Tanya:
Assalamualaikum ustadz, semoga sehat wal afiyat dalam lindungan Allah. Terlebih di bulan Ramadan ini. Saya ada titipan pertanyaan ustadz:
“Apakah boleh menyalurkan zakat mal berupa sembako untuk kaum fuqara dhuafa di daerah yang memang benar-benar miskin dan tandus seperti Sudan atau negara Afrika lainnya, yang kemungkinan lebih memudahkan mereka dapat bahan makanan langsung daripada berupa uang karena harus ke kota dan banyak kesulitan lainnya bila diberikan dalam bentuk uang.
Mohon pencerahannya
Jazakallahu khairan
Ummu Raihanah, Sydney Australia
Jawab:
Kalau kejadiannya seperti yang ditanyakan maka boleh memberikan uang zakat dalam bentuk bahan makanan pokok lantaran ada maslahat yang sangat jelas untuk mustahiq.
Pada dasarnya zakat harus ditunaikan kepada mustahiq utuh dalam bentuk harta yang wajib zakat itu sendiri. Misalnya kalau zakat ternak maka penyalurannya harus berupa ternak, kalau hasil pertanian maka diserahkan dalam bentuk hasil pertanian, kalau hartanya berbentuk uang, maka harus diserahkan dalam bentuk uang. Hal seperti ini telah menjadi kesepakatan para ulama.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal; bolehkah harta tersebut diubah ke bentuk lain yang senilai harganya? Di sini jumhur ulama yang merupakan pendapat resmi madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali tidak memperbolehkan mengganti harta penyaluran zakat dari aslinya atau dengan kata lain membayarkan senilai. Hanya madzhab Hanafi yang membolehkan dan didukung sebagian ulama muhaqqiqin.
Setelah mengamati alasan berbagai ulama, dalam masalah ini saya cenderung pada pendapat yang mempertimbangkan kemaslahatan. Patokannya, sebisa mungkin zakat harus disalurkan dalam bentuk harta yang wajib dikeluarkan sebagaimana pendapat mayoritas ulama dan tidak boleh diganti dengan barang lain yang senilai.
Tapi ada beberapa kondisi yang menuntut muzakki maupun wakilnya dari kalangan relawan atau lembaga kemanusiaan, yang terpaksa membelikan barang untuk keperluan mendesak. Misalnya dalam kasus bencana alam, di mana pasar tutup, kalaupun buka maka harga akan sangat tinggi. Sehingga lembaga kemansuiaan tersebut membeli kebutuhan pokok siap pakai di daerah yang masih aman dan menyalurkannya kepada penyintas. Hal ini lebih bermanfaat dan dibutuhkan oleh penyintas ketimbang memberikan kepada mereka dalam bentuk uang, yang mereka sendiri justru bingung mau belanja kemana. Apalagi dengan situasi duka dan lebih memikirkan kesalamatan nyawa, diri dan keluarga dibanding melakukan kegiatan ekonomi.
Inilah yang mendasari beberapa ulama berfatwa bolehnya menyalurkan zakat dalam bentuk barang yang dibutuhkan mustahiq. Mereka yang berfatwa demikian antara lain:
- Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayat Abu Daud
Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni:
“Abu Daud berkata, Ahmad ditanya tentang seorang yang menjual buah kurmanya, maka dia menjawab, “Zakat sepuluh persennya diwajibkan atas orang yang menjualnya.” Ditanyakan lagi, dia harus mengeluarkan dalam bentuk buah atau uangnya? Dia menjawab, “Terserah dia, boleh uang bolah buah”.
(Al-Mughni terbitan Dar Al Fikr jilid 2 hal. 671).
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Beliau berkata dalam Majmu’ Fatawa:
“Adapun mengeluarkan nilai dalam zakat dan kaffarah atau semisalnya, maka menurut yang dikenal dalam madzhab Maliki dan Syafi’i tidak diperbolehkan. Tapi menurut Abu Hanifah itu dibolehkan. Sedangkan Ahmad –rahimahullah- membolehkan di beberapa riwayat dan melarang di riwayat lain. Di antara pengikut Ahmad ada yang menetapkan nash dari Imam, ada pula yang menjadikannya dua riwayat. Yang paling tampak dalam masalah ini adalah, mengeluarkan zakat dengan barang senilai (bukan barang asli wajib zakat –penerjemah) tanpa adanya keperluan tidak diperbolehkan.”
Kemudian setelah mengungkapkan dalil dan alasannya beliau berkata lagi,
“Adapun mengeluarkan barang senilai karena adanya keperluan dan maslahat atau keadilan maka itu tidak mengapa. Misalnya orang yang telah menjual hasil buah kebunnya dengan dirham, maka dalam hal ini dia bisa mengeluarkan sepersepuluh dari uang dirham hasil penjualan itu dan tak perlu dia membeli buah atau gandum bila dia telah membagikannya kepada fakir miskin sendiri.
Imam Ahmad sendiri menegaskan kebolehan ini, misalnya dalam kasus orang yang wajib zakat satu ekor kambing karena dia punya lima ekor unta tapi dia tidak menemukan orang yang menjual kambing maka dalam hal ini dia cukup mengeluarkan uang seharga kambing itu dan tidak dibebankan untuk pergi ke kota lain hanya demi membeli kambing untuk zakat.
Kasus lain misalnya mustahiq sendiri yang memintanya untuk dibelikan barang karena itu lebih bermanfaat buat mereka, atau petugas zakat menganggap itulah yang lebih mereka butuhkan.
Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal bahwa dia berkata kepada penduduk Yaman, “Berikan kepadaku pakaian saja, itu lebih mudah bagi kalian dan lebih bermanfaat bagi penduduk Madinah dari kalangan Muhajirin maupun Anshar.” Tapi ada yang mengatakan pernyataan Mu’adz ini untuk jizyah, ada pula yang mengatakan untuk zakat.”
Nukilan dari Majmu’ Al-Fatawa jilid 25 hal. 82-83.
Di sini Ibnu Taimiyah membolehkan mengganti uang dengan barang bila memang itu yang paling diperlukan.
- Syekh Abdul Aziz bin Baz
Dalam salah satu fatwanya beliau mengatakan,
“Dibolehkan mengeluarkan barang sebagai ganti uang berupa pakaian, makanan dan lain sebagainya jika memang itu yang dilihat lebih bermaslahat untuk mustahiq dengan tetap memperhatikan nilai barang tersebut sepadan dengan uang zakat. Misalnya dalam kasus mustahiq itu gila, lemah akal, boros, tak mampu bertindak, yang bila diberikan sejumlah uang ditakutkan dia akan mempermainkannya. Dalam hal ini yang lebih maslahat adalah memberikannya makanan, atau pakaian yang berguna untuknya dari uang zakat tersebut. Inilah yang lebih kuat di antara pendapat para ulama.”
(Majmu’ Fatawa wa Maqaalaat Ibni Baz 14/253).
- Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di
Ditemukan dalam kitab Al-Mukhtaraat Al-Jaliyyah min Al-Masa`il Al-Fiqhiyyah yang merupakan kumpulan pilihan fikih beliau yang dikumpulkan oleh Muhammad bin Ayyadi Khathir hal, 61:
“Yang benar zakat komoditas perdagangan boleh dengan barang dagangan itu sendiri (tidak perlu diuangkan –penerj) karena zakat itu mempermudah sehingga tidak dibebankan dari harta yang bukan jenis wajib zakat. Sebagaimana yang benar adalah bolehnya mengeluarkan nilai (qiimah) dalam zakat bila itu bermaslahat untuk penerima zakat.”
Dari kesemua paparan ini maka dibolehkan membelanjakan uang zakat tersebut dalam bentuk bahan makanan atau keperluan lain yang urgent dibutuhkan mustahiq, dengan syarat bila memberikan uang justru akan mempersulit mereka. Namun bila memberikan uang tidak mempersulit mereka maka wajiblah memberikan dalam bentuk uang.
- Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi
Fatwa nomor 13232
Pertanyaan:
Kami ingin minta nasehat dari antum sekalian tentang membelanjakan uang zakat dengan bahan makanan dan barang-barang kebutuhan seperti pakaian lalu membagikannya ke beberapa kawasan negeri muslim yang faqir seperti Sudan, Afrika dan Mujahidin Afghanistan, terutama dalam kondisi bahan tersebut tidak tersedia di sana dengan harga yang masuk akal. Kalau pun ada maka harganya sudah tinggi tidak masuk akal.
Jawab:
Bila demikian keadaannya maka tidak ada masalah demi mempertimbangkan maslahat para mustahiq.
(Fatawa Lajnah Ad-Da`imah jilid 9 hal. 433).
Kesimpulan dan saran:
Hendaknya berusaha memberikan uang zakat dalam bentuk uang kepada mustahiq dan jangan membelikannya barang.
Pembelian barang hanya dilakukan bila ada kebutuhan mendesak dan memberi uang malah mempersulit atau merugikan mustahiq.
Dijawab oleh Ustadz Anshari Taslim, Lc. / Mudir Pesantren Bina Insan Kamil - DKI Jakarta
Bagi pembaca setia Sabili.id yang ingin mengajukan pertanyaan seputar kaidah hukum Islam, silahkan mengirimkan pertanyaannya ke meja redaksi kami melalui email: [email protected]
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!