Dua pekan terakhir, media massa kembali banyak mengangkat persoalan bully atau perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah. Sejumlah kasus kekerasan yang melibatkan anak usia sekolah baik sebagai korban maupun pelaku yang terjadi di sekolah bahkan membuat Presiden Joko Widodo berkomentar. Di dalam Kongres XXIII PGRI di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Sabtu (2/3/2024), Presiden Jokowi menegaskan, sekolah harus menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi para murid untuk belajar dan bermain. Bukan sebaliknya, malah menjadi tempat yang menakutkan.
Jokowi menegaskan hal itu sebagai respon atas peristiwa perundungan atau bullying yang terjadi di sejumlah lembaga pendidikan. “Sekolah harus menjadi safe house, harus menjadi rumah yang aman bagi siswa-siswa kita, untuk belajar, untuk bertanya, untuk berkreasi, untuk bermain, untuk bersosialisasi,” tegas Jokowi.
Jokowi menyatakan, ia sangat khawatir dengan terjadinya kasus bullying, kekerasan, dan pelecehan di lembaga Pendidikan. Apalagi, kejadian perundungan di sekolah akhir-akhir ini bahkan ada yang sampai memakan korban jiwa.
“Jangan sampai ada siswa yang takut, ketakutan di sekolah! Jangan sampai ada siswa yang tertekan di sekolah dan tidak betah di sekolah,” kata Jokowi.
Belakangan, aksi perundungan di sekolah memang kembali membuat resah. Salah satu kasus bullying yang mengemuka sejak pertengahan Februari adalah kejadian perundungan di sekolah internasional Binus di Serpong. Sekelompok siswa di Binus International School Serpong yang menamakan diri “Geng Tai” diduga telah melakukan perundungan terhadap seorang teman sekolah mereka. Mereka melakukan aksi perundungan itu dua kali, pada 2 dan 13 Februari 2024. Dan kasus perundungan itu kian menarik perhatian orang, lantaran salah satu anggota geng sekolah yang terlibat sebagai pelakunya adalah anak dari seorang selebriti yang kerap tampil di televisi.
Siswa korban perundungan di Binus itu dikabarkan sempat dirawat di rumah sakit dan kini mengalami trauma serta takut untuk ke luar rumah. Kondisi trauma itu diketahui usai korban menjalani pemeriksan psikologis di Kantor Unit Pelaksanaan Teknis Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Tangerang Selatan. Kepala UPTD PPA ketika itu mengatakan, korban mengalami trauma dan takut bertemu orang. UPTD PPA pun menyatakan akan terus melakukan pendampingan terhadap korban perundungan itu hingga kasus ini dinyatakan selesai.
Baca juga: Mengenal Metode Pembelajaran ala Ponpes Nuu Waar AFKN
Hingga kini, kasus perundungan atau bullying tetap menjadi pe-er (PR = Pekerjaan Rumah) besar bagi dunia pendidikan Indonesia. Sebab, jumlah kasus perundungan di sekolah yang melibatkan anak-anak sekolah masih tinggi. Bahkan jumlahnya menunjukkan peningkatan.
Sepanjang tahun 2023 saja, menurut catatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) seperti dikutip kompas.id, terjadi 30 kasus perundungan di satuan pendidikan. Di tahun sebelumnya terdapat 21 kasus. Menurut FSGI, 50% dari 30 kasus perundungan itu terjadi di jenjang SMP, 30% di tingkat SD, 10% di jenjang SMA, dan 10% terjadi di SMK. Kasus-kasus perundungan itu terjadi baik dilakukan peserta didik kepada temannya maupun oleh pendidik kepada peserta didik.
Data FSGI juga menunjukkan, selama paruh pertama 2023, jumlah korban perundungan di satuan pendidikan adalah 43 orang. Sejumlah 41 korban berasal dari peserta didik dan 2 orang lainnya adalah guru. Pelaku perundungan itu adalah 87 orang peserta didik, 5 orang pendidik, 1 orang kepala madrasah, dan orang tua (1 orang).
Data tentang tingginya jumlah perundungan di sekolah itu tentu memprihatinkan. Sebab, sebenarnya telah ada Permendikbudristek Nomor 82 Tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan. Jadi, berdasarkan Permendikbudristek tersebut, setiap lembaga pendidikan perlu mengambil langkah-langkah pencegahan, antara lain membentuk satuan tugas anti kekerasan dan membuka kanal pengaduan secara daring.
Bullying atau perundungan pun kian menjadi isu yang meresahkan. Sebab, ia dapat terjadi di mana saja, termasuk di sekolah, lingkungan tempat tinggal, bahkan melalui platform online. Tetapi memang yang paling membuat prihatin adalah ketika perundungan itu terjadi di sekolah. Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak-anak ternyata justru menjadi lokasi tempat tumbuh suburnya aksi perundungan.
Dan entah apa yang terjadi pada anak-anak di zaman sekarang. Mereka bisa sangat ekspresif bahkan berlebihan dalam mengungkapkan perasaan. Juga dalam melampiaskan emosi. Anak-anak pelaku perundungan yang selama ini teridentifikasi itu sanggup melakukan hal-hal yang dulu mungkin hanya ada dalam film fiksi, dan tak pernah terbayangkan akan bisa dilakukan manusia di dunia nyata, apalagi oleh anak-anak.
Baca juga: “Bayar Seikhlasnya”, Program Unik Madrasah Tahfidz An Nashar Parung
Bullying sendiri adalah pola perilaku. Ia bukan insiden yang terjadi sekali-kali. Ia terjadi karena disengaja oleh pelakunya untuk menyakiti korbannya, terjadi secara berulang-ulang, dan menunjukkan perbedaan kekuasaan. Anak-anak yang melakukan bullying biasanya berasal dari status sosial atau posisi kekuasaan yang lebih tinggi, misalnya tubuhnya lebih besar, lebih kuat, dan sebagainya. Seorang pelaku bullying memang bermaksud menyebabkan rasa sakit pada korbannya, baik menyakiti fisik atau kata-kata atau perilaku yang menyakitkan, dan melakukannya berulang kali. Anak-anak yang paling rentan dan berisiko di-bully kerap kali berasal dari kalangan marjinal. Misalnya masyarakat yang terpinggirkan, mereka yang berpenampilan atau ukuran tubuh berbeda, dari keluarga berpenghasilan rendah, anak-anak penyandang disabilitas, maupun anak-anak migran dan pengungsi.
Kini perundungan bahkan tak hanya terjadi secara langsung tetapi lewat online. Cyberbullying sering terjadi melalui media sosial, SMS/teks atau pesan instan, email, atau platform online. Maka, orang tua perlu juga mengikuti apa yang dilakukan anak-anak mereka di platform media sosialnya, untuk mengetahui apakah anaknya sedang terpengaruh atau tidak.
Perundungan pun menjadi hal yang kian meresahkan, karena dapat menimbulkan dampak jangka pajang yang berbahaya bagi anak-anak. Selain efek fisik, anak-anak korban perundungan bisa mengalami masalah kesehatan mental dan emosional, termasuk depresi dan kecemasan. Hal itu dapat memicu perilaku penyalah gunaan narkoba dan menurunkan prestasi di sekolah.
Maka, penting bagi semua orang tua untuk peduli. Bullying harus dihentikan. Mulai dari dalam rumah. Ajari anak-anak tentang bullying, agar dapat mengidentifikasi dengan lebih mudah. Amati keadaan emosi anak Anda, karena beberapa anak mungkin tidak mengungkapkan kekhawatiran mereka secara lisan. Jalin komunikasi secara terbuka dan sering kepada anak-anak, sehingga mereka semakin nyaman untuk memberi tahu orang tuanya jika mereka melihat atau mengalami perundungan.
Tanyakan aktivitas anak-anak Anda setiap hari, sewaktu di sekolah maupun aktivitas mereka secara online, termasuk tentang perasaan mereka. Bantu anak Anda agar menjadi panutan yang positif. Bangun kepercayaan diri anak Anda. Dengarkan anak secara terbuka dan tenang, untuk membuat mereka merasa didengar dan didukung. Dorong anak Anda untuk mengikuti kelas atau bergabung dengan kegiatan yang ia sukai di lingkungan atau di sekolahnya. Serta menjadi teladan, dengan menunjukkan kepada anak Anda tentang bagaimana memperlakukan anak-anak lain dan orang dewasa dengan kebaikan dan rasa hormat.
Semoga kasus perundungan anak dapat terus ditekan hingga ke tingkat minimal. Aamiin.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!