"Kamu telah melakukan perbuatan nista, keji, dan dosa besar. Kamu harus tobat dengan sebenar-benarnya! Dosamu sangat berat. Berat sekali."
Meski Kiai Ghufron berbicara dengan lembut, tetapi aku tetap merasakannya seperti tertimpa batu-batu gunung yang menghimpit dan menindih tubuhku hingga terasa sesak. Saat itu aku bisa membayangkan betapa kesalahan dan kemaksiatanku sangatlah berat.
Tubuhku memberat dalam duduk simpuh di hadapan Pak Kiai. Tangisku semakin pecah, lalu menggigil saat beliau melanjutkan ucapannya.
"Dalam syariat Islam, dosamu seharusnya dibersihkan dengan cara dirajam," tegasnya.
Sejenak beliau terdiam. Lalu kembali melanjutkan, "Apa kamu mengerti bagaimana beratnya proses rajam bagi pelaku zina?"
Baca Juga : Api Cinta (Episode 6)
Aku tak lagi bisa berkata-kata. Hanya tangisku sebagai jawabannya. Aku sudah mengerti, tetapi biarlah Pak Kiai tetap menyampaikannya. Aku berharap agar jiwaku semakin pecah.
"Saya sendiri tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya… Jangankan sebagai orang yang dirajam, dengan tangan diikat lalu ditanam separuh badan agar ia tak bisa lari, lalu dilempari batu. Batu tak boleh terlalu kecil hingga membuatnya lama mati, juga tak boleh terlalu besar hingga sekali lempar langsung mati.”
“Tetapi batu-batu itu pastilah sangat-sangat menyakitkan. Boleh jadi saking tak kuatnya menahan rasa sakit ia berteriak-teriak. Tetapi selama ia belum mati, maka batu-batu tetap harus dilemparkan. Boleh jadi ia ingin lari tetapi bagaimana mungkin ia bisa lari? Dan saat luka-luka oleh lemparan batu yang menghantam kepala, hidung, bibir, mata, merobek-robek dan menyayat kulit itulah, boleh jadi setan justru datang. Setan datang dengan tujuan merusak dan mencuri kesempatan.”
“Setan akan terus membisiki dan menggoda agar orang yang dirajam dan di tengah kesakitannya yang luar biasa itu berteriak mencaci-maki, berkata kotor, dan boleh jadi sampai kufur dengan menghina Allah. Siapa yang bisa menjamin di tengah pedihnya luka-luka yang sudah tak kuat ia rasakan lalu ia tetap ikhlas? Saya sendiri takut membayangkannya.”
“Tetapi masih ada tantangan yang lebih berat dari ini.”
“Kamu tahu bahwa hukum rajam tak mungkin diterapkan sekarang, karena negara kita tidak menerapkan hukum dan syariat Allah. Mudah-mudahan Allah mengampuni kita dan tidak turunkan murka-Nya karena kita belum bisa menerapkan seluruh syariat-Nya. Maka tantanganmu semakin berat. Bertobat dari dosa besar. Taubatan nasuha itu berat. Tidak mudah. Butuh niat suci. Ikhlas karena Allah.”
Baca Juga : Api Cinta (Episode 5)
Panjang lebar Kiai Ghufron terus menasihatiku, sementara aku terus menitikan air mata.
“Apa kamu bisa menghadirkan niat ikhlas, suci, bersih dari godaan apa pun? Seandainya kamu dihadapkan pada hukuman rajam, niscaya kamu akan menghadapinya dengan terlebih dahulu bertobat. Tetapi saat kamu tak menghadapi hukuman berat apa pun, dan hanya berkewajiban untuk bertobat saja tanpa merasakan pedihnya hantaman batu-batu, justru boleh jadi kamu akan merasa memiliki banyak kesempatan untuk mengulur waktu tobatmu.”
“Saat kamu terlena, maka kamu bisa bermaksiat zina lagi karena merasa tak ada ancaman hukuman rajam.”
“Apa kamu sanggup menjaga hatimu agar tetap dalam keadaan bertobat dan membenci zina?”
“Apa kamu mampu menghindar dari godaan-godaan film porno?”
“Apa kamu sanggup menahan nafsu syahwat di saat istrimu sekarang tak mau lagi kamu sentuh?”
Kiai Ghufron berdiam kembali. Seakan merasakan beratnya kata-kata yang diucapkannya sendiri. Seraya agak bergetar, bibirnya kembali berucap.
"Saya tadinya benar-benar tak menyangka orang mukmin bisa berzina. Selama ini saya menganggap bahwa seorang mukmin akan sangat dengan mudah menghindari zina, dosa keji yang dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya hingga hari kiamat. Sebab, orang mukmin itu pasti dia melaksanakan shalat, puasa, mengaji, berzikir, dan lain sebagainya. Maka tak mungkin dia bisa jatuh dalam perbuatan kotor zina....”
“Ternyata saya salah. Justru kini saya mendengar dengan telinga saya sendiri, melihat dengan mata kepala saya sendiri, kamu yang telah mengakui perbuatan keji zina. Kamu yang aktif dalam pengajian. Kamu yang pernah bertekad untuk bertobat dengan menikah agar terhindar dari dosa zina yang pernah kamu lakukan, ternyata kamu juga yang jatuh lagi dalam perbuatan keji itu padahal kamu sudah menikah. Kamu tentu sadar itu semua, kan?"
Dalam panjang tangisku, aku hanya mampu mengangguk. Bukan anggukan yang menyatakan kesanggupanku melaksanakan beratnya bertobat. Bukan itu. Tetapi lebih pada sikap pasrah dan ridha dengan kehinaan diri. Semua yang disampaikan oleh Kiai Ghufron adalah cambukan buat diriku yang telah berbuat laknat maksiat.
"Kamu harus merasakan kehinaan dirimu akibat lalai menjaga kesucian yang telah Allah anugerahkan kepadamu. Kamu harus merasakan kehinaan dirimu, karena kamu telah merusak kehormatanmu sendiri. Kamu harus merasakan kehinaan dirimu, sebab kamu telah merusak fitrah tunduk patuhmu kepada Allah.”
“Kamu harus tahu bahwa semua kemaksiatan adalah kekufuran kepada Allah, karena tak pernah sekali pun Allah menyuruh untuk bermaksiat. Maka dengan maksiat besarmu itu kamu telah melakukan kehinaan di hadapan Allah.”
“Dan setelah itu kamu harus kembali kepada Allah. Bersungguh-sungguhlah dalam meminta ampunan-Nya. Bersungguh-sungguhlah saat meminta kepada-Nya. Pecahkan hatimu saat kamu butuh ampunan dan kasih sayang-Nya. Semoga Allah berkenan menerima tobatmu."
Pesan dan kata-kata terakhir Kiai Ghufron semakin membuatku larut dalam tangis syahduku. Rindu untuk segera kembali ke dalam kesucian diri dan fitrahku. Kuingin segera berlari menuju ampunan Allah. Ingin segera kutumpahkan seluruh rasa sesalku atas perbuatan nistaku. Ingin segera kuhadapkan wajah hinaku dalam sujud-sujud panjang mengharap ridha-Nya. Aku ingin kembali kepada-Mu, ya Allah.
Aku masih sisakan tangisku saat pulang dari rumah Kiai Ghufron. Tangis kehinaan diri. Tangis penyesalan hati. Sungguh kata-kata beliau sangat keras menghentak jiwaku. Tetapi aku ridha. Aku sangat layak menjadi orang hina. Tetapi diriku memang sangat bodoh. Seharusnya cukup bagiku menghentikan kemaksiatanku saat Allah sudah menegurku lewat istriku yang memergokiku sedang menonton film porno. Namun, aku kembali buta oleh dorongan nafsu.
Yang pasti, tak ada lagi gunanya berandai-andai. Tak akan mampu mengembalikan waktu. Semuanya kini sudah menjadi tanggung jawabku. Seluruh risiko terburuk dalam kelanjutan rumah tanggaku pun aku sudah harus siap menerima.
"Ya Allah, kasihan sekali istriku. Semua perbuatan nista juga berdampak buruk pada dirinya."
Kedatanganku ke rumah Kiai Ghufron juga atas dorongan kegalauan hatiku setelah seluruh keluarga istriku menyadari bahwa sakit yang diderita istriku disebabkan oleh suatu virus yang belum ditemukan obatnya.
Saat itu tiba-tiba HP-ku berdering. Kulihat layar telepon ternyata ibu mertuaku yang memanggil. Berarti telepon dari Semarang. Namun sebelum kuangkat ternyata panggilan sudah dimatikan.
Ya Allah, ada apa gerangan? Mendadak pikiranku kalut. Sungguh aneh sekali. Tetapi tak lama kemudian beliau mengirim pesan whatsapp.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!