Saat menjalankan amal-amal akhirat kita, ada sebentuk ujian dari Allah yang acapkali tak kita sadari. Ada yang tersilaukan, ada yang terlena, ada yang terkesima, ada yang terpesona, ada juga yang terpana dengan seluruh tampilan ukhrowi dan religi dari amal-amal akhirat. Sebab, kita semua pasti sepakat bahwa amal-amal akhirat kita pasti baik, karena ada syariatnya, ada sandaran dalilnya, juga ada dasar dan sumber hukumnya. Maka, kita beranggapan dan merasa semuanya pasti tak akan ada salah.
Tetapi kita lupa, episode perdana dari manusia pertama adalah sebuah kejatuhan. Sebuah keterperosokan dalam perangkap iblis yang mematikan. Iblis piawai dalam mengemas perangkat kerusakannya dengan hiasan-hiasan yang menyilaukan mata dan memesonakan jiwa. Dan Adam pun terjebak. Sering kita melupakan fragmen ini, lantas lenyaplah semua kewaspadaan. Tak ada lagi rasa takut dan khawatir terjerembab pada perangkap setan. Semuanya tergantikan dengan perasaan aman, karena amal-amal akhirat yang kita kerjakan adalah amal yang sudah tegas dalil dan dasarnya.
Umumnya kita silau akan kebaikan amal-amal akhirat kita dan lupa akan fakta bahwa pada dasarnya ada sertaan-sertaan perkara duniawi yang melekat padanya yang bisa merusak amal. Sebagai contoh, salat adalah ibadah akhirat yang agung, dan kita semua tahu itu. Tetapi kadang kita lupa akan sertaan-sertaan perkara duniawi yang melekat padanya. Ada perkara pakaian, ada perkara tempat, perlengkapan, dan fasilitas. Maka, betapa banyak ulama mengingatkan akan situasi keterpakuan kita pada perkara-perkara duniawi tersebut.
Baca Juga: Dunia Kerelawanan dan Kelembagaan (Bagian 7): "Mengingat Kesalahan di Masa Lalu"
Kadang kita jauh lebih perhatian pada tampilan baju kita, sehingga lupa memberikan perhatian pada salat kita. Bahkan kadang kita jauh lebih memperhatikan detil-detil tampilan baju kita daripada memberi perhatian pada ilmu yang menjadi dasar baik dan benarnya salat kita. Sebab, sedari awal kita sudah merasa bahwa yang kita kerjakan adalah salat, ibadah akhirat, sehingga perkara apapun yang melekatinya akan menjadi baik-baik saja.
Selanjutnya coba kita menepi sebentar. Kita tengok dunia kelembagaan dan kemanusiaan yang kini menjadi tempat persinggahan kita. Kita semua sepakat, amal-amal sosial dan kemanusiaan adalah amal penuh keutamaan. Ia banyak tercatat dalam Al Qur’an dan sunnah Nabi kita, Muhammad SAW. Sehingga, kita pun merekam kuat dalam hati dan jiwa kita, bahwa ada ampunan Allah atas dosa-dosa besar yang berawal dari sedekah yang teramat sangat remeh, semisal memberi minum seekor anjing kehausan. Maka apatah lagi jika sedekah kita berikan kepada manusia dan terkhusus kepada manusia yang taat menyembah Allah Ta'ala?
Sang perempuan pelacur Bani Israel yang tadinya hina di mata Allah dan terancam pedihnya siksa neraka, kini terkabar melalui lisan Rasulullah SAW sebagai perempuan mulia penghuni surga sebab dosa zinanya telah diampuni. Kita bahkan tak pernah tahu siapa namanya serta dari kampung dan negeri mana ia berasal. Kita hanya merekam kuat dalam memori kita bahwa ia adalah pahlawan karena telah menyelamatkan seekor anjing dari kebinasaan.
Ia terkenang karena amalnya, terkenal karena jasanya, dirinya selalu tersebut karena sedekahnya, tercatat kemasyhurannya karena budi baiknya, dan terkabar selamanya sepanjang masa sebagai penyelamat nyawa. Ia perempuan yang Allah berikan hadiah keterkenalan di dunia meski ia tak mengetahuinya, karena ia terkenal justru setelah kematiannya. Ia diberi takdir popularitas, padahal saat ia berjasa tak ada yang tahu dan tak ada yang merekam. Itulah yang disebut keutamaan dan keberkahan.
Tetapi yang pasti, menjadi terkenang dan tersebut sebagai pahlawan berkaitan erat dengan amal-amal kebaikan. Apalagi sebagiannya adalah amal baik yang bukan biasa-biasa saja alias menakjubkan. Nah, di sisi inilah sebenarnya godaan itu datang. Hati dan jiwa kita tetap tak bisa lepas dari kebutuhan untuk diakui, apalagi diakui sebagai orang baik. Bahkan hampir tak ada manusia di dunia ini yang tak ingin diakui sebagai orang baik. Fir’aun saja saat mendeklarasikan dirinya sebagai Tuhan tak lain karena ia tahu bahwa Tuhan selain punya kuasa juga punya kebaikan, sehingga ia inginkan kedua hal itu melekat kepada dirinya.
Bahkan orang-orang zalim dan brengsek pun selalu menampilkan dan mengabarkan dirinya sebagai orang baik. Maka, yang sejatinya orang-orang baik, yang selalu menjaga diri dari keburukan, pasti dorongannya lebih kuat untuk selalu terkabar sebagai orang baik. Inilah sisi manusiawi kita alias kewajaran yang selalu melekat pada diri kita. Setan sangat paham bahwa celah kecil dari sisi kemanusiawian ini bisa disulut, lalu dikobarkan menjadi nyala api yang besar untuk melahap habis semua pahala amal-amal akhirat manusia. Hangus dan musnah.
Tetapi bagaimana cara setan menipu? Bagaimana cara dia menyamarkan perangkap kerusakannya agar sama sekali tak terlihat dan tak disadari oleh manusia?
Ia punya satu kepakaran dan keahlian andalan berupa jurus talbis. Ia sangat lihai dan piawai menghias suatu keburukan dan kebusukan menjadi sesuatu yang sangat menakjubkan jiwa manusia. Ia mengemas keinginan manusia untuk terkabar sebagai pahlawan dengan hiasan penuh pesona, bahwa itu adalah bagian dari amal-amal akhirat yang memang kita tak bisa lepas darinya. Semua amal kebaikan butuh pahlawan sebagai eksekutor, maka kalau bukan diri kita lalu siapa yang mengerjakan? Banyak orang butuh keteladanan, maka kalau bukan kita lalu siapa lagi yang memberikan keteladanan? Orang-orang lemah butuh bantuan kita, maka kalau bukan kita lalu siapa lagi yang membantu? Mungkin seperti itu setan mencari-cari celah dengan jurus talbisnya. Tujuannya cuma satu, menyibukkan kita dan memfokuskan perhatian kita hanya kepada bagaimana kita bisa selalu mengabarkan kepada orang bahwa kita adalah pahlawan kebaikan.
Maka, setiap saat tatkala kita mengerjakan amal-amal akhirat, kita juga akhirnya sangat sibuk dan menaruh perhatian terhadap perkara menampilkan dan mengabarkan diri kita sebagai pahlawan. Di mana ada kebaikan, di situ harus ada kabar diri kita. Di mana ada amal, di situ harus ada kabar jasa kita. Di mana ada karya, di situ harus ada kabar lembaga kita. Di mana ada kontribusi, di situ harus ada kabar tentang bendera kita. Pokoknya, di mana tempat dan di kapan waktu, maka diri kita harus terkabar, terkenang, tersebut, dan terbilang. Akhirnya, kita hanya sibuk dan perhatian pada keharusan untuk selalu tampil sebagai pahlawan. Pikiran kita hanya tertancap pada satu hal, semua harus kita dan diri kita. Jika terkabar sebuah kepahlawanan maka itu adalah diri kita, bukan orang lain.
Semoga Allah jauhkan diri kita dari ketergelinciran pada perangkap setan.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!