal beliau adalah ujian kerusakan perilaku. Di masa yang kian jauh dari masa beliau, maka ia akan datang dalam kondisi lebih buruk. Anak-anak dan murid-murid yang merasa bebas tak butuh dididik dan dibina, orang-orang yang merasa bebas tak butuh diajari guru-guru dan kiainya, adalah fenomena yang membuktikan kebenaran kabar dari Rasulullah ﷺ.
Semoga Allah ﷻ berikan keistiqomahan kepada siapa saja dari umat Nabi Muhammad saw yang tetap berjuang meniti jalan petunjuknya di tengah gempuran kerusakan zaman.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!