Tanya:
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Afwan, mengganggu Ustadz. Mohon izin, saya ingin bertanya.
Istri saya hamil, lalu bayi kami meninggal dunia di dalam kandungan saat usia kehamilan 4 bulan. Secara fisik, bayinya sudah lengkap tangan, kaki, dan lain-lain. Apakah ia harus dishalati?
-- Usep, santri Pesantren BIK, Tangerang
Jawab:
Wa‘alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh.
Menurut pendapat mayoritas ulama, maka bayi yang lahir dalam keadaan wafat tidak wajib dishalati. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i. Sementara madzhab Hanbali menyatakan, jika sudah di atas 4 bulan maka wajib dishalati layaknya orang biasa.
Berikut ini rinciannya:
- Jika janin itu belum ditiupkan ruh dan para ulama menetapkan usia 4 bulan kandungan, atau gugur sebelum usia itu, maka dianggap belum jadi manusia, sehingga tidak dishalati, dimandikan, dan lainnya, hanya dibungkus lalu ditanam di tanah. Ini kesepakatan para ulama.
- Jika janinnya lahir sempat berteriak sebagai tanda kehidupan setelah usia kandungan 4 bulan, maka para ulama sepakat dia dishalati dan diurus layaknya manusia biasa.
- Jika di atas 4 bulan atau berapa pun usianya lalu lahir dalam keadaan mati, maka ada beda pendapat. Mayoritas ulama dari ketiga madzhab menganggap tidak perlu dishalati. Hanya madzhab Hanbali yang mengatakan tetap wajib dishalati.
Dalil bagi madzhab Hanbali adalah hadits dari Mughirah bin Syu’bah, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Orang yang berkendaraan hendaknya di belakang jenazah, yang berjalan kaki di depan jenazah atau di dekatnya di sebelah kanan maupun kiri. Janin keguguran dishalati dan didoakan ampunan dan Rahmat untuk kedua orang tuanya” – HR Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang shahih
Selain itu, ada atsar dari Abdullah bin Umar RA bahwa dia menyalati cucunya yang lahir dalam keadaan meninggal dunia.
Sementara dalil bagi jumhur (mayoritas) ulama adalah hadits Jabir yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi RA di mana Rasulullah ﷺ bersabda,
“Bayi itu tidak dishalati dan tidak mewarisi atau mewariskan sampai dia didengar teriakannya (saat lahir).”
Di sini, redaksinya tegas bahwa kalau dia lahir dalam keadaan meninggal maka tidak dishalati. Tetapi hadits ini dipersoalkan, apakah ucapan Rasulullah (marfu’) atau hanya ucapan Jabir (mauquf) sebagaimana keterangan At-Tirmidzi yang kemudian menguatkan riwayat yang mauquf. Artinya, dia bukan ucapan Rasulullah melainkan hanya pendapat Jabir.
Tetapi ada satu jalur dari Jabir juga yang shahih dari Nabi ﷺ dengan redaksi:
“Jika bayi itu lahir dalam keadaan berteriak maka dia dishalati dan mendapatkan warisan” – HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan Al-Baihaqi dengan beberapa sanad dari Jabir
Redaksi ini tidak ada kalimat “kalau tidak maka tidak”. Sehingga digunakanlah yang namanya mafhum mukhalafah bukan berdasarkan nash. Artinya, kalau tidak berteriak maka tidak dishalati dan tidak pula mendapatkan warisan.
Kesimpulannya, mana pun pendapat yang mau dipakai insya Allah sah. Sebaiknya mengikuti kebiasaan masyarakat. Atau masing-masing melakukan sesuai keyakinannya. Bagi yang menyalati diberi kesempatan untuk menyalati. Bagi yang tidak, maka tak perlu shalat.
Wallahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Anshari Taslim, Lc. / Mudir Pesantren Bina Insan Kamil - DKI Jakarta
Bagi pembaca setia Sabili.id yang ingin mengajukan pertanyaan seputar kaidah hukum Islam, silahkan mengirimkan pertanyaannya ke meja redaksi kami melalui email: [email protected]
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!