“Nyalakan tombol ofensif kalian! Inilah saatnya menghancurkan lawan dalam perang pemikiran! Ketika orang lain aktif menyerang pemikiran Islam, kita bukannya tidak bisa melawan, tetapi kita membiarkan diri kita tidak melawan,” seru Akmal Sjafril saat mengawali kelas “Diskusi Literasi” Sekolah Pemikiran Islam (SPI) angkatan 14. Diskusi tersebut diadakan di Aula Imam Al-Ghazali, Institute for the Study of the Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), pada Rabu (25/9/2024) malam.
Akmal kemudian menekankan pentingnya memahami makna kata per kata, kaitan antar paragraf, dan maksud penulis di dalam setiap bacaan. Sebab, banyak musuh Islam yang menyisipkan pemikiran yang salah lewat tulisan mereka.
“Literasi adalah kunci dalam perang pemikiran. Namanya perang, butuh perencanaan. Gimana kita mau punya perencanaan yang bagus, kalau memahami tulisan aja nggak bisa?” ucap penulis buku “Islam Liberal 101” ini, menjelaskan latar belakang pembahasan materi.
“Diskusi Literasi” ini sedikit berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Di dalam kelas itu, Akmal bersama murid-murid SPI mengritisi redaksi wawancara Ulil Abshar Abdalla, seorang aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), dengan Julia Indiati Suryakusuma, seorang sosiolog yang pernah melontarkan tesis berjudul “Ibuisme Buatan Negara”, pada zaman orde baru. Wawancara tersebut membahas pandangan Julia yang tidak percaya agama, namun percaya terhadap Tuhan.
Akmal Sjafril lantas menyoroti banyaknya inkonsistensi dan kesalahan logika berpikir dalam pernyataan Julia. Di antaranya tentang begitu mudahnya Julia mengikuti “arus”.
“Bagaimana mungkin seorang yang awalnya Islam dibesarkan dalam lingkungan liberal pada umur 9 tahun, mengaku mengikuti arus saja saat masuk ke sekolah Katolik, lalu mengaku memiliki minat agama yang besar pada usia tersebut? Jika dia memang memiliki minat agama yang besar, mana mungkin ikut arus? Kalau ada orang yang memiliki minat sama klub bola, memang ada yang ikut arus gitu? Sudah begitu, baru SD sudah belajar perbandingan agama, baru satu semester merasa sudah tahu semua dan minta ganti belajar ke ilmu filsafat, belajarnya ke guru bahasa Prancis, lagi. Jika kita melihat usianya saat itu, maka pantas ia pernah menjadi Atheis,” ungkap doktor ilmu sejarah UI tersebut.
Menurut Akmal, Julia memiliki konsep Tuhan yang menyimpang akibat melanggar adab keilmuan dan penggunaan sumber rujukan yang tidak jelas, sehingga melahirkan pemikiran yang menyimpang tentang konsep Tuhan. “Klaim diri merasa hebat tetapi ilmunya dari sumber yang tidak jelas. Cara mengetahui kebenaran akan Tuhan pun tidak akan jelas juga,” ucap Kepala SPI Pusat ini pula.
Ia melanjutkan, “Mbak Julia ini ngakunya spiritualis, menolak agama tetapi tidak percaya Tuhan. Mbak Julia ini mengatakan Tuhannya tidak pakai lima waktu, perjumpaan dengan Tuhan itu anytime, tetapi lucunya setiap jam 5 pagi dia melakukan meditasi, dan jika sedang bingung baru kembali ke Tuhan. Nggak percaya agama tetapi bikin ritual juga ujung-ujungnya.”
Diskusi pun berkembang menarik. Sepanjang kelas berlangsung, antusiasme murid SPI sangat terasa. Tampak banyak murid yang mengangkat tangan untuk menyatakan pendapat.
Keseruan pertemuan diskusi literasi itu juga diungkapkan salah satu murid SPI Jakarta, Hafiz. “Perkuliahan malam tadi sangat dinamis! Sejak awal, kami diajak berpikir kritis, menganalisis wawancara seorang aktivis spiritualisme, dan mengevaluasi kesalahan berpikir dari setiap kata yang diucapkan. Sangat menarik dan menyala!”
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!