Ketika seseorang telah berikrar dengan dua kalimat syahadat "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Aku bersaksi bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Saw adalah utusan Allah", maka ia telah sah berstatus sebagai muslim atau penganut ajaran Islam. Status tersebut memiliki konsekuensi bagi yang bersangkutan berupa kewajiban mengenal, mempelajari, memahami dan mengamalkan syari'at Islam.
Sekedar mengucapkan kalimat syahadat, belum bisa mengantarkan seseorang untuk mencapai predikat muslim yang sebenar-benarnya atau kaffah. Syahadat perlu disempurnakan dan dibuktikan dengan menjalankan syari'at Islam secara menyeluruh, sebagai bentuk ketundukan, berserah diri dan ketaatan total kepada Allah ﷻ.
Sangat tidak patut, bahkan bisa merusak ke-Islaman, bilamana seorang muslim mengamalkan syari'at Islam dengan cara memilih-milih. Hanya menjalankan syari’at Islam yang dianggap sesuai dengan keinginan syahwat atau hawa nafsunya, kemauan orang tuanya, keinginan kaumnya, atasannya, atau yang selaras dengan keinginan politik penguasa. Kemudian yang bertentangan dengan semua keinginan-keinginan tersebut tidak dipakai dan tidak pula diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pedoman dasar syari'at Islam adalah Al-Qur'an dan As-sunnah. Olehnya, siapapun yang menjalankan syari’at Islam dengan berpedoman kepada keduanya, mendapatkan garansi dari Rasulullah Muhammad Saw tak akan sesat selamanya, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad Saw:
"Aku tinggalkan kepadamu 2 (dua) perkara, maka apabila kamu berpegang teguh atas keduanya, niscaya tak akan sesat selamanya, yakni Al-Qur'an dan Sunnah Rasul-nya" (HR. Al-Hakim).
Manifestasi dari sikap berpegang teguh pada Kitabullah dan sunnah Rasulullah Saw sejatinya adalah mengamalkan syari’at Islam secara total. Meninggalkan semua yang dilarang dan menjalankan semua yang diperintahkan, meski dengan kadar kemampuan yang berbeda.
Ruang lingkup syari'at Islam meliputi: 1. Ibadah, 2. Mu'amalah, 3. Munakahat, 4. Jinayah, 5. Akhlaq, 6. As-siyasah(politik). Ke-enam ruang lingkup syari'at Islam tersebut, harus dikenali, dipelajari, dipahami dan diamalkan oleh setiap muslim sebagai sebuah keniscayaan. Praktik inilah yang akan mengantarkan seseorang pada status Islam kaffah.
Muslim tapi tidak mau berpolitik.
Sementara kondisi dan situasi ummat Islam di bumi ini masih banyak terkendala untuk mengamalkan syari'at Islam secara menyeluruh. Banyak yang terjebak perangkap nafsu, menjalankan syariat dipilih sesuai hawa nafsunya, ada yang terjebak pada kebodohan sehingga mencampur-aduk antara yang hak dan yang batil, ada yang terkungkung oleh tindakan represif penguasa, ada pula yang ogah menjalankan salah satu syari’at karena takut dosa dan bersentuhan dengan banyak muslihat.
Beraktifitas di dunia politik adalah salah satu aspek syari’at yang kerap dihindari oleh pemeluk Islam, karena alasan takut dosa dan banyak mudharatnya.
Contoh kasus dalam hal ini, di negeri Syam atau sekarang dikenal sebagai Negara Suriah yang porak poranda karena perang saudara salah satu penyebabnya adalah politisasi agama. Di Negara Yaman juga tidak berbeda jauh dengan Suriah, mereka korban politik adu domba, politik pecah belah, politik "Divide et Impera" (istilah pada zaman Belanda). Lantas, banyak yang menyesali keterlibatan mereka dalam urusan politik, jika ujungnya adalah intrik dan kehancuran umat Islam.
Pertanyaannya, apakah dalam kondisi demikian, kaum muslimin harus menyingkir dari politik? Tentu tidak, karena politik adalah salah satu lingkup dari syari'at Islam. Justru perpecahan umat akibat intrik politik itu harus kita pecahkan dengan tindakan atau aktivitas politik tertentu. Terpenting, bagaimana kita memiliki visi politik yang sesuai ajaran Islam, menjadi subyek politik dalam rangka amar makruf nahi munkar, bukan sekedar menjadi objek politik yang terombang ambing dalam kedunguan dan alat perpecahan.
Sebagai subjek politik, maka berpolitiklah seperti contoh yang dipraktekkan oleh Rasulullah Muhammad Saw. Politik cerdas berbasis akhlaqul-karimah. Apabila kita alergi terhadap politik apalagi anti politik, maka tunggu saja kita akan digilas oleh politik.
Bangsa Indonesia patut bersyukur, konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yakni Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak rakyat atau penduduknya dalam beragama. Termaktub dalam pasal 29 berbunyi: ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Pasal tersebut, menjelaskan bahwa memeluk dan beribadah sesuai agamanya (bagi Muslim memeluk dan beribadah sesuai dengan syari'at Islam) dan kepercayaannya dijamin penuh oleh negara. Olehnya, jika terdapat peraturan turunan yang bertentangan dengan UUD 1945, maka dengan sendirinya batal demi hukum.
Umat Islam di Indonesia juga bebas berserikat, membentuk partai politik, dan membangun kualitas politik yang berbasis ajaran Islam. Lihatlah begitu banyak partai politik Islam yang muncul sebagai kontestan Pemilu. Sayangnya, sekarang justru muncul trend generasi Islam bahkan aktivis dakwah yang emoh berpolitik!
Politik dianggap mendekatkan diri pada dosa dan permusuhan. Jika umat Islam yang baik, sholeh, dan paham agama pada gak mau berpolitik, maka siapa yang akan mengisi panggung politik tanah air? Partai politik akan diisi oleh orang-orang yang tak paham agama, tidak mengerti adab politik yang adiluhung, maka terancamlah kelangsungan NKRI yang diperjuangkan oleh para mujahid dan pahlawan Islam.
Sejalan dengan konteks di atas, Profesor Mahfudz MD beberapa waktu yang lalu sebelum mengungkap rekening mencurigakan sekitar 349 T, beliau kurang lebih menyatakan: "Bahwa agama dan politik tidak bisa dipisahkan, dan kalau kita bicara agama maka kita akan bicara soal tempat ibadah, dan tempat ibadah itu dibenarkan sebagai tempat membicarakan tentang politik, contoh bicara soal ketidak adilan, kesejahteraan rakyat, kriteria pemimpin yang baik, cara memilihnya dsb, yang tidak boleh adalah politik praktis. Seperti pilihlah si-A atau pilihlah si-B, karena itu akan memicu konflik".
Dari pernyataan tersebut, tidak bisa dibenarkan jika ada larangan membicarakan politik di tempat ibadah. Tak mungkin kita akan mendapatkan pemimpin yang baik akhlaqnya, bermoral baik, bermental baik jika dilarang bicara politik di tempat ibadah, karena dari perbincangan di tempat ibadah itulah akan lahir pemimpin yang berakhlaq mulia, begitupun tidaklah mungkin akan mendapatkan pemimpin yang memiliki intelektual bagus jika perbincangan politik dilarang di tempat tempat pendidikan seperti kampus (Kata Rocky Gerung).
Maka, marilah kita tegakkan syari’at Islam secara menyeluruh pada diri kita masing-masing. Termasuk dalam dunia politik. Warnailah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dengan praktik politik berbasis akhlaq mulai dan ketaatan kepada Allah. Sebagaimana dahulu HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, dan M. Natsir mewarnai negeri ini dengan kiprah politik adiluhung. Semoga Indonesia menjadi negara yang penduduknya beriman dan bertaqwa kepada Allah, sehingga turun keberkahan dari langit dan bumi sebagaimana Allah janjikan:
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan. – QS. Al-A’raf: 96
Pada dasarnya jika kita bisa mengamalkan seluruh ruang lingkup syari'at Islam, maka kita telah menjadi 'Abid atau pengabdi yang kaffah dan seluruh amalan kita itu secara umum bernilai Ibadah, maka semua perbuatan kita akan mendapatkan pahala di sisi Allah Swt.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!