Kontroversi tentang penerapan vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial (bansos) masih menjadi polemik. Kontroversi itu bermula dari usul Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, pertengahan April lalu, agar vasektomi atau kontrasepsi permanen bagi laki-laki menjadi syarat yang harus dipenuhi warga penerima bansos di provinsinya. Alasan Dedi mengangkat rencana mengintegrasikan bansos dengan program KB, karena kata dia, pemerintah tidak semestinya terbebani keluarga yang memiliki banyak anak.
Salah satu diskursus seputar isu kontroversial itu adalah diskusi publik yang digagas oleh INSIST (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations). Diskusi yang mengangkat tema yang menggugah sekaligus mengguncang, "Vasektomi untuk Penerima Bansos: Solusi atau Tirani?", itu menghadirkan tiga narasumber berlatar belakang komplementer. Mereka adalah Dr. Henri Shalahuddin (Direktur Eksekutif INSIST), Dr. Dinar Dewi Kania (Direktur CGS & Peneliti INSIST), serta dr. Valleria, Sp.OG (Dokter Spesialis Kandungan).
Isu ini bukan semata perkara medis atau kebijakan populasi. Ia menyentuh akar persoalan peradaban: Bagaimana kita memaknai tubuh, siapa yang berhak mengatur reproduksi, dan apakah kemiskinan dapat dihapus dengan menghapus potensi kehidupan?

Vasektomi dan Kekerasan Struktural Terselubung
Diskusi itu pun mengungkap, secara medis, vasektomi adalah prosedur yang memutus saluran sperma pria dengan tujuan menghentikan kemampuan reproduksi secara permanen. Tetapi dalam diskursus kebijakan sosial, vasektomi yang dikaitkan dengan pemberian bansos bukan lagi sekadar tindakan medis, melainkan bentuk kekerasan struktural. Ia adalah wajah baru tirani negara terhadap rakyat kecil, menghukum kemiskinan dengan pemutusan keturunan.
Lebih dari itu, kebijakan ini menunjukkan kegagalan sistemik dalam memahami akar kemiskinan yang sesungguhnya. Negara, alih-alih memerbaiki akses pendidikan, lapangan kerja, dan sistem ekonomi yang adil, justru memilih jalan pintas yang tidak manusiawi: membungkam rahim dan mematikan potensi.
UU TPKS dan Kekeliruan Akar Feminis
UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) banyak disebut sebagai capaian gerakan perempuan. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, UU ini mengadopsi logika feminisme liberal Barat yang menjadikan consent sebagai satu-satunya ukuran moralitas seksual. Selama ada persetujuan, maka zina bukan masalah. Selama tidak ada paksaan, maka homoseksual, pornografi, dan perubahan kelamin dianggap sah-sah saja.
Ini adalah kekeliruan berpikir yang fatal. Feminisme liberal telah mencabut manusia dari akar spiritualitasnya, mengganti hukum Tuhan dengan kehendak individu. Mereka membuang konsep halal dan haram, dan menertawakan fatwa ulama sebagai "intervensi patriarki".
Padahal, dalam Islam, batas moral tidak ditentukan oleh “kemauan bersama,” tetapi oleh wahyu. Perzinaan tetap haram meski dilakukan atas dasar suka sama suka. Tubuh tetap wajib dijaga meski pemiliknya rela menyakitinya. Maka, argumen bahwa vasektomi sah asal dilakukan secara sukarela, adalah kekacauan moral yang diselimuti jargon "pilihan".

Islam memuliakan tubuh manusia bukan karena tubuh itu milik pribadi, tetapi karena tubuh adalah amanah dari Allah. Ia harus dijaga, dihormati, dan digunakan sesuai kehendak Sang Pencipta. Di dalam pandangan Islam, tidak ada dikotomi antara tubuh dan jiwa. Menyakiti tubuh berarti menyakiti jiwa. Merusak organ reproduksi tanpa alasan syar’i adalah bentuk dosa besar.
Vasektomi, baik dilakukan secara sukarela apalagi dengan tekanan atau insentif bansos, tetap termasuk dalam kategori pelanggaran terhadap fitrah manusia. Islam mengharamkan seseorang memutus keturunannya secara permanen, kecuali karena alasan medis yang benar-benar darurat dan dibenarkan oleh ulama ahli.
Feminisme hari ini telah bergeser jauh dari cita-cita keadilan. Ia menjelma menjadi ideologi global yang melanggengkan pembunuhan janin (aborsi), mutilasi organ seksual (operasi kelamin), dan sterilisasi massal (vasektomi & tubektomi) atas nama choice. Mereka menyebutnya “kebebasan”, padahal itu adalah perbudakan jenis baru: manusia diperbudak oleh nafsunya sendiri, oleh sistem yang menyamar sebagai pembela hak.
Yang lebih tragis, feminisme tidak hanya menghancurkan perempuan, tapi juga laki-laki, anak-anak, bahkan keluarga sebagai institusi. Ia tidak membela yang lemah, ia menghancurkan makna kelembutan. Ia tidak membela kebebasan, ia menelanjangi manusia dari nilai-nilai kemanusiaan sejati.

Hari ini kita dihadapkan pada wajah baru perbudakan. Bukan dengan rantai, bukan dengan cambuk, tetapi dengan logika yang dirancang untuk membuat kita rela menyerahkan tubuh kita atas nama pilihan. Ini bukan pembebasan. Ini pemaksaan yang disamarkan.
"Saat negara mulai mengatur rahimmu untuk memberi bansos, dan aktivis feminis mendukungmu untuk memotong masa depanmu atas nama kebebasan, maka sejatinya kita sedang dipaksa untuk menghancurkan diri sendiri dengan tangan sendiri,".
Para ulama secara umum sepakat bahwa tindakan mensterilkan diri secara permanen seperti vasektomi haram, kecuali ada alasan darurat medis yang dibenarkan syariat, itupun harus atas pertimbangan ahli dan dengan izin suami-istri. Bahkan dalam kondisi darurat, prosedur permanen harus dihindari jika masih memungkinkan dengan cara yang reversibel (bisa dikembalikan).
Lebih tegas lagi, apabila vasektomi dipaksakan oleh negara atau dijadikan syarat memperoleh bantuan sosial, maka bukan hanya haram, tapi masuk kategori kezaliman yang nyata dan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pandangan syariat Islam.
Diskusi lalu menyatakan pula, vasektomi adalah bentuk mutilasi terhadap amanah Allah. Ia bukan solusi. Ia adalah dosa yang dibungkus jargon kesejahteraan.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!