Banyak pihak awalnya menyangka bahwa pesan “Adili Jokowi” hanyalah vandalisme biasa yang kerap menjadi bagian dari wajah kota. Tetapi, fenomena keserempakan muncul di beberapa kota di Jawa. Bahkan diikuti dengan konvoi. Sehingga, aksi vandalisme “Adili Jokowi” tampaknya perlu dilihat lebih serius.
Hal ini layak dilihat sebagai sebuah gerakan politik. Ada orkestrasi, ada target, tak melulu ekspresi sebuah kejengkelan atau ketidak-puasan sekelompok anak muda. Malah, kita harus berani membacanya sebagai kemarahan sebuah entitas politik yang menggunakan tangan-tangan anak muda dengan cat pilox-nya.
Tentu saja menarik untuk dijadikan tebak-tebakan (karena kalau dianalisis, kesannya serius dan akademis), siapa yang menjadi dirigen aksi vandalisme “Adili Jokowi” itu?
Tebak-tebakan adalah cara orang awam untuk sekadar tahu. Berharap tebak-tebakan ini mampu menghadirkan sejumlah jawaban yang bisa dipilih salah satunya, untuk “diyakini” sebagai jawaban paling tepat. Sekadar menuntaskan rasa ingin tahu, tak penting benar atau salahnya.
Tebakan orang awam akan mengarah kepada PDIP sebagai dirigen gerakan Adili Jokowi. Ada tiga hal yang mendukung asumsi mereka. Pertama, berita tentang kemarahan PDIP terhadap Jokowi telah menjadi santapan berita harian. PDIP dan Jokowi telah menjadi “Tom & Jerry” bagi masyarakat awam. Hal itu kerap hadir dalam acara debat publik dan komentar para juru bicara masing-masing yang selalu saling serang.
Baca Juga :
Apa Pentingnya OCCRP Mem-framing Jahat Jokowi?
Kedua, fakta bahwa vandalisme ini muncul dan diiringi konvoi di beberapa kawasan yang bisa disebut dekat dengan basis PDIP. Yogyakarta, Solo, Surabaya, dan Malang. Di Jakarta juga muncul, tetapi tak seserius di empat kota itu.
Ketiga, penggunaan coretan dinding amat identik dengan cara “wong cilik” menyampaikan protes. Di antara partai-partai lain, seniman cat pilox jalanan memang dianggap lebih dekat dengan ideologi PDIP.
Tetapi namanya juga tebak-tebakan orang awam. Bener syukur, nggak bener juga nggak masalah. Alur pikir orang awam seperti ini sangat dipahami oleh para pemain politik. Mereka kerap memanfaatkannya untuk membangun opini tertentu. Masyarakat digiring untuk mengambil kesimpulan masing-masing, tanpa sadar bahwa kesimpulannya telah dijadikan sebagai energi dorong, minimal melicinkan suatu tindakan politik. Tanpa pernah menyadari siapa aktornya.
Padahal, sangat bisa jadi, pihak yang tengah menyuarakan Adili Jokowi adalah kalangan yang saat ini lagi dianggap oleh orang awam sebagai partner koalisi Jokowi. Sebab, “nabok nyilih tangan”, “lempar batu sembunyi tangan”, adalah cara yang lumrah dalam perseteruan politik tingkat tinggi di tanah air.
Masyarakat awam barangkali perlu memerhatikan juga sisi media sosial. Jangan hanya terpaku pada vandalisme pesan Adili Jokowi saja. Bukankah setelah ramai berita tentang vandalisme dan konvoi Adili Jokowi, pesan serupa juga menjadi trending topic di platfom X?
Apakah netizen tersulut gerakan Adili Jokowi ala vandalisme dan konvoi? Belum ada pihak yang menganalisisnya.
Baca Juga :

Tetapi tidak tertutup kemungkinan, pesan Adili Jokowi menjadi trending topic di X adalah bagian dari orkestrasi. Seperti sebuah strategi perang, setelah serangan darat dilakukan, maka disusul serangan udara yang massif, agar efek serangan itu semakin serius dan melumpuhkan.
Serangan darat ditujukan untuk membetot opini kaum awam dan serangan udara ditujukan untuk menyusupkan pesan Adili Jokowi ke dalam pikiran masyarakat kelas menengah terpelajar. Apakah akan efektif? Waktu yang akan menjawabnya.
Pastinya, siapa pun orangnya, dirigen gerakan Adili Jokowi telah berhasil menyampaikan pesannya. Publik tanah air menerima pesan itu. Apakah mayoritas setuju atau tidak, tampaknya tidak terlalu penting. Karena bisa jadi, pesan itu memang tidak ditujukan kepada masyarakat luas.
Menilik diksinya, “Adili Jokowi” bermakna tuntutan. Sudah barang tentu, tuntutan itu ditujukan kepada kekuasaan, karena penguasalah yang memiliki kewenangan untuk mengadili. Pesan Adili Jokowi yang lumayan ramai melalui vandalisme disusul menjadi trending topic di media sosial tampaknya ingin memberi opini kepada penguasa bahwa rakyat banyak telah memberikan “mandat” kepada penguasa untuk mengadili Jokowi.
Siapa yang Berani?
Beberapa kalangan memang telah gerah dengan sepak terjang Jokowi selama 10 tahun memimpin Indonesia. Tudingan yang kerap kita dengar; Jokowi merusak tatanan demokrasi dan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, menjual negara kepada aseng, memelihara dan melindungi pengusaha nakal, dan lain-lain.
Sebagian pihak bahkan telah menempuh prosedur hukum dengan membuat laporan ke KPK. Sekadar agar ada pintu masuk untuk mengadili kesalahan Jokowi. Tetapi siapa yang berani untuk mengadili Jokowi? Lihatlah, laporan itu seperti beku. Tidak ada tindak lanjut.
Gerakan Adili Jokowi tampaknya dirancang untuk memberikan “vitamin” keberanian kepada para pihak terkait untuk mengambil tindakan hukum. Kasus pagar laut diharapkan menjadi momentum besar untuk mengawali tindakan itu. Kasus ini menjadi jendela yang setengah terbuka untuk menelisik hubungan misterius antara Jokowi dan Aguan.
Hubungan misterius itu diduga mengandung sejumlah pelanggaran yang memiliki spektrum luas. Dari pelanggaran konstitusi, hukum, dan bahkan kedaulatan negara.
Beberapa momentum penting telah lewat. Sebut saja kasus akun Fufufafa, kasus Budi Arie, dan Judol. Kasus-kasus itu semestinya cukup untuk dijadikan alasan untuk setidaknya melakukan proses penyidikan. Tetapi, lagi-lagi mandeg. Lantas siapa yang berani mengadili Jokowi?
Tak ingin kasus pagar laut raib begitu saja, gerakan adili Jokowi digemakan. Dengan satu tujuan: “Menguatkan nyali pemegang kekuasaan” bahwa rakyat banyak telah menuntutnya. Jadi, pemerintah tak perlu takut.
Sayangnya, gerakan Adili Jokowi tampaknya juga akan layu sebelum berkembang. Sentral kekuasaan telah menerima pesan itu dan telah pula memberikan jawabannya: “Sekarang ada yang mau memisahkan saya dengan Pak Jokowi. Lucu juga. Untuk bahan ketawa, boleh. Jangan, kita jangan ikut pecah belah-pecah belah. Itu kegiatan mereka-mereka yang tidak suka sama Indonesia.”
Begitulah antara lain isi pidato Presiden Prabowo Subianto dalam acara Konggres XVIII Muslimat NU di Surabaya. Entah ada hubungan atau tidak, yang pasti pidato itu disampaikan setelah dua hari ramai pesan “Adili Jokowi”. Jadi, siapa yang berani?

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!