Semua pihak rasanya sepakat untuk menilai bahwa Pilpres (Pemilihan Presiden) Turki kali ini adalah pertarungan antara Pro Islam dengan Pendukung Sekularisasi. Memang masih banyak kalangan yang menyebutkan sejumlah kekurangan Erdogan dan mengatakan ia belum mewakili Islam yang sesungguhnya. Tetapi tak bisa dimungkiri, realitanya dialah yang banyak berjasa dalam membangkitkan semangat keislaman di Turki. Hal yang membuat ia dibenci kelompok sekuler dan kuffar di barat dan timur.
Kaum muslimin, terutama para pengungsi Suriah yang selama ini ditampung pemerintah Turki, bergembira atas kemenangan Erdogan atas Kemal Kilicdaroglu, sang sekuler sekte alavi. Kegembiraan pasca Pilpres putaran kedua di Turki itu mengingatkan kita tentang suasana tatkala kaum muslimin yang sedang hijrah ke Habasyah, membayangkan bagaimana ketar-ketir dan harap-harap cemasnya kaum muslimin waktu itu.
Sebagaimana diketahui, kaum muslimin yang sedang lemah saat itu diperintahkan Rasulullah ﷺ untuk hijrah. Mereka lalu ditampung oleh Najasyi, Raja Habasyah. Najasyi menerima dengan baik dan memberi mereka perlindungan, sehingga mereka bisa hidup aman di Habasyah.
Tetapi situasi politik Habasyah saat itu sedang genting. Najasyi menghadapi upaya kudeta. Najasyi pun lantas berperang melawan pihak yang mengkudetanya. Sampai akhirnya Najasyi memerintahkan kaum muslimin di bawah pimpinan Ja'far bin Abi Thalib untuk masuk kapal dan menunggu di laut. Jika dia menang, mereka boleh kembali. Tetapi kalau dia kalah, maka silakan Ja'far dan kawan-kawan segera pergi berlayar ke mana saja.
Harap-harap cemas menjalari perasaan kaum muslimin. Di saat itulah, para sahabat mengutus Zubair bin Awwam untuk berenang menggunakan pelampung menyusuri Sungai Nil. Tujuannya untuk memantau perkembangan, siapa yang menang di antara keduanya. Sebab, Najasyi dan pasukannya ketika itu tengah berperang di tepi sungai.
Kesedihan para sahabat digambarkan oleh Ummu Salamah dalam perkataannya,
"Demi Allah, kami belum pernah bersedih melebihi kala kejadian ini karena khawatir, kalau si pengkudeta ini berhasil mengalahkan Najasyi, maka dia adalah orang yang belum tentu bisa memperlakukan kami sebaik Najasyi."
Di saat menunggu berita itu, para sahabat berdoa sebagaimana diceritakan Ummu Salamah,
"Kami berdoa kepada Allah agar Najasyi mendapat kemenangan dan berkuasa kembali di negerinya, karena ketika berada di bawah kekuasaannya kami mendapatkan tempat yang baik sampai kami kembali kepada Rasulullah yang masih berada di Mekah."
Lalu Zubair pun datang berlari dan memberi kabar gembira. Najasyi berhasil memenangkan pertempuran dan orang yang mengkudetanya telah tewas. Maka, para muhajirin yang dipimpin Ja'far pun bergembira sebagaimana digambarkan oleh Ummu Salamah,
"Demi Allah, belum kami tahu ada yang lebih menggembirakan kami melebihi menangnya Najasyi melawan musuhnya ini."
Kisah selengkapnya tentang peristiwa itu ada di Sirah Ibnu Hisyam jilid 1 halaman 272-273 terbitan Dar Ibni Rajab. Juga dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya nomor hadits 1740, musnad Ja'far bin Abi Thalib, Al-Baihaqi dalam Dala'il An-Nubuwwah dan juga Abu Nu'aim dalam Hilyatul Awliya' dan dalam Dala'il An-Nubuwwah, semua bersumber dari Ibnu Ishaq yang berkata, Muhammad bin Muslim bin Syihab menceritakan kepadaku, dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits, dari Ummu Salamah. Sanad ini kuat, karena Ibnu Ishaq menggunakan shighat tahdits eksklusif (haddatsani).
Ada pelajaran dari hadits tersebut. Pertama, disyariatkan berharap kemenangan untuk orang yang berlaku baik terhadap kaum muslimin. Kedua, tidak hanya berharap, tetapi turut mendoakan kemenangannya, agar yang jahat tidak berkuasa, apalagi jika dia muslim yang melawan kafir. Karena Najasyi waktu itu, sebagaimana dalam riwayat Ibnu Hisyam di sirahnya, telah menulis surat kepada Ja'far bahwa dia mengakui tiada ilah selain Allah dan Muhammad adalam utusan Allah dan Isa adalah hamba dan utusan Allah.
Ketiga, boleh bergembira dengan menangnya kafir yang lebih ringan melawan kafir yang lebih parah, sebagaimana gembiranya kaum muslimin atas kemenangan Romawi melawan Persia. Keempat, khawatir dan cemas akan kekalahan bukanlah aib dan tidak menghilangkan makna tawakkal, melainkan justru merupakan bentuk ubudiyyah kepada Allah, karena menyadari kelemahan diri dan menyandarkan apa pun hanya kepada Allah sembari melakukan ikhtiar minimal hanya berdoa dengan penuh kesungguhan dan tawakkal.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!